Dua tahun hidup dan berdamai di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sambil menyelam kuminum air, ya itulah kesempatan emas yang kumiliki selagi menikmati alur  menimbah ilmu di salah satu Perguruan tinggi di Timur kota istimewa Jogja.Â
Tak pernah berpikiran liar, kelak akan mengelilingi Indonesia dimulai dari seluruh daerah di Yogyakarta, begitulah cita-cita sederhana mahasiswa yang diberangkatkan dengan bantuan biaya dari pemerintah dari Desa untuk kembali lagi ke Desa.
Jumat(28/9/2018) kendaraan sejuta umat itu membawaku menuju ke jantung kota. Halte di seberang Taman Pintar, kuturunkan kakiku menginjak lantai besi baja Halte itu. Berjalan menuju Museum, bangunan tua yang gagah penuh kharisma, meski jaman sudah terlalu banyak mempengaruhinya. Tiang-tiang dan dinding-dindingnya dilapisi warna putih, membuatnya menjadi bangunan yang penuh dengan memori duka dan suka. Warisan budaya jaman dahulu kala yang patut dirawat, dikunjungi, menyanjungnya, memujinya atas sejarah yang tercipta di setiap sudut bangunnya.
Museum Benteng Vredeburg, sepintas menyangka bahwa Vredeburg hanyalah sebuah bangunan tua dengan tembok tebal yang gagah. Itu sangkaanku saat pertama kali menyentuhkan kaki di tanah Istimewa. Dua tahun pikiran kumuh itu bersarang penuh di dalam kepala, setiap Minggu sepulang sembayang melewati Vredeburg si gagah melampaui jamannya.
Pengumuman dari pengelola Museum bersuara, agar pengunjung segera meninggalkan teritorial Museum, waktu berkunjung sudah usai. Kami segerombolan orang-orang dari komunitas berbeda mulai berkumpul di sebuah lahan kosong, di antara gedung tua di dalam Benteng. Kami wisatawan yang tergabung dalam giat jelajah malam museum yang dilaksanakan oleh Komunitas Malam Museum (Ig: malammuseum) bersama pengelola Museum Vredeburg baru akan memulai jalan-jalan malam di Museum Benteng Vredeburg.
Luar biasa, Mahasiswa asal Sumatera akhirnya menikmati udara malam bersama aroma rinding Museum bersejarah. Tak lepas dari ajakan Mba Vika Kompasianer Kjog (Kompasiana Jogjakarta) setelah kelas Herritage di Kraton, Museum Kareta, dan Kauman. Semua peserta dibriefing untuk mengetahui apa-apa saja kegiatan jelajah malam Museum, tentunya setelah acara dibuka oleh mereka yang berwenang.
Pemandu berusaha menjelaskan sedetail-detailnya, wisatawan terperangkap dalam imajinasi liar membayangkan bagaimana rakyat dan pemimpin Indonesia kala itu bersimbah darah dan peluh memperjuangkan kebebasan yang memerdekakan Ibu Pertiwi.
Dua gedung telah kami tempuh bersama suara pemandu yang mulai serak dan berkeringat di keningnya, semangatnya seimbang seperti kokohnya bangunan tua. Kepalaku menyerap sebagian apa yang disampaikan. Suasana malam masih berlanjut, belum kutemukan titik keseraman di dalam cerita-cerita sejarah gedung ini. Malam itu Jumat, lampu semua gedung menyala menyapa semua wisatawan dengan sumringah. Maklum saja aroma malam mistis dan horor tidak ada.
Setelah pemandu selesai menyampaikan pesan sejarah, kami diajak bermain oleh panitia. Tua dan muda pesertanya, panitia berhasil mendidik lewat pekerjaan tugas teka-teki modul ajaib karya mereka. Tujuannya masih sama, agar kami semua bisa belajar mandiri secara berkelompok bekerja sama memecahkan masalah sesuai petunjuk teknis di buku panduan ajaib.Â
Sayangnya, aku yang paling muda diangkat menjadi ketua, kepala suku sebutan oleh panitia Malam Museum. Bersama Ibu, Kakak, dan Abang kupandu mereka berempat, mereka pun memanduku, saling memandu, tujuannya masih satu, menyelesaikan semua teka-teki buku ajaib.