Menjadi Guru Besar (Profesor) ternyata menjadi idaman banyak orang, tidak terkecuali orang-orang yang kita kenal sebagai praktisi, seperti Kak Seto. "Usia boleh senja. Namun semangat tetap menyala dalam mengejar cita-cita: Guru Besar!," ungkap beliau pada 26 November 2020.Â
Mungkin karena keprestisiusannya, kemuliaan kontribusinya, atau keduanya, jabatan Profesor memang sudah tersebut dan terkenal sejak lama di kalangan masyarakat luas. Putri Proklamator RI, Presiden Megawati Soekarnoputri pun pernah bercita-cita menjadi Profesor Pertanian. Belum lama, kita merasakan hangatnya pembahasan tentang diksi "saya profesor beneran" dan sebutan Profesor sebagai "panggilan kesayangan".
Baru-baru ini, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyelenggarakan Seri Diskusi KIKA: Kesejahteraan Dosen dan Problematika Perguruan Tinggi di Indonesia. Salah satunya, didiskusikan mengenai Problem tentang Guru Besar/Profesor (mulai menit ke-26:39). Tampaknya, pembahasan tentang hal ini merupakan kelanjutan dari petisi daring yang diajukan pembicara KIKA yang bertajuk "Stop dagelan di Pendidikan Tinggi: Guru Besar milik Institusi yang menjunjung tinggi aktivitas keilmiahan".
Saya menyadari bahwa pembahasan mengenai sistem pengangkatan Guru Besar atau Profesor merupakan hal yang kompleks. Oleh karenanya, pembahasannya perlu dilakukan secara seksama, berhati-hati, dan tidak mungkin menjadi sebuah pembahasan sisipan. Di samping itu, sudah banyak pula pihak yang membahasnya dalam berbagai fragmen di media massa.Â
Berbicara tentang pengalaman mengobservasi kualifikasi dan kegiatan Profesor di kancah internasional, walau kampus luar negeri "tinggal buka slot kepegawaian untuk level profesor" (menit ke-29:15), karena profesor adalah sebuah posisi, Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) mengakui bahwa menjadi profesor di kampus luar negeri tidak mudah. "Karena begitu kita direkrut menjadi profesor di kampus itu, bukan berarti langsung menjadi profesor penuh dan juga dievaluasi setiap tahunnya," ungkapnya.Â
Dengan demikian, menjadi Profesor memiliki tantangannya sendiri di setiap negara, baik Profesor sebagai sebuah posisi (seperti di sejumlah negara di luar negeri) maupun sebagai sebuah jenjang karir (seperti di Indonesia). Yang jelas, kita perlu mengerti terlebih dahulu perkembangan diskusi termutakhir di Indonesia tentang kegurubesaran.
Diskusi tentang Profesor: Mulai dari Mana?
Beberapa sumber pembahasan yang penting, misalnya, Sumber Pertama, naskah-naskah akademik kebijakan serta pidato-pidato kunci dari Direktorat Jenderal yang menangani Sumber Daya Manusia di lingkungan Kementerian (Kemendiknas/ Kemenristekdikti/ Kemendikbud).Â
Biasanya, dalam naskah dan pidato tersebut, termuat fakta, argumen, alur pikir, dan upaya Pemerintah sehubungan dengan pengangkatan Guru Besar dan kualifikasinya.
Pemeriksaan secara seksama atas hal-hal tersebut merupakan hal yang sangat penting. Bukan hanya melihat secara sekilas dokumen kebijakannya saja, melainkan mengikuti naskah atau pun verbalisasi pertanggungjawaban akademik di baliknya, yang seringkali perlu dilakukan dengan pengamatan secara historis dari waktu ke waktu, mirip kerja-kerja jurnalisme mendalam.Â
Faktanya, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, Kementerian Ristekdikti, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc., Ph.D. [catatan: sekarang Dirjen Dikti Kementerian Dikbud, dijabat oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN Eng.], pernah mengungkap dalam berbagai kesempatan (diantaranya pernah saya dengar pada 2018 di Auditorium Universitas Narotama Surabaya), bahwa Indonesia mengalami "kelebihan guru besar" pada sebuah periode di masa lalu, bahkan, "inflasi guru besar".Â