Adalah Nurani, seekor burung merpati yang  disegani hinggap di atas atap rumah. Tubuhnya begitu elok rupawan, memikat hati.  Bulu-bulunya yang putih bersih bak kapas, sesekali tersibak oleh angin-angin nakal. Matanya tajam namun penuh kasih, bergerak seirama dengan gerak tubunya. Sesekali pandangnya beralih secepat kilat ke arah sarangnya, kalau-kalau terjadi sesutau pada anaknya.
Tiba-tiba Sang Merpati berkelesat terbang. Suara keras merebut suasana nyamannya. Suara yang sangat akrab di terlinganya. Suara itu mengingatkan kembali saat suaminya seketika terjatuh berlumuran darah. Bayangan itu terus mengganggu pikirannya. Merpati itu terus terbang menjauhi sumber suara. Hingga sumber suara itu mulai sayup-sayup terdengar. Dia ingin sekali meninggalkan tempat itu jauh-jauh untuk sementara waktu.
Hingga sampailah dia ke sebuah tempat yang baru dilihat dan jamahnya. Tempat di mana segalanya berbeda dengan keadaan sebelumnya.
Teduh, tenang, layaknya di sebuah Negeri Impian. Merpati memperlambat kepakannya, dia sangat menikmati pemandangan yang baru dilihatnya saat ini. Setiap menoleh di saat itu juga dia mendapatkan kelegaan. " Sungguh nyaman tempat ini", pikirnya. '
Sekilas dilihatnya seekor merpati lain sedang asyik menikmati biji-bijian yang melimpah ruah. Â Hal itu membuat Nurani ingin mencari tahu. Lalu dicarilah dahan pohon akasia untuk hinggap. Sambil melompat-lompat kecil Nurani menuju ujung dahan. "Hmm, bukankah itu Pak Megan, juru keamanan di kampungku? Mengapa beliau ada di sini?". Dia berusaha mengamati Pak Megan dari jarak yang lebih dekat. Tanpa menunggu waktu akhirnya dihampirinya Pak Megan.
"Mengapa Pak Megan ada di sini?" tanya Nurani dengan wajah penuh selidik. " Bukankah Bapak yang mempunyai tanggung jawab atas keamanan dan ketentraman desa kita?"
"Aku sudah tidak  nyaman tinggal di desa kita", jawab Pak Megan. "Apalagi sekarang sekarang di sana biji-bijian sulit di dapat. Ditambah merebaknya tembakan-tembakan pemburu."
"Lho tapi itu khan justru jadi tanggung jawab Bapak?" Nurani mencoba bertanya lagi.
"Ah, dalam situasi  yang begitu sulit dan mustahil untuk hidup, mengapa kita harus bertahan?"
"Sudahlah Nurani... lebih baik Kamu juga tinggal di sini saja!" ajak Pak Megan serius.
Nurani berpikir sejenak. Terbayang kembali situasi di desanya yang memang begitu serba sulit. Makanan sulit didapat, sehingga sering terjadi perebutan daerah kekuasaan di mana ada sumber biji-bijian. Pikirannya terus berkecamuk, dia merasa inging terus hidup dan melangsungkan hidupnya. Di lain pihak saat ini dua anaknya masih butuh makan, perlindungan, dan kasih sayangnya.