"Dengan adanya ini, terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu." - Khuddhaka Nikaya, Udana 40
Pagi yang baik adalah pagi yang dipenuhi rasa syukur dan optimisme. Setiap orang punya banyak cara untuk mengekspresikan hal tersebut, mulai dari berdoa, meditasi, atau dalam konteks yang lebih progressive, mereka memulai hari dengan menulis "to-do list", sesuatu yang harus mereka kerjakan pada hari tersebut.
Namun, bagaimana jika saat memulai pagi, justru kecemasan yang datang menghantui? pada kenyataannya, kebanyakan orang mengalami hal tersebut. Salah satu kecemasan pribadi yang kiranya mengganggu kita justru lahir dalam bentuk pertanyaan, "Apakah kita masih punya waktu sampai 20 tahun lagi?"
20 tahun mungkin terdengar lama sekali, namun kenyataannya tidak. Gen Z yang lahir di dekade 90-an (jika matematika saya tepat) seharusnya sudah berumur sekitar 24-27 tahun. Waktu berjalan begitu cepat hingga memori kanak-kanak hanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Dalam waktu 20 tahun yang akan datang, umur para Gen Z ini sudah mencapai kepala 4, itupun jika mereka (dibaca:kita) cukup beruntung bisa mencapai umur tersebut.
Pertanyaan kedua yang lahir biasanya berbunyi "Apakah peranku sebagai Manusia sudah maksimal?"
"Peran" disini umumnya lebih mau mempertanyakan kembali esensi manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial (Zoon Politicon). Tentu tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk yang "terbatas", lahir dari sesuatu yang "tidak terbatas"(Theism).
Dalam menanggapi 2 pertanyaan fundamental tersebut, kita perlu kebijaksanaan dan pemahaman menyeluruh. Kebijaksanaan tersebut dapat berwujud pemahaman bahwa ada sesuatu yang bergerak dalam kuasa kita, dan ada juga yang tidak.
Peran manusia disini tentu bisa dimaksimalkan jika kita sadar atas apa yang kita perbuat dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran inilah yang dalam Buddha, terus diupayakan. Kesadaran dalam dunia yang "abu-abu" ini harus terus-menerus diolah dan diperbarui dengan seksama supaya tetap relevan. Relevansi disini tentu menjadi metriks variable, tergantung terhadap apa dan siapa kita berperilaku.
"Mencari sebab-sebab adalah esensi berfikir" - Siddharta Gautama
Dalam hubungannya terhadap manusia sebagai makhluk sosial, ada 1 ajaran Buddha menarik yang bisa dijalankan oleh siapapun (terlepas dari apapun kepercayaan yang dianut), yaitu Interdepedensi, atau dalam bahasa pali biasa disebut paiccasamuppda