Inflasi menurut KBBI adalah "kemerosotan nilai... karena banyaknya dan cepatnya...". Â Tampaknya yang hendak dicapai dengan berbagai revisi Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen, di samping sudah barang tentu, merit system, adalah ekuilibrium yang diperbarui terus-menerus, diantara estimasi situasi defisit dan inflasi Guru Besar.
Di samping itu, pemeriksaan tersebut perlu dilengkapi juga dengan Sumber Kedua, yakni pengkajian atas komentar-komentar sistematis yang telah tersedia atas kebijakan Pemerintah. Ambil contoh, Jaja Suteja (2020) mengungkapkan mengenai kaitan antara politik anggaran dengan proses Jabatan Fungsional Guru Besar, sebagai berikut:
"Satu sisi peneliti didorong, bahkan dipaksa harus meneliti dengan sedikit ancaman peninjauan kembali pembayaran sertifikasi dosen dan insentif kehormatan guru besar, namun pada sisi lain ketersediaan fasilitas penunjang seperti jurnal, kemudahan pengurusan jabatan fungsional masih terkendala dengan birokrasi, minimal pada tingkat adminitrasi awal (pengurusan jabatan fungsional dosen PTS masih sangat panjang alur birokrasinya).Â
Apakah karena masalah ketidakmampuan menyusun anggaran, atau karena kepentingan sekelompok tertentu yang memiliki akses terhadap penyusunan anggaran atau karena ketidakmampuan meng-estimate cash-in-flow harus dibayar dengan tertunda atau dibatalkannya sejumlah penelitian bahkan bagi peneliti muda (dosen yang belum memiliki jabatan fungsional, yang sering diplesetkan sebagai tentara pelajar) akan layu sebelum berkembang?"
Sumber Ketiga adalah kajian dari Guru Besar yang berpengalaman dan tak diragukan reputasinya oleh masyarakat. Ambil contoh, Prof.(Em.). Dr. Franz Magnis-Suseno. Pada harian Kompas, 9 Juli 2015, Romo Magnis (begitu beliau biasa dipanggil), Sang Begawan Kasma(ra)n, pernah menyampaikan sebuah proposal dengan penuh pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya Guru Besar diangkat dalam konteks negara kita, Indonesia (jadi, tidak semata-mata mengambil mentah-mentah kebijakan dari negara atau benua lain). Beliau menyatakan, sebagai berikut:
"Ambil kasus saya sendiri. Saya masih enak menjadi profesor: asal rajin mengumpulkan kum profesornya terjamin. Tahun 1994 kum saya melampaui 1.000, ya, jadi guru besar....Â
[Usulan untuk situasi sekarang adalah] Peningkatan produktivitas ilmiah staf akademis kita tak akan dicapai dengan metode palu. Untuk jadi guru besar cukup dipersyaratkan empat tulisan ilmiah state of the art yang dipublikasikan di Indonesia. Atau sebuah monografi yang betul-betul mengesankan (setingkat Habilitationsschrift di Jerman), yang kemudian dinilai, misalnya, oleh empat guru besar yang pakar, dua di antaranya dari luar universitas yang bersangkutan."
Franz von Magnis juga mempertanyakan, apakah bangsa membutuhkan spesialisme ekstrem dari para ilmuwan kita - khususnya pada bidang non-eksakta - sebagaimana diminta oleh jurnal-jurnal internasional yang dianggap bereputasi. Pertanyaan ini ternyata bukan hanya melanda bidang Filsafat, melainkan juga bidang Psikologi; bukan hanya di Indonesia, melainkan juga antar-bangsa.Â
Pun apakah asumsi bahwa persyaratan penerbitan di jurnal internasional dapat meningkatkan kualitas semua akademisi Indonesia sungguh-sungguh berdasar. Pesan beliau kiranya jelas: Hamparan kepelbagaian ilmu-ilmu (dan ilmuwan-ilmuwan serta insitusi-institusi) kita hendaknya tidak diukur dengan satu atau segelintir takaran produktivitas dan dampak. Oleh karenanya, baik juga bahwa sejak akhir 2020 lalu, Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomitmen merumuskan kembali persyaratan Guru Besar yang memberikan bobot yang lebih serius terhadap portofolio non-publikasi internasional.Â
Sehubungan dengan interkonektivitas ilmuwan dengan dunia internasional, perkembangan kebijakan tersebut dapat sejalan dengan kajian termutakhir bahwa "dunia ilmiah yang semakin digital kini - tidak seperti masa lalu - sudah mulai dapat dibayangkan tanpa jurnal ilmiah" (Kachniewska, 2019).Â
Kachniewska bahkan menangkap gejala adanya krisis jurnal ilmiah (the crisis of scientific journals). Bukan berarti kita ingin meninggalkan keilmiahan atau dunia ilmiah. Justru, yang perlu dikuatkan dalam situasi krisis ini sejatinya adalah sistem peninjauan sejawat (peer review system) oleh pakar (expert). Namun demikian, sistem ini, pada sebuah dunia yang mengalami transformasi digital, tidak lagi harus melalui sistem jurnal (setidaknya yang dalam bentuknya saat ini).Â