Saya tergelitik dengan pernyataan pak Jokowi beberapa waktu lalu yang dilansir beberapa media itulah yang mendorong saya ingin memberikan komentar seputar tragedi 1965. Pernyataan presiden intinya mengatakan bahwa beliau belum mendapatkan laporan dari beberapa lembaga negara yang berwenang menangani kasus pelanggaran HAM seperti Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Kemenko Polhukam dan Kemenkumham tentang upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Lalu pertanyaannya penyelidikan pro justicia berdasarkan UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM tahun 2008 itu apa?Â
Sebanyak 349 orang korban dari perwakilan seluruh Indonesia minus Papua yang diperiksa oleh Komnas HAM. Bahkan rekomendasi penyelidikan tersebut telah dikeluarkan tahun 2012 dan sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ketingkat penyidikan, namun dikembalikan dengan alasan belum cukup bukti yang kuat. Butir rekomendasi Komnas HAM menyatakan, terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut yakni pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Namun temuan ini entah bagaimana sekarang, seolah tak berguna.
Yang terbaru pemerintah mengadakan Simposium membedah tragedi 65 lewat pendekatan kesejarahan yang berlangsung tanggal 18-19 April kemarin. Muncul berbagai pro dan kontra terhadap kegiatan ini. Yang kontra menganggap indonesia akan menghidupkan kembali komunis sehingga tak perlu minta maaf. Yang pro sesungguhnya tidak terlalu besar harapannya akan hasil simposium tersebut karena toh yang diinginkan pemerintah adalah rekonsiliasi. Sementara rekonsiliasi seperti apa yang diinginkan tidak tergambar dari simposium tersebut. Namun, diawal sudah terlihat bahwa simposium tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa sebagaimana yang diinginkan oleh korban sesungguhnya. Dari pembukaan yang disampaikan oleh Menkopolhukam bapak Luhut Panjaitan mengatakan ..
. Tidak akan ada pikiran bahwa pemerintah akan meminta maaf kami tidak sebodoh itu. Kami tahu apa yang akan kami lakukan.Dari sini sudah terlihat bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan mau minta maaf, forum ini dijadikannya sebagai bentuk penekanan bahwa tidak ada permohonan maaf dari pemerintah kepada ratusan peserta simposium terkhusus kepada korban pelanggaran HAM 65. Diperkuat dengan testimoni Sintong Panjaitan yang mengatakan bahwa tidak benar banyak yang dibunuh pada peristiwa 65, tidak benar sama sekali. “Saya sebagai pimpinan di Pati waktu itu ditangkap 200 orang satu orang lari saya tembak dan mati. Selama saya tugas disana hanya 1 orang yang ditembak RPKAD.
Semua daerah yang operasi tidak ada pembunuhan. Jadi informasi korban 500rb-1 jt bahkan ada yang bilang 3 jt tidak benar itu.Bahkan Sintong menantang akademisi dari universitas-universitas untuk melakukan penyelidikan dan penelitian untuk mengungkap fakta pembunuhan tsb. Tapi Sintong lupa bahwa dalam pembuktian pelanggaran HAM bukan hanya dari segi jumlah, tapi luasan peristiwanya yang meluas (di beberapa wilayah di indonesia) dan bentuknya sama (jenis perlakuannya).Â
Senada dengan yang disampaikan DR. Asvi Warman Adam bahwa ini kasus pelanggaran HAM yang sangat konkrit  dilihat dari tempat, korban, pelaksana lapangan sangat jelas. Sehingga menurut beliau bentuk penyelesaian peristiwa 65 sebaiknya dipilah pilah sehingga lebih mudah diselesaikan. Pertama kejadian malam hari G30 S siapa dalang? Kemudian terjadi pembunuhan di beberapa wilayah lainnya. Meski demikian simposium ini bukan akhir dari penyelesaian pelanggaran HAM tragedi 65 apapun itu rekomendasi nantinya. Apakah menguntungkan korban atau tidak paling tidak sudah ada upaya pemerintah guna penyelesaian tragedi 65. Dorongan korban dan semangat menyuarakan itu menjadi faktor penentu dalam keberlanjutan pengungkapan tragedi 65 ini.Â
Beberapa hal yang penting dari penyelesaian tragedi ini yang ingin penulis sampaikan pertama bahwa proses rekonsiliasi kalau mau dilakukan nantinya harus didahului dengan proses hukum terhadap para pelaku agar kebenaran dan keadilan terungkap. Kalau dikatakan pelakunya sudah pada mati itu tidak jawaban soal niat baik mau mengungkapnya itu yang terpenting soal bagaimana caranya pasti bisa dilakukan pemerintah. Selanjutnya lakukan Rehabilitasi terhadap nama baik dan kehormatan para korban peristiwa tahun 1965. Tidak sulit bagi pemerintah untuk melakukan 2 hal ini. Silahkan mana yang diluan dilakukan.
 Jika ini sudah terjadi percayalah kehidupan berbangsa dan bernegara antara sesama anak bangsapun akan hidup dengan damai tanpa ada cercaan ataupun anggapan bahwa x anak PKI, ormas y ikut menghabisi PKI dls. Kita rindu indonesia menjadi indonesia yang betul-betul menghormati dan menghargai HAM. Sebuah keniscayaan ini akan terwujud. Ditangan Jokowi lah penentu. Setelah Jokowi saya tidak yakin tragedi ini akan dapat diselesaikan. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H