Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Psikologi Nusantara, Psikologi yang Bagaimana?

20 Oktober 2015   06:40 Diperbarui: 21 Oktober 2015   04:35 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Ilmu Psikologi | qolbunhadi.com

Pada 18 September 2015, saya diminta untuk menjadi pembicara Studium Generale bertajuk Psikologi Nusantara di Universitas Islam Negeri Malang, sekaligus penilai paper. Acara ini merupakan bagian dari Temu Ilmiah Nasional yang diselenggarakan oleh Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia (ILMPI). Berikut ini adalah sejumlah pokok pikiran yang saya sampaikan. Untuk memahami "Psikologi Nusantara", kita perlu membandingkan dengan istilah dengan struktur yang sama. Apa kesan yang kita tangkap jika mendengar istilah "Russian Psychology", "American Psychology"? Sekarang memarak istilah "Nusantara Psychology" (apakah sekadar ikut-ikutan "Nusantara Islam"?).

Coba kita telaah sejenak apa kata Rakhman Ardi (2011) tentang Psikologi Rusia: "Kekhasan tradisi dalam psikologi domestik Rusia adalah pada kontradiksi-kontradiksi psikis sebagaimana terdapat dalam ajaran dialektika, namun disatu sisi juga terdapat aroma emansipatoris Marx dan tradisi spiritual-eksistensial ortodoks."

Pernyataan tentang Psikologi Rusia di atas sangat kental aroma epistemologisnya [catatan: epistemologi berkenaan dengan bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar]. Bagaimana halnya dengan Psikologi Nusantara? Apakah ingin melakukan unifikasi dalam psikologi? Rasanya, tidak. Pertanyaan yang penting malahan: Adakah bangunan epistemologinya, atau, apakah psikologi nusantara hanya ingin bermain dalam arena aksiologis [catatan: aksiologi berkenaan dengan penerapan ilmu pengetahuan untuk kebaikan manusia]? Mana yang sedang kita cari, "Nusantara Psychology" (Psikologi Nusantara) ataukah cukup "Psychology in Nusantara" (Psikologi di Nusantara)? Guna memahami "(Terapan) Psikologi di Nusantara", kita dapat membandingkannya dengan tulisan Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya, "Psikologi Dalam Praktek" (2003), mengenai "(Terapan) Psikologi Dalam Masyarakat Islam". Di halaman 123 dari buku tersebut ia menulis:

"Judul semula yang diberikan kepada saya untuk ceramah ini dari pihak panitia adalah 'Peluang Psikologi Islami dalam bidang sosial kemasyarakatan'. Judul ini kurang dapat saya pahami, karena sejauh yang saya ketahui definisi psikologi yang paling disepakati oleh para pakar adalah 'ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia'. Ilmu adalah sesuatu yang universal dan netral. Demikian pula psikologi sebagai salah satu cabang ilmu.

Misalnya, hukum operant conditioning dari B. F. Skinner, berlaku umum. Tidak membedakan tempat, waktu, ras, dan agama. Yang bersifat khusus, kondisional atau situasional adalah obyek ilmunya. Dalam hal psikologi yang bersifat khusus adalah perilaku manusianya dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku itu. Dalam hukum operant conditioning, misalnya, suara azan merupakan discriminant stimulus bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat, sementara untuk yang non-Islam tidak bermakna apa-apa. Halini bukan psikologi yang Islami atau non-Islami melainkan dari masyarakatnya sebagai salah satu perwujudan perilaku manusianya."

Jelas bahwa Psikologi (yang diterapkan) Dalam Masyarakat Islam bukanlah serta-merta "Psikologi Islami". Demikian, Psikologi yang diterapkan di Nusantara bukan juga begitu saja dapat kita sebut "Psikologi Nusantara". Untuk membangun sebuah Psikologi Islami dan Psikologi Nusantara bukan sekadar persoalan menerapkan psikologi dalam sebuah konteks atau masyarakat khusus, bukan juga seperti mencari padanan bahasa-bahasa atau istilah-istilah psikologi yang baku dengan bahasa-bahasa atau istilah-istilah spesifik-Islam atau spesifik-Nusantara, melainkan perlu dan sentral posisinya, suatu bangunan ontologis dan epistemologis yang khas.

Kita ingin apakah dengan psikologi nusantara? (berbicara tentang motif). Apakah sekadar mau memiliki psikologi yang unggul? (karena selama ini komunitas keilmuan kita merasa 'terjajah' oleh "Psikologi Barat"?). Dalam arti, kita kini semakin sadar untuk tidak cukup menjadi konsumen konsep dan teori psikologi, melainkan ingin lebih signifikan berkontribusi menelurkan konsep dan teori psikologi (menjadi produsen ilmu pengetahuan). Kita ingat, ada juga upaya mengkonstruk Manusia Nusantara ("Manusia Indonesia") oleh Mochtar Lubis (1977). Menurutnya ada 7 ciri manusia Indonesia. Apakah tulisan Lubis tidak menambah pemahaman tentang Psikologi Nusantara, atau justru telah memberikan sekelumit sendi-sendinya?

Pada 2006, Prawitasari menerbitkan sebuah artikel dalam Buletin Psikologi: "Psikologi Nusantara: Kesanakah Kita Menuju?"  Dalam artikel tersebut, ia mempertanyakan, “Mengapa kita tidak berani untuk mengembangkan dan mengkonstruksikan psikologi nusantara? Terutama kita perlu berani untuk mengemukakan konstruksi psikologis berdasarkan pengalaman dan pemikiran orang Indonesia?” Sebenarnya sudah sejak 1975, hal yang dipertanyakan oleh Prawitasari sudah ada jawabnya. Disertasi Fuad Hassan yang berjudul "Kita dan Kami: Suatu Analisa Tentang Modus Dasar Kebersamaan" yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul "Psikologi-Kita dan Eksistensialisme: Pengantar Filsafat Barat, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Kita dan Kami" merupakan contoh dari keberanian yang dipertanyakan tersebut.

Dalam testimoni tentang buku tersebut, Sarlito Wirawan Sarwono menulis:
"… jernihnya pemikiran Fuad Hassan terbaca dalam karyanya Kita dan Kami: Sebuah Analisis tentang Modus Dasar Kebersamaan. Di situ dikatakannya, gangguan neurosis disebabkan oleh konflik eksistensial yang ditimbulkan karena rasa ke-Kita-an yang dikalahkan oleh rasa ke-Kami-an. Bahasa Barat (termasuk bahasa Inggris dan Belanda) tidak membedakan antara “Kami” (aku dan kawan-kawanku) dengan “Kita” (aku dan kau). Semuanya disatukan saja dalam istilah “we” (Inggris) atau “wij” (Belanda). Karena itu, orang Barat lebih rentan terhadap neurosis ketimbang kita di Indonesia."

Jadi, apa sebenarnya Psikologi Nusantara itu? Minimal, apakah ciri-cirinya? Apakah misalnya, karya Ryan Sugiarto (2015) yang berjudul "Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram" juga dapat digolongkan sebagai karya Psikologi Nusantara? Apakah hal yang disampaikan Fuad Hasaan dalam buku "Dialog Psikologi Indonesia: Doeloe, Kini dan Esok" (2007)  berikut ini (halaman 127) juga dapat digolongkan sebagai Psikologi Nusantara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun