Aku dan Adam kini berhadapan, dihari terakhir pertemuan kami. Sebab ini keinginannya, dia berjanji akan mentraktirku secangkir kopi atau cocktail sesuai keinginanku saja. Tapi, dia sangat mengenal kebiasanku, aku tak pernah dibayari sekecil apapun itu, hingga akhirnya dia memilih untuk close bill bahkan sebelum kedatanganku. Aku tahu, sebab dengan bangga ia mengatakannya lewat pesan singkat yang kubaca ditaksi tadi, sebelum akhirnya kami bertemu dan berpeluk seperti biasanya.
“Kau yakin, ini yang kau inginkan?” kataku lembut, memandang wajah pria itu yang mulai berubah pucat, meski sedikit tertutupi oleh putih kulitnya bak salju yang terdampar di antartika.
“Aku sudah lelah...” Adam membalasku, menatap nanar seakan ada duka mendalam yang tak bisa diungkapkannya. “Tapi tidak sekarang...” katanya menyingkirkan gelas kopi yang sudah dihadapannya sejak lima belas menit lalu.
“Kenapa?” aku mengembalikan kopi itu kehadapannya.
Kami berdua bertatapan, seakan ada rahasia yang harus terungkap hari ini, bagaimanapun kami tidak akan bertemu lagi setelah hari ini, setidaknya bukan dikehidupan ini.
“Aku hanya...” Adam mulai melihat ke sekitar kafe yang biasa kami kunjungi itu. Sesaat dia terpaku pada sebuah kamera kecil disudut atas kafe, kemudian menyingkirkan lagi kopinya.
“Baiklah... kau takkan pernah benar – benar siap” kataku, kali ini kubiarkan kopi itu menjauh darinya, tak tersentuh dan menghangat, kemudian menjadi dingin.
“kau...” Adam memandangku, sekali ini lebih serius “aku takkan mengorbankanmu untuk ini” katanya.
“tidak... aku ingin melihatmu melakukannya” kataku seakan – akan aku sudah siap. Tapi melihatnya melakukan hal yang paling dia inginkan adalah pilihanku, meski aku yang akan terluka, tersakiti, terbunuh jiwa karenanya.
“Apa kau benar mencintaiku?” Adam mencoba sekali lagi, aku hanya mengangguk pelan tak mengerti kemana arah pembicaraannya “sangat mencintaiku?” tanyanya sekali lagi, aku terdiam memandangnya.
“Aku takkan mencintai orang lain, seperti aku mencintaimu” kataku akhirnya.