Menelaah dari masa ke masa tempoe doeloe hal perspektif kritik dan penyampaian aspirasi rakyat ini tak habis-habisnya di saya bercerita, dan mungkin Abang None sudah tahu itu,
Tau apanya?!, maksudnya menyampaikan berita kritik dan aspirasi itu seperti paparazi meliput dokumen primer pada setiap momen baik itu prinsipil sampai dengan rahasia yang sudah menjadi umum,Â
Menjadi tanda kunci adalah "apakah elit politik, pejabat, atau pengusaha di Indonesia sudah mau menerima seperti liputan legenda paparazi yang dimaksud untuk meliput disini adalah liputan apa adanya, tak terlihat tanpa sensor, tanpa koordinasi dan konfirmasi terlebih dahulu?!
Banyak kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap karyawan media peliput berita di Indonesia baik itu wartawan maupun pembuat berita diberbagai media itu, sampai sekarang tak terusut tuntas kasusnya,Â
dan malah kasusnya itu sudah tutup alias tak terbukti tak tau, karena bertahun-tahun diselidiki tak ketemu siapa pelakunya, apa, siapa, mengapa, dimana, dan bagaimana, akhirnya?!
Seperti baru-baru ini dikabarkan di media Kompas TV tentang pembunuhan editor Metro TV, dan masih dalam penyelidikan pihak penegak hukum?!
Jangankan kita bilang penyampaian berita ke media seperti paparazi bikin.., baru tingkat berita buat kue atau penganan disampaikan ke publik itu saja sudah menimbulkan perkara marah antar sesama pembuat kue dengan kata-kata;
"Hei ini kue punyaku enak rasanya.. Hai ini juga kueku lebih enak rasanya.. Hoi ini kueku cobain!!"
Melihat dan membaca hal kecil tersebut diatas ini saja, penulis masih ragu akan hal kebebasan kritik dan mengapresiakan diri untuk mengkritik elit politik, pejabat, atau pengusaha di Indonesia.Â
Jika terlalu mengkritik akhirnya berujung pada embargo sembako atau digaris merah tak bakal dipakek oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia Raya.Â