Saat aku mulai bisa merasakan hidup tanpa keluarga adalah hidup yang tidak sempurna maka aku mencoba untuk berani mendekatkan diriku kepadamu oh ibuku. Bertahun-tahun kita tidak bertemu, siang malam hidupku dihantui oleh bayang-bayangmu. Kucoba memberanikan diri untuk bertanya kepada bapak tentang dirimu tetapi kesedihan terlalu nampak diwajahnya saat menceritakan dirimu kepadaku.
Engkau meninggalkan kami begitu cepat. Tidak ada satupun alasan yang engkau berikan saat meninggalkan kami di dunia ini. Ketika itu, diwaktu engkau memanggil aku, engkau mengungkapkan rindumu kepadaku. Sekolah yang baik, sampai sarjana, kata-kata itu berkali-kali kudengar keluar dari mulutmu. Saat engkau mengajak aku berdoa engkau memohon hal itu kepada Tuhan untuk aku. Ketika kita makan engkau memohon hal itu juga kepada-aku di depan bapakku.
Engkau membuat suasana menjadi berubah. Kami bertanya-tanya atas sikapmu yang lain dari hari-hari sebelumnya. Engkau yang sedang sakit mengucapkan pesan-pesan seakan-akan engkau tidak dapat mewujudnyatakannya bersama-sama dengan kami. Tetesan air mata mulai menemani kami, hati yang tiba-tiba gundah mulai menghantui kami.
Setelah kepergianmu aku mencoba untuk menjalani kehidupan seperti yang engkau ingini. Aku yang tadinya tidak rajin belajar menjadi rajin belajar oleh karena pesanmu untuk kehidupan yang kujalani ini. Semangat dengan hati yang sedih aku jalani dalam aktivitas sehari-hari. Cemburu melihat keluarga sahabat-sahabatku menjadikan aku lebih terpuruk lagi.
Aku mulai menyalakan Tuhan di saat aku merasa hidupku tak sempurna lagi. Bertanya-tanya kepada-Nya menjadi warna hidupku sepanjang hari. Tidak adil, jahat, dan tidak pengasih itulah yang kuucapkan sepanjang hari. Tuhan telah membuat aku menangis. Tuhan telah membuat aku kesepian, dan Tuhan telah membuat hidupku tidak sempurna. Inilah hidupku ibu, setelah engkau pergi dan tak kembali.
Jikalau Tuhan itu baik kenapa aku harus menangis. Kenapa aku harus mengalami kesedihan, yang aku rasa tidak dialami oleh orang lain. Jikalau Tuhan itu baik kenapa aku mengalami kesepian, yang aku rasa juga tidak dialami oleh orang lain. Orang lain kehidupannya dapat sempurna, dengan bersukacita bersama-sama keluarga. Tetapi aku selalu merana mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin ada.
Sekarang aku telah wisuda ibu. Namun engkau tidak ada bersama-sama dengan kami. Engkau pergi dan tak mau kembali. Kami disini terus menanti giliran kami supaya kita dapat bersama-sama kembali. Jikalau aku salah, Tuhan pasti mengampuni aku karena aku tak kuasa menahan kepedihan yang aku alami sepanjang hari. Selamat hari ibu, ini suratku, ku berikan untukmu ibu ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H