REFLEKSI DIRI GURU MENGHADAPI TANTANGAN ERA DISRUPSI
Â
Â
 Profesi menjadi guru di era disrupsi memiliki tantangan tersendiri.  Di satu sisi guru dituntut untuk profesional menjalankan tugas sebagai guru yang mencerdaskan anak bangsa, disatu sisi guru dituntut orang tua murid untuk memperhatikan anak mereka secara maksimal.  Tidak peduli bagaimana kondisi mental si anak.  Terkadang guru dihadapkan pada situasi yang tidak mengenakkan. Â
Guru harus menegakkan kedisipilan, keteraturan, dan kenyamanan dalam proses belajar mengajar, namun beberapa anak mengacaukan semuanya dengan polah tingkah mereka yang menjengkelkan dan membuat emosi guru memuncak. Â Kenakalan anak dewasa ini semakin meningkat dan semakin kreatif. Â Semuanya mereka peroleh dari dunia internet. Â Sebesar apapun kenalakan siswa dan seberat apapun kelakukan siswa, kami para guru tetap dituntut untuk memberikan nilai minimal Baik pada nilai sikap dan perilaku. Â Suatu dilema yang amat berat ketika harus mencantumkan nilai B pada siswa yang sebenarnya perilakunya tidak terpuji.
Aku mengajar di kelas yang terkenal "horor" pada jam terakhir, hemm perlu dan sangat dibutuhkan mental dan cadangan kesabaran yang luar biasa. Â Dari ruang guru sudah kupersiapkan amunisi kesabaran dan ketegasan yang cukup untuk menghadapi siswa yang penuh dengan kreativitas "kenakalan". Â Bismillah aku berjalan menuju kelas itu. Â Belumlah sempurna kaki ini mengijak kelas, tiba-tiba keriuhan siswa yang berlarian masuk ke kelas memberondong hampir menabrakku. Kuperhatikan satu-persatu siswa di kelas ini. Â
Kusodorkan pertanyaan "hari ini ulangan, silahkan belajar dulu". Â Satu anak menyeletuk dengan omongan yang teramat sangat tidak enak di telinga hingga membuat mukaku merah padam menahan amarah. Â Kuusir anak itu keluar dari kelas, "keluar kamu!! saya tidak butuh anak yang tidak sopan sepertimu!! akhlakmu sungguh tidak baik!!" Â Kalimatku keluar disertai amarah yang tertahan. Â Bukannya takut, si anak justru semakin tertantang untuk mengeluarkan kata-kata yang lebih pedas dan memekakkan telinga. Â
Aku hanya bisa mengelus dada sambil berdzikir menyebut asma Allah agar diberi kesabaran dan kelapangan dada menghadapi anak seperti itu. Â Masih ada satu kelas yang berisi 31 anak yang harus kudidik, namun menghadapi satu anak ini tekadku untuk mengajar jadi abyar. Â Aku harus bisa mengalahkan emosi yang meletus-letup di otakku. Aku duduk di meja guru sambil mengatur nafas dan emosi. Â Setelah suasana menjadi tenang setelah anak itu pergi, suasana kelas menjadi kondusif dan pembelajaranpun bisa berlangsung dengan baik.
Setelah kejadian itu si anak tidak pernah nonggol lagi. Â Pembelajaran menjadi kondusif tanpa anak itu, namun masalah tidak berhenti di sini. Â Justru masalah dengan anak itu berawal disini, aku berpikir keras bagaimana cara menilai anak itu. Â Tugas kosong, ulangan kosong. Â Sejuta tanya berkecamuk di dada. Â
Aku berusaha mencari cara bagaimana menilai anak itu, sampai sekarang PR itu masih belum terpecahkan. Â Anak itu secara kinestetik sangat baik, dia juara sepak bola tingkat kabupaten, namun sikap dan perilakunya sangat, sangat tidak terpuji. Â Jika ada anak itu di kelas maka konsentrasi kelas buyar, dia mengacaukan suasana kelas. Â Tidak hanya aku yang mengalami kejadian yang tidak mengenakkan di kelas itu, namun hampir semua guru mengeluh dengan kondisi kelas yang tidak nyaman. Â Bahkan wali kelasnyapun sudah menyerah tidak sanggup mengatasi situasi yang sedemikian rupa.
Sebagai seorang guru profesional saya sadar bahwa guru harus dapat mendidik siswa-siswi menjadi pribadi unggul yang memiliki akhlak dan moral terpuji. Â Sementara keluarga dan lingkungan pergaulan siswa sering tidak mendukung siswa menjadi anak yang sholeh dan sholeh. Â Keluarga yang tidak utuh, ayah dan ibu bercerai. Â
Anak menjadi korban, akhirnya melampiaskan segala emosi yang meledak di sekolah. Â Guru yang harus menangani masalah siswa, belum selesai dengan satu siswa, muncul masalah dengan siswa lain. Â Pergaulan dengan dunia internet yang tidak mengenal batas, orang tua tidak memberikan pengawasan membuat siswa menjadi anak liar yang berselancar di dunia maya tanpa memiliki filter. Â Semua ditelan mentah-mentah, usia mereka yang belum dewasa membuat mereka larut dalam akun yang tidak bertanggung jawab.
Ketika ada perkelahian di luar sekolah entah itu tawuran atau perusakan, sekolah dan guru yang dipersalahkan. Â Lalau dimana tanggung jawab orang tua. Â Sesungguhnya pendidikan yang paling utama adalah pendidikan dari lingkungan keluarga. Â Ibu merupakan sosok teladan seorang anak. Â Baik tidaknya seorang anak tergantung bagaimana cara ibu mendidik anak. Â Sebagai seorang ibu yang baik, ia akan mendidik anak dengan penuh tanggung jawab, Â penuh keteladanan, dan penuh kasih sayang.
Kerja sama yang baik dan terjaga antara sekolah, pihak keluarga, dan masyarakat sepertinya menjadi salah satu solusi untuk mengatasi moral dan perilaku siswa yang kurang terpuji. Â Perlu adanya keluarga yang utuh dan harmonis untuk dapat menghasilkan perilaku siswa yang terpuji. Â Lingkungan yang mendidik dan kondusif sangat mempengaruhi perilaku siswa, siswa akan mengikuti lingkungan dimana mereka berada. Â Jika seorang siswa nakal maka perlu dicari tahu siapa temannya, seorang teman akan mempengaruhi karakter siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H