Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Psikologi Nusantara, Psikologi yang Bagaimana?

20 Oktober 2015   06:40 Diperbarui: 21 Oktober 2015   04:35 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sekarang bagaimana secara teoretis, psikologi melahirkan konsep-konsepnya yang baru … Nah itu yang menurut saya jadi ukuran untuk mengatakan psikologi maju atau tidak. Penemuan wawasan, insights yang baru melalui pengamatan atau penelitian di lapangan yang menghasilkan our concepts about so many things. The way we look at things. Begini saja, ada / tidak studi tentang dalang? Dalang itu memainkan beberapa persona sekaligus. Dari yang jahat, yang baik. Terus suaranya berganti-ganti. Apa saya bisa menyimpulkan, to be a  dalang you have to be a psycho? Lalu keahlian ini dari mana tumbuhnya? Saya kira, kalau diadakan studi bersama antara psikolog Jawa dan psikolog Belanda, mungkin hasilnya lain. Jadi yang saya harapkan di sini adalah kemajuan psikologi yang dipublikasikan, yang bisa jelas-jelas memberi ciri psikologi.”

Syarat Psikologi Nusantara

Dalam tulisan ini, saya mengajukan dua penanda atau syarat penting dari Psikologi Nusantara. Syarat pertama, Psikologi Nusantara merupakan hasil indigenisasi yang rigid/ketat. Daniel Dhakidae (2006) dalam Prisma Nomor 17/XXI/2006 menjelaskan tentang indigenisasi:

"Secara umum indigenisasi berarti suatu aksi protes terhadap suatu “imperialisme akademik” dalam dua pengertian sekaligus. Pertama, imperialisme metodik dan kedua imperialisme ideologis pengetahuan. Imperialisme  metodik dengan sangat gamblang dilihat dalam klaim universalitas, obyektivitas, dan ketidakberpihakan .... (Namun) Bila tidak hati-hati, indigenisasi ilmu sosial hanya akan menunjukkan jenis ilmu sosial yang bermutu lebih rendah, yang lebih 'ngawur' metodenya, dan lebih miskin hasilnya."

Jadi, yang dimaksud dengan indigenisasi yang rigid/ketat adalah suatu tindakan ilmiah kita berdasarkan gugatan epistemologis terhadap arus utama Psikologi Barat. Dalam kerangka ini, ungkapan Fuad Hassan di atas mengenai perlunya Psikologi Dalang sebenarnya merupakan stimulasi awal, sebuah pintu masuk, yang bila ditindaklanjuti dengan metode riset yang memadai, sudah memenuhi syarat pertama dari Psikologi Nusantara. Namun syarat yang pertama ini adalah syarat perlu (necessary condition) namun tidak cukup sebagai sebuah Psikologi Nusantara.

Syarat yang kedua, syarat cukup (sufficient condition)-nya, menurut hemat saya, Psikologi Nusantara merupakan suatu Psikologi Lintas Budaya, yang melakukan perbandingan antar-budaya untuk menemukan persamaan dan perbedaan psikis antar kelompok budaya. Psikologi Nusantara bukanlah hanya Psikologi Kearifan Lokal dari budaya atau masyarakat tertentu atau Psikologi Indigenous [Psikologi Indigenous merupakan "studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri" (Uichol Kim dan John Berry, sebagaimana dikutip Sarlito W. Sarwono dalam Jurnal Psikologi Ulayat, Vol 1 No 1)].

Syarat kedua bahwa Psikologi Nusantara haruslah merupakan Psikologi Lintas Budaya (cross-cultural psychology) ini sejalan dengan definisi kata "Nusantara" sendiri, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi "sebuatan (nama) bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia". Jadi, Nusantara bukan hanya Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, dan seterusnya, saja; melainkan keseluruhannya, kesatuannya.

Psikologi Nusantara merupakan sebuah Gestalt (totalitas) psikologis yang bukan hanya penjumlahan dari psike-psike-nya orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, dan seterusnya. Psikologi Nusantara memiliki konfigurasi baru yang melampaui penjumlahan itu. Dengan ini, karya Fuad Hassan yang disebutkan di atas "Kita dan Kami: Suatu Analisa Tentang Modus Dasar Kebersamaan" sesungguhnya merupakan karya pertama di Indonesia yang bercorakkan Psikologi Nusantara. Upaya Mochtar Lubis (1977) untuk mendeskripsikan Siapakah Manusia Indonesia itu, dapat dipandang sebagai sebuah stimulasi awal menuju Psikologi Nusantara.

[caption caption="Sumber: http://d.gr-assets.com/books/1423965991l/24937299.jpg"]

[/caption]

Guna menandaskan syarat kedua ini, kita perlu menengok kembali tulisan Franz Magnis-Suseno, "Sekitar Kebudayaan Nasional" dalam bukunya "Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis" (1995). Di halaman 37-39, ia mengemukakan sejumlah pokok pikiran. Saya akan menurunkan pokok-pokok pikiran tersebut menjadi ciri-ciri Psikologi Nusantara. Ialah sebagai berikut:

  1. "Kebudayaan nasional jangan diidentikkan dengan budaya asli salah satu kelompok dalam masyarakat." Implikasi dari pemikiran ini: Psikologi Kearifan Lokal (Psikologi Budaya Asli, Psikologi Salah Satu Kelompok Dalam Masyarakat) bukanlah Psikologi Nusantara.
  2. "Budaya Jawa bisa ada tanpa budaya Sunda, tetapi budaya Indonesia tidak bisa ada tanpa budaya Jawa dan budaya Sunda." Implikasi dari pemikiran ini: Psikologi Nusantara membutuhkan Psikologi Budaya Asli. Psikologi Nusantara membutuhkan Psikologi Jawa, Psikologi Sunda, Psikologi Batak, dan seterusnya. Psikologi Sunda memang bisa ada tanpa Psikologi Batak, demikian sebaliknya, namun Psikologi Nusantara tidak dapat ada tanpa Psikologi Batak dan Psikologi Sunda.
  3. "Semakin berkembang budaya-budaya asli, semakin berkembang budaya nasional." Implikasi dari pemikiran ini: Psikologi Kearifan Lokal mendukung perkembangan Psikologi Nusantara. Psikologi Kearifan Lokal memang bukan Psikologi Nusantara, namun bukan berarti dalam rangka Psikologi Nusantara, maka Psikologi Kearifan Lokal tidak perlu dikembangkan melalui penelitian, kajian, refleksi, dan sebagainya. Psikologi Kearifan Lokal justru perlu dan wajib berkembang agar Psikologi Nusantara juga berkembang.
  4. "Kebudayaan nasional merupakan realitas karena .... Kesatuan nasional merupakan realitas (memberikan identitas kepada kita semua)." Implikasi dari pemikiran ini: Psikologi Nusantara perlu menjadi sebuah realitas dan memberikan identitas kepada psikologi kita. Nyatanya, Psikologi Nusantara belum menjadi identitas komunitas psikologi sekalipun, belum menjadi arus utama psikologi kita.
  5. "Kebudayaan merupakan peristiwa komunikatif sebuah masyarakat .... Jangan merekayasa 'Kebudayaan nasional', karena kebudayaan merupakan nafas masyarakat." Implikasi dari pemikiran ini: Psikologi Nusantara jangan hanya menjadi rekayasa elit psikologi, baik elit ilmuwan maupun elit praktisi. Jika kita berbicara tentang Psikologi Nusantara, harus ada dan banyak warga Nusantara yang dapat merasa memiliki dan menghayati Psikologi ini karena Psikologi ini secara historis memang berasal dari mereka.

Saya ingin menambahkan satu ciri lagi dari Psikologi Nusantara. Suatu kali, MAW Brouwer menulis ungkapan "in statu nascendi (Latin = ”in magic momentum of creation, development and innovation”) atau membuka peluang kombinasi sifat-sifat mulia yang unik". Ya, itulah Nusantara kita yang masih dalam proses 'menjadi'. Implikasinya, Psikologi Nusantara tidaklah statis, dan membutuhkan penelitian terus-menerus seiring dengan perkembangan kontemporer dari interaksi antara alam-masyarakat dan masyarakat-masyarakatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun