Apakah Psikologi Evolusioner Itu?
Psikologi evolusioner merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan pengetahuan biologi evolusioner terhadap teori dan riset psikologis. Asumsi sentralnya adalah bahwa otak manusia terdiri atas sejumlah besar mekanisme terspesialisasi yang dibentuk oleh seleksi alam sepanjang periode-periode waktu yang panjang guna memecahkan masalah-masalah pemrosesan informasi yang berulang yang dihadapi oleh nenek moyang manusia. Permasalahan ini mencakup hal-hal seperti: memilih makanan yang hendak dimakan, menegosiasikan hierarki sosial, membagi-bagi investasi di antara keturunan, dan menyeleksi pasangan. Lapangan psikologi evolusioner berfokus pada upaya menjelaskan secara lengkap sifat dari permasalahan pemrosesan informasi spesifik yang dihadapi sepanjang sejarah evolusi manusia, dan pengembangan serta pengujian model-model adaptasi psikologis (mekanisme-mekanisme dan strategi-strategi perilaku) yang telah berevolusi sebagai solusi terhadap permasalahan ini.
Pendekatan psikologi evolusioner banyak dikritik karena penjelasan-penjelasan yang dihasilkannya nampaknya tidak dapat diuji serta bersifat post hoc (sesudah kejadian) untuk setiap fenomena psikologis. Kritik ini berpandangan bahwa penjelasan psikologi evolusioner hanyalah merupakan “cerita-cerita” yang bersifat fleksibel dan tak terbatas yang dapat dikonstruksi untuk memperoleh kesesuaian dengan observasi empiris apapun. Penjelasan-penjelasan ini tidak dapat dikonfirmasi maupun didiskonfirmasi oleh data. Sebabnya, penolakan terhadap satu cerita adaptif biasanya menimbulkan penggantinya oleh cerita lain; ketimbang mencurigai bahwa barangkali diperlukan jenis penjelasan yang lain. Kedua, kriteria penerimaan sebuah cerita begitu leluasa, sehingga cerita-cerita tersebut dapat melalui kriteria itu tanpa konfirmasi yang tepat. Seringkali, ahli psikologi evolusioner menggunakan konsistensi data sebagai kriteria satu-satunya dan menganggap pekerjaan mereka selesai ketika mereka menemukan sebuah cerita yang masuk akal.
Dengan demikian, ada pandangan bahwa penjelasan evolusioner tidak dapat difalsifikasi. Pandangan ini berdasarkan dua klaim: (1) bahwa asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern dianggap tidak dapat diuji, (2) bahwa model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner spesifik yang diturunkan dari asumsi-asumsi dasar ini juga dianggap tidak dapat diuji. Klaim kedua dijabarkan sebagai salah satu atau seluruh dari pernyataan berikut: (2a) model-model dan hipotesis evolusioner spesifik dianggap (secara prinsip) tidak dapat ditolak dengan basis bukti; atau (2b) bahkan apabila model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner dapat secara prinsip ditolak, standar bukti yang digunakan oleh ahli psikologi evolusioner untuk mengevaluasi model-model dan hipotesis-hipotesis tersebut tidak mengikuti prinsip-prinsip yang sudah baku diterima dalam filsafat ilmu.
Fokus tulisan ini adalah pada pernyataan (1) dan (2b), yang memfokuskan diri pada pendapat bahwa ahli psikologi evolusioner tidak menggunakan kriteria yang dapat dipertahankan (defensible criteria) secara ilmiah guna mengevaluasi model-model teoretis dalam hubungannya dengan performa dari hipotesis-hipotesis dan prediksi-prediksi derivatnya. Pusat pembahasan tulisan ini berkisar pada topik-topik model-model evolusioner tentang kekerasan keluarga, kecemburuan seksual, dan MPI (male parental investment).
Bagian pertama tulisan ini mengevaluasi apakah prosedur-prosedur untuk mengembangkan dan menguji model-model evolusioner itu konsisten dengan filsafat ilmu. Perhatian khusus diberikan kepada penghasilan model-model alternatif atau kontestasi model dalam kerangka kerja evolusioner tunggal (yakni, ketika model-model evolusioner yang berbeda menghasilkan prediksi-prediksi yang bertentangan). Tulisan ini berargumen bahwa kontestasi ini merupakan fungsi dari berbagai tingkat penjelasan ilmiah yang digunakan oleh ahli psikologi evolusioner. Sistem penjelasan ini mengikuti filsafat ilmu dari Lakatos. Model Lakatosian mampu mengakomodasi pengembangan dan pengujian penjelasan-penjelasan (evolusioner) alternatif dalam kerangka kerja metateori (evolusioner) tunggal yang bersifat menyatukan (unifying).
Bagian selanjutnya tulisan ini memeriksa bagaimana asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern telah dievaluasi. Tulisan ini berargumen bahwa kritik bahwa asumsi-asumsi inti dari teori evolusioner modern tidak dapat diuji tidak dapat dibenarkan. Teori evolusioner modern memenuhi kriteria Lakatosian tentang progresivitas berdasarkan kemampuannya untuk “mencerna” (secara sukses menjelaskan) anomali-anomali yang nampak serta menghasilkan prediksi-prediksi dan penjelasan-penjelasan baru. Psikologi evolusioner memiliki tanda-tanda dari program riset progresif saat ini yang mampu memberikan pengetahuan baru mengenai cara kerja mind.
Filsafat Ilmu Lakatosian dalam Psikologi
Guna menyajikan seperangkat kriteria untuk menarik garis batas antara sains dan ilmu semu, filsuf Karl Popper memperkenalkan strategi falsifikasi. Menurut Popper, penjelasan-penjelasan ilmiah terdiri atas pernyataan-pernyataan yang secara empiris dapat diuji guna menentukan apakah pernyataan-pernyataan tersebut diverifikasi (didukung oleh data) atau difalsifikasi (inkonsisten dengan data). Popper menerapkan metode falsifikasi ini pada pengujian teori secara deduktif:
“Kita mencari sebuah keputusan menyangkut pernyataan-pernyataan derivat ini dengan membandingkan pernyataan-pernyataan tersebut dengan hasil-hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila keputusan ini positif, yakni apabila kesimpulan-kesimpulan singular yang dihasilkan dapat diterima, atau diverifikasikan, maka teori tersebut telah, untuk sementara waktu ini, melewati pengujian ini: kita tidak memiliki alasan untuk membuang pernyataan tersebut. Namun apabila keputusannya negatif, atau dengan perkataan lain bila kesimpulan-kesimpulan telah difalsifikasi, maka falsifikasi ini juga memfalsifikasi teori yang menjadi sumber dari mana pernyataan-pernyataan tersebut dideduksi secara logis.”
Alan Newell (1990) seorang ilmuwan kognitif menyatakan bahwa dari sudut pandang Popperian, psikologi dipandang sebagai ilmu yang membedakan (discriminating science) yang berjanji untuk menyampaikan kebenaran tentang mind dengan mengungkapkan kesalahan-kesalahan dan membiarkan kita menyatukan kepingan-kepingan penjelasan “yang belum terfalsifikasi” guna mencapai insight yang besar. Di mata Newell, pengandalan psikologi secara ketat pada filsafat ilmu Popperian menghasilkan terlalu banyak temuan-temuan empiris yang menyangkut dukungan (support) atau sangkalan (refutation) tentang oposisi-oposisi biner, misalnya natur lawan nurtur, sentral lawan periferal, serial lawan paralel. Strategi ini muncul dari permainan 20 pertanyaan dalam mana struktur esensial dari mind akan terungkap dengan (a) mengakumulasikan pengetahuan-pengetahuan negatif tentang apa yang mind tidak kerjakan, (b) menyimpulkan pengetahuan positif tentang bagaimana mind dioperasikan dengan mempertimbangkan penjelasan-penjelasan yang tersisa tak tersangkalkan. Newell menyatakan bahwa pendekatan diskriminasi terhadap penelitian, seperti dari Popper, hanya menciptakan pengetahuan negatif mengenai mind, dan karenanya, dengan sendirinya, tidak dapat menjadi sebuah strategi yang efisien untuk meningkatkan (advancing) pengetahuan positif mengenai betapa kompleks sesungguhnya proses-proses mental beroperasi.
Newell menganjurkan psikologi mengganti “pendekatan yang mendiskriminasi” (discriminating approach) dari perspektif Popperian yang ketat dengan “pendekatan aproksimasi/pendekatan yang mendekati” (approximating approach) yang diajukan oleh Imre Lakatos. Meminjam filsafat ilmu dari Lakatos, Newell berargumen bahwa tujuan ilmu psikologi lebih akurat dideskripsikan sebagai proses meningkatkan basis pengetahuan kita dengan cara mengkonstruksi secara lebih dan lebih baik lagi aproksimasi (pendekatan-pendekatan) tentang fenomena berdasarkan teori saat ini. Newell merujuk pada filsafat ilmu dari Lakatos sebagai approximating approach karena pekerjaan ilmuwan dari hari ke hari dilihat sebagai upaya-upaya kompetitif untuk menciptakan pendekatan terbaik (best approximation) tentang fenomena, berdasarkan asumsi-asumsi metateoretis tertentu yang telah disetujui. Seorang ilmuwan yang menggunakan pendekatan aproksimasi memulai dengan serangkaian prinsip-prinsip pertama di atas mana setiap orang dalam lapangan tersebut dapat bersetuju (misalnya empat prinsip Newton dalam fisika) dan kemudian menstrukturkan kemajuan ilmiah (scientific progress) di sekitar pekerjaan menggunakan prinsip-prinsip ini untuk mengkonstruksi model-model teoretis—aproksimasi—tentang fenomena partikular. Newell menulis sebagai berikut:
“Teori-teori merupakan aproksimasi. Tentu saja, kita semua mengetahui bahwa secara teknis teori-teori tersebut merupakan aproksimasi; dunia ini tidak dapat diketahui dengan kepastian absolut. Namun maksud saya lebih dari sekadar itu. Teori-teori merupakan aproksimasi/pendekatan yang disengaja (deliberately approximate)… Teori-teori diperhalus dan dirumuskan ulang, dikoreksi dan diperluas. Dengan demikian, kita tidak hidup dalam dunia Popper. Kita hidup dalam dunia Lakatos. Bekerja dengan teori tidaklah seperti bermain skeet shooting—di mana teori-teori diempaskan ke atas dan DORRR…….., ditembak jatuh dengan peluru falsifikasi dan itulah akhir dari cerita. Teori-teori lebih merupakan mahasiswa-mahasiswa—sekali mengakuinya sebagai mahasiswa, Anda berupaya keras untuk menghindari untuk menggagalkan/menjatuhkan mereka… Teori-teori merupakan hal-hal untuk dipelihara (nurtured), diubah, dan dibangun. Orang senang mengubah teori-teori untuk membuat teori-teori itu lebih berguna.”
Meskipun argumen Newell bernada penolakan yang kuat terhadap perspektif Popper, argumen tersebut dapat dipandang sebagai pengakuan akan perlunya peringatan kepada Popper: Bahwa meskipun metode falsifikasi berguna untuk mengevaluasi status ilmiah dari pernyataan-pernyataan tertentu, metode ini merupakan strategi yang tidak tepat untuk secara langsung menilai teori-teori yang menghasilkan pernyataan-pernyataan tersebut. Teori-teori dievaluasi secara relatif satu sama lain. Dari perspektif Lakatosian, sebuah teori dapat dipertahankan sebagai penjelasan terbaik yang ada tentang domain tertentu, bahkan bilamana teori tersebut telah mengalami kegagalan prediktif (predictive failures). Newell meminta psikologi untuk mengakui kegunaan dari filsafat ilmu Lakatosian sebagai tambahan (addendum) terhadap Popper, karena ia melihat model aproksimasi dari Lakatos lebih cocok dengan tugas mengkonstruksi sebuah metateori yang menyatukan (unifying metatheory) bagi psikologi.
Memahami logika dasar dari filsafat ilmu Lakatosian merupakan hal yang penting. Terdapat dua aspek utama dari filsafat ilmu Lakatos yang memberikan basis untuk mengkonstruksi dan mengevaluasi metateori dalam domain ilmiah yang sedang diselidiki. Aspek pertama adalah bahwa program-program penelitian metateoretis terpusat pada sebuah “inti keras” (hard core) dari asumsi-asumsi dasar yang dikelilingi oleh sebuah “sabuk pelindung” (protective belt) dari hipotesis-hipotesis bantu/yang menyokong (auxiliary hypotheses). Yang kedua adalah bahwa metateori-metateori yang berkompetisi dinilai sebagai hal progresif atau degeneratif berdasar pada kinerja pada sabuk pelindung mereka, ketimbang sebagai hal yang keliru atau belum difalsifikasi (Popperian).
Peran Metateori dalam Sains
[caption id="attachment_141427" align="alignleft" width="295" caption="http://www.xenophilia.com/blog/wp-content/uploads/2007/12/evolution.jpg"][/caption] Para ilmuwan umumnya mengandalkan asumsi-asumsi metateoretis dasar (meskipun biasanya implisit) ketika mereka membangun dan mengevaluasi teori-teori. Para ahli psikologi evolusioner seringkali meminta para ilmuwan behavioral untuk mengeksplisitkan asumsi-asumsi dasar mereka mengenai asal-usul (origins) dan struktur dari mind. Dalam tulisan ini, metateori didefinisikan sebagai seperangkat asumsi-asumsi dasar yang disepakati bersama yang membentuk bagaimana para ilmuwan menghasilkan, mengembangkan, dan menguji teori-teori dan hipotesis-hipotesis tingkat-menengah (middle theories and hypotheses). Sekali asumsi-asumsi dasar ini terbangun secara empiris seringkali tidak langsung diuji sesudahnya. Namun, asumsi-asumsi dasar tersebut digunakan sebagai titik mula untuk penelitian lebih jauh; yakni, asumsi-asumsi tersebut memberikan pengandaian-pengandaian a priori yang digunakan untuk membangun model-model teoretis yang lebih spesifik. Lakatos menamai asumsi-asumsi a priori dasar ini sebagai inti keras (hard core) dari sebuah program riset metateoretis. Hukum gerak dari Newton menyediakan metateori bagi mekanika klasik; prinsip-prinsip gradualisme dan tektonika piring menyediakan metateori bagi geologi; prinsip-prinsip adaptasi melalui seleksi alam menyediakan metateori bagi biologi.
Sejumlah sarjana telah menyatakan bahwa kendala terbesar bagi perkembangan psikologi sebagai sebuah ilmu adalah ketiadaan sebuah metateori yang koheren dan disepakati. Banyak para ahli psikologi evolusioner meyakini bahwa kendala ini dapat disingkirkan melalui adopsi metateori evolusioner.
Sebuah metateori beroperasi seperti sebuah peta mengenai tanah-lapang konseptual yang menantang. Peta ini mengindikasikan landmarks (hal-hal menonjol) dan batas-batas dari tanah lapang tersebut, yang menyatakan fitur-fitur mana sajakah yang konsisten dan mana yang inkonsisten dengan logika inti dari metateori tersebut. Dengan jalan ini, sebuah metateori memberikan seperangkat heuristik metodologis yang memadai: “Beberapa hal menyatakan kepada kita jalan (paths) untuk menghindar (heuristik negatif), dan beberapa hal lainnya menunjukkan jalan untuk dikejar (heuristik positif)” (Lakatos, 1970). Di tangan peneliti yang terlatih, sebuah metateori memberikan sebuah panduan dan mencegah jenis-jenis kesalahan tertentu, membangkitkan kecurigaan terhadap penjelasan atau pengamatan tertentu, menganjurkan garis-garis penelitian untuk diikuti, dan menyediakan kriteria yang dapat dipercaya untuk mengenali pengamatan-pengamatan fenomena natural yang signifikan. Kontribusi terutama dari metateori adalah bahwa metateori menyintesiskan teori-teori tingkat-menengah—teori-teori yang terletak pada tingkat intermediat antara asumsi-asumsi metateoretis dasar serta hipotesis-hipotesis dan prediksi-prediksi derivatifnya. Sintesis ini memungkinkan hasil-hasil empiris tentang berbagai program riset yang berbeda yang digerakkan oleh teori (theory-driven) untuk dijelaskan secara lengkap dalam sebuah kerangka kerja metateoretis yang lebih luas, yang membawa kepada kumulasi pengetahuan sistematis dan progresi menuju sebuah “gambaran besar” (big picture)yang koheren tentang subjek yang dipelajari.
Tingkat Metateori dari Analisis Dalam Psikologi Evolusioner
Dalam hal psikologi evolusioner, tingkat metateoretis terdiri atas prinsip-prinsip umum dari evolusi genetis yang diturunkan dari teori-teori evolusioner modern, sebagaimana diuraikan oleh W. D. Hamilton (1964) dan didukung dengan bukti oleh teori-teori “gen egois” (selfish gene) kontemporer tentang evolusi genetis melalui seleksi alam dan seksual. Para ahli psikologi evolusioner mengandaikan bahwa asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern adalah benar, dan selanjutnya bekerja berdasarkan asumsi-asumsi ini guna memeriksa bagaimana mereka dapat menerapkan pengetahuan kita tentang asal usul dan natur dari mind.
Pada tingkat metateoretis, psikologi evolusioner mengupayakan sebuah garis besar bagi studi psikologi. Secara spesifik, teori evolusi modern menyediakan seperangkat asumsi inti yang memungkinkan seseorang untuk membedakan antara hipotesis-hipotesis psikologis a priori yang masuk akal (plausible) dan tak masuk akal (implausible). Guna mengilustrasikannya, lihat diagram Venn dari tiga lingkaran yang berlekatan (Gambar 1). Masing-masing dari ketiga lingkaran ini mengandung sebuah kelas mekanisme psikologis. Lingkaran terbesar merujuk pada rangkaian dari semua mekanisme psikologis yang dapat dibayangkan secara menyeluruh dan tak terbatas secara virtual.
Para ilmuwan psikologis tentu saja tidak memberikan pertimbangan yang sama bobotnya terhadap seluruh mekanisme hipotetis ini. Mereka justru beroperasi pertama-tama dalam serangkaian posibilitas selanjutnya, yang berfokus pada seperangkat mekanisme yang lebih kecil yang telah dikenal baik reputasinya (putative)yang memenuhi sejumlah kriteria plausibilitas a priori yang disepakati.Hal ini direpresentasikan oleh lingkaran terbesar kedua (dilukiskan sebagai area yang tidak diwarnai abu-abu dalam Gambar 1) dalam diagram Venn, yang melekat dalam rangkaian dari semua kemungkinan mekanisme psikologis yang lebih besar. Batas-batas dari lingkaran kedua yang lebih kecil ini ditentukan oleh asumsi-asumsi metateoretis partikular yang diadopsi oleh seseorang. Dalam hal metateori digunakan oleh para ahli psikologi evolusioner, rangkaian kedua ini dibatasi oleh rangkaian mekanisme psikologis yang secara prinsip telah mengalami evolusi melalui seleksi alam dan seksual. Para ahli psikologi evolusioner memfokuskan perhatian mereka pada pengujian hipotesis tentang jenis mekanisme ini, mengabaikan rangkaian hipotesis yang lebih besar mengenai mekanisme psikologis yang dapat dibayangkan orang namun yang tidak mengalami evolusi (dan karenanya kemungkinan tidak memperoleh dukungan empiris).
Gambar 1. Diagram Venn yang menunjukkan bagaimana sebuah metateori menyempitkan cakupan riset kepada serangkaian terbatas hipotesis-hipotesis a priori yang masuk akal
Sebagai contoh, kebanyakan ahli psikologi evolusioner akan cukup skeptis terhadap hipotesis bahwa risiko kekerasan antarpribadi banyak ditentukan oleh frekuensi kontak antar individu (“hipotesis akses mutual”). Hipotesis ini telah diberikan oleh para kriminolog untuk menjelaskan mengapa keluarga merupakan lokus/tempat tunggal yang paling umum dari semua kejadian kekerasan antarpribadi. Hipotesis akses mutual ini menyatakan bahwa anak-anak yang paling sering berada dalam jarak pukul yang mudah dari orangtua mereka merupakan anak-anak yang berisiko paling besar untuk mengalami kekerasan fisik, tanpa mempertimbangkan apakah itu anak kandung atau anak tiri. Hipotesis akses mutual memberikan seperangkat mekanisme psikologis umum yang mendasari agresi (kekerasan langsung terhadap orang lain yang berada paling sering di sekeliling Anda danyang paling sering mempengaruhi Anda secara sering dan langsung) yang melintasi jenis-jenis hubungan sosial yang berbeda.
Namun demikian, dari perspektif evolusioner, eksistensi dari mekanisme umum tersebut akan menyusun sebuah hipotesis nol a priori (yang berlokasi pada area yang berwarna abu-abu pada diagram Venn Gambar 1). Hal ini karena seleksi alam menghendaki mekanisme-mekanisme psikologis yang berfungsi untuk mempromosikan kelangsungan hidup dan reproduksi dari keturunan dan kerabat dekat seseorang. Oleh karenanya, asumsi metateoretis dasar dari teori evolusioner adalah bahwa seleksi alam menghendaki “nepotisme”, kecondongan untuk melakukan diskriminasi menurut kekerabatan genetis. Berdasarkan tingkat keidentikan dari kedekatan fisik dan interaksi sosial, orangtua selayaknya lebih terinhibisi untuk menyakiti atau membunuh anak-anak biologis mereka ketimbang menyakiti atau membunuh anak-anak tiri mereka. Apabila perkiraan ini ditunjukkan salah (yakni, apabila mekanisme-mekanisme psikologis yang mendasari kekerasan keluarga tidak secara nepotistik bias, namun justru mengikuti aturan “jarak pukul mudah” yang umum yang diterapkan secara sama lintas hubungan genetis), maka hal ini akan mengundang pertanyaan tentang asumsi metateoretis dasar dari teori evolusioner modern. Jenis mekanisme anomali ini akan dilokasikan dalam irisan tipis (thin slice) pada bagian bawah dari diagram Venn (Gambar 1).
Oleh karena seringkali kriteria untuk menetapkan rentang dari mekanisme-mekanisme yang masuk akal (plausible mechanisms) menentukan lebih sedikit (underdetermine) rentang mekanisme-mekanisme pengamatan aktual, maka lingkaran ketiga diperlukan. Lingkaran ketiga ini terlekat dalam kedua lingkaran pertama. Bagi para ahli psikologi evolusioner, lingkaran ketiga ini berkorespondensi dengan seperangkat mekanisme psikologis yang telah berevolusi secara faktual (mekanisme-mekanisme yang eksistensinya didukung oleh bukti empiris). Secara ringkas, penggunaan metateori menempatkan batas-batas pada dua lingkaran mekanisme psikologis bagian dalam yang direpresentasikan dalam diagram Venn. Dengan mengeliminasi hipotesis nol a priori dari pertimbangan, maka penggunaan metateori memainkan peran penting untuk menyempitkan cakupan penelitian pada serangkaian terbatas dari hipotesis alternatif a priori yang diyakini/masuk akal (Gambar 1).
Sabuk Pelindung Metateori
Menurut model sains Lakatosian, inti keras (hard core) dari metateori dikelilingi oleh sabuk pelindung dari hipotesis-hipotesis bantu. Fungsi utama dari sabuk pelindung adalah menyediakan sarana yang dapat diverifikasi untuk menghubungkan asumsi-asumsi metateoretis dengan data yang dapat diobservasi. Secara esensial, sabuk pelindung berfungsi sebagai mesin pemecah masalah dari program riset metateoretis karena ia digunakan untuk menyediakan bukti tak langsung dalam rangka mendukung asumsi-asumsi dasar metateori. Sabuk pelindung melakukan lebih banyak ketimbang hanya melindungi asumsi-asumsi metateoretis. Sabuk pelindung menggunakan asumsi-asumsi ini guna memperluas pengetahuan kita mengenai domain-domain partikular.
Sebagai contoh, sekelompok fisikawan yang mengadopsi metateori Newtonian dapat membangun beberapa teori-teori tingkat-menengah (middle-level theories) yang saling berkompetisi yang berkenaan dengan sistem fisik partikular, namun tidak satupun dari teori ini akan melanggar hukum mekanika Newton. Setiap fisikawan merancang teori tingkat-menengahnya konsisten dengan asumsi dasar dari metateori, bahkan apabila teori-teori tingkat-menengah itu inkonsisten satu sama lain. Teori-teori tingkat-menengah yang saling berkompetisi berupaya untuk mencapai operasionalisasi terbaik dari logika inti dari metateori ketika diterapkan pada domain partikular. Teori-teori gelombang dan teori-teori partikel tentang cahaya yang saling berkompetisi (yang dibangun dari metateori fisika kuantum) merupakan contoh bagus dari proses ini.
Sekali seperangkat asumsi metateoretis inti menjadi stabil/terbangun di antara komunitas ilmuwan, kerja hari ke hari dari para ilmuwan ini secara umum dicirikan oleh penggunaan, bukan pengujian, asumsi-asumsi ini. Asumsi-asumsi metateoretis digunakan untuk membangun teori-teori tingkat-menengah alternatif yang masuk akal (plausible). Setelah bukti empiris dikumpulkan, satu dari alternatif-alternatif tersebut dapat muncul sebagai penjelasan terbaik yang ada tentang fenomena dalam domain tersebut. Lakatos berargumen bahwa kegiatan membangun dan mengevaluasi teori-teori tingkat-menengah mencirikan kegiatan-kegiatan tipikal dari para ilmuwan yang berupaya untuk menggunakan metateori untuk mengintegrasikan, menyatukan, dan menghubungkan garis-garis penelitian mereka yang berbeda-beda.
Dalam program penelitian metateoretis, sabuk pelindung menyediakan sarana yang mumpuni untuk mempertahankan/membela inti keras (hard core) dari penolakan (refutation). Sabuk pelindung melindungi inti keras dari penolakan dengan menyediakan tautan/hubungan tak langsung antara data yang dapat diamati dengan asumsi-asumsi inti keras. Jadi, memfalsifikasi sebuah hipotesistunggal atau menolak sebuah model teoretis intermediat tidak membuat seseorang menolak keseluruhan program penelitian metateoretis. Dalam hal ini, metateori tersebut dapat membuktikan asertivitasnya dengan menghasilkan hipotesis (atau teori) alternatif untuk menggantikan hipotesis yang sebelumnya telah berhasil difalsifikasikan (dibuktikan keliru).
Ketika ledakan yang mengerikan dan tragis menghancurkan pengangkut astronot Challenger pada 1986, para ilmuwan tidak mempertanyakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi dasar dari fisika. Melainkan, mereka mempertanyakan bagaimana mereka telah menerapkan hukum-hukum dan asumsi-asumsi tersebut pada konstruksi O-rings, yang melapisi roket pendorong dari Challenger. Lakatos menunjukkan bahwa sabuk pelindung menanggung beban pengujian empiris dan “disesuaikan dan disesuaikan ulang, atau bahkan diganti, untuk mempertahankan inti keras” dari program riset. Konsekuensinya, anomali-anomali yang muncul secara tipikal menimbulkan perubahan-perubahan dari sabuk pelindung, bukan perubahan pada inti keras. Dengan demikian, sabuk pelindung digunakan sebagai alat untuk melayani program riset yang lebih besar yang berpusat pada metateori.
Sabuk Pelindung Dalam Psikologi Evolusioner
Sementara model sains Lakatosian menggambarkan dua tingkat analisis (inti keras/asumsi-asumsi dan sabuk pelindung/hipotesis bantu), model psikologi evolusioner memecah sabuk pelindung ke dalam tiga tingkat analisis (teori-teori tingkat menengah, hipotesis-hipotesis, dan prediksi-prediksi). Secara total, program penelitian psikologi evolusioner menyusun empat tingkat penjelasan ilmiah. Tingkat-tingkat ini dideskripsikan oleh Buss (1999) dan ditunjukkan dalam Gambar 2. Penghasilan hipotesis-hipotesis alternatif dalam kerangka kerja evolusioner merupakan fungsi dari hierarki penjelasan ini.
Gambar 2. Struktur hierarkis dari penjelasan psikologis evolusioner (Buss, 1995)
Pendekatan psikologis evolusioner terhadap topik-topik yang terkait dengan kecemburuan seksual dan MPI (male parental investment), misalnya, melibatkan berbagai tingkat analisis. Pada tingkat metateoretis, teori evolusioner modern memberikan serangkaian asumsi dasar guna memandu riset psikologis. Dari asumsi ini, maka teori tentang investasi parental dan seleksi seksual memberikan kerangka kerja yang berguna bagi penelitian kecemburuan seksual dan MPI. Di samping itu, teori altruisme resiprokal memberikan kerangka kompetitif bagi penelitian MPI. Hipotesis-hipotesis kompetitif dapat dikembangkan baik dalam maupun lintas teori-teori tingkat-menengah. Hipotesis-hipotesis ini bervariasi pada sebuah kontinum kepercayaan, yang terentang dari yakin (firm) sampai dengan spekulatif. Pada ujung spekulatif dari kontinum, interpretasi-interpretasi yang berbeda terhadap teori tingkat-menengah dapat dan memang menghasilkan hipotesis-hipotesis yang berkompetisi. Pluralitas ini dapat dipertahankan (defensible) sejauh teori-teori yang berkompetisi beserta hipotesis-hipotesis turunannya dirumuskan sehingga mereka menghasilkan prediksi-prediksi yang spesifik dan dapat diuji. Bilamana sebuah prediksi gagal, dipertanyakanlah hipotesis-hipotesis umum yang lebih banyak darimana ia diturunkan. Hal ini pada gilirannya dapat menimbulkan revisi atau pun pelepasan teori tingkat-menengah yang menghasilkan. Pada setiap level analisis, evaluasi didasarkan atas bobot kumulatif dari bukti. Standar-standar dan prosedur-prosedur untuk mengevaluasi penjelasan evolusioner ini konsisten dengan “sains paradigma normal” (Kuhn).
Secara konklusif, dapat dinyatakan bahwa struktur penjelasan psikologi evolusioner secara jelas melekat dengan model sains Lakatosian. Kelekatan ini terjadi baik menyangkut struktur penjelasan ilmiah (yakni, berbagai tingkat analisis) dan konsekuensi-konsekuensi dari satu tingkat analisis falsifikasi sebuah penjelasan pada tingkat analisis yang lain. Teori-teori tingkat-menengah, hipotesis-hipotesis, dan prediksi-prediksi yang digambarkan dalam model psikologis evolusioner secara jelas menyusun mesin pemecah masalah yang memungkinkan seseorang untuk secara tidak langsung menguji asumsi-asumsi metateoretis dasar dari teori evolusioner modern. Dalam sabuk pelindung, teori-teori evolusioner tingkat-menengah saling berkompetisi untuk mencapai operasionalisasi terbaik dari metateori sebagaimana diterapkan pada domain tertentu (misalnya MPI). Menyejajarkan dengan logika Lakatos, maka teori-teori yang bersaing ini beserta hipotesis-hipotesis dan prediksi-prediksi turunannya secara luas dicirikan oleh penggunaan (bukan pengujian) asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern. Akhirnya, kerangka kerja psikologis evolusioner dan model sains Lakatosian memiliki konsekuensi-konsekuensi serupa terhadap tindakan falsifikasi sebuah penjelasan pada tiap tingkat analisis. Kedua pendekatan ini memberikan deskripsi yang konsisten tentang bagaimana tingkat penjelasan yang berbeda mempengaruhi satu sama lain. Hal yang sentral bagi model Lakatosian dan program riset psikologi evolusioner adalah gagasan bahwa sabuk pelindung, bukan asumsi dasar dari metateori, yang diganti atau dimodifikasi dalam menghadapi fakta-fakta yang berlawanan. Dari perspektif Lakatosian, metateori-metateori merupakan raja dan hipotesis-hipotesis merupakan pelayan-pelayan yang rendah hati, guna dikorbankan bila diperlukan, guna melindungi inti keras (hard core) dari metateori dari penolakan.
Mengevaluasi Inti Keras Teori
Bagaimana jika asumsi-asumsi metateoretis itu keliru dan peneliti berproses seolah-olah asumsi-asumsi itu benar? Bagaimana asumsi-asumsi ini dapat dievaluasi, sementara ada perlindungan yang diberikan terhadap fakta-fakta yang melawannya?
Ketimbang menggunakan metode falsifikasi guna mengevaluasi metateori-metateori sebagai salah (false)atau belum difalsifikasi (not yet falsified), Lakatos berargumen bahwa metateori-metateori lebih tepat dinilai sebagai progresif atau degeneratif berdasarkan kinerja pada sabuk pelindungnya. Sebuah metateori yang menggunakan sabuk pelindungnya untuk (a) mencerna anomali-anomali yang nampak, dan (b) menghasilkan prediksi-prediksi dan penjelasan-penjelasan yang baru, dipandang sebagai metateori yang progresif. Sebaliknya, sebuah metateori yang menggunakan sabuk pelindungnya pertama-tama untuk berurusan dengan anomali-anomali dan mengkontribusikan relatif sedikit pengetahuan baru dipandang sebagai metateori yang degeneratif.
Lakatos menyatakan bahwa metateori-metateori seringkali berlanjut tumbuh subur meskipun terdapat pengakuan awal tentang contoh-contoh yang berlawanan (counterexamples). Nyatanya, Lakatos berargumen bahwa setiap metateori evolusioner, secara definisi, mulai dengan sebuah sungai anomali dan counterexamples. Para ilmuwan yang menggunakan sebuah metateori partikular kemudian berproses untuk mengakomodasi anomali-anomali ini dengan mengevaluasi kembali “fakta-fakta” lama dan menciptakan teori-teori tingkat-menengah serta hipotesis-hipotesis bantu yang baru. Kemampuan sebuah metateori untuk mengakomodasi anomali-anomali semacam itu merupakan sebuah kriteria kunci yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah metateori sebagai progresif atau degeneratif.
Menurut filsafat ilmu Lakatosian, kriteria ilmiah kunci guna mengevaluasi metateori yang memandu psikologi evolusioner bukanlah apakah asumsi-asumsi intinya keliru atau belum difalsifikasikan, melainkan seberapa baik metateori tersebut mengakomodasi anomali-anomali serta apakah metateori tersebut membawa kepada penemuan-penemuan, penjelasan-penjelasan, dan jalan-jalan riset baru yang produktif.
Apakah Metateori Evolusioner Itu Progresif?
Guna menjawab pertanyaan di atas perlu diperiksa (a) apakah teori evolusioner modern telah secara berhasil mencerna anomali-anomali utama, dan (b) apakah program riset psikologi evolusioner telah secara berhasil menghasilkan prediksi-prediksi dan penjelasan-penjelasan baru tentang tingkah laku manusia.
Apakah teori evolusioner modern telah secara berhasil mencerna anomali-anomali utama?
Menurut pandangan Lakatosian tentang sains, sebuah metateori progresif dapat tumbuh subur meskipun terdapat pengenalan awal terhadap contoh-contoh yang berlawanan (counterexamples), asalkan metateori tersebut mampu mengakomodasi anomali-anomali tersebut entah dengan menantang fakta-fakta yang ada dari mana anomali-anomali itu berbasis, atau dengan menciptakan fakta-fakta baru (yang konsisten dengan metateori) guna mengurusi data anomali tersebut. Sebelumnya telah didiskusikan counterexamples terhadap prinsip-prinsip evolusioner: “fakta” bahwa keluarga merupakan lokus tunggal yang paling sering dari kejadian pembunuhan. Fakta ini nampak anomali, karena individu seharusnya terhambat secara kuat untuk mengakhiri kendaraan fitness-ya sendiri (keluarga). Para ahli psikologi evolusioner menantang fakta ini dengan mengevaluasi kembali definisi keluarga. Fakta yang lama tadi berbasiskan pada definisi sosiologis tentang keluarga (yang mencakup baik kohabitan yang terkait secara genetismaupun yang tidak terkait). Daly dan Wilson (1988) menciptakan fakta-fakta baru berdasarkan definisi biologis dari keluarga. Dalam analisisnya terhadap data pembunuhan di Detroit, Daly dan Wilson menemukan bahwa kohabitan yang bukan merupakan kerabat genetis dari pembunuh kemungkinannya 11 kali lebih besar untuk dibunuhketimbang kohabitan yang merupakan kerabat genetis dari pembunuh, dan hanya 6,3% dari semua pembunuhan terjadi di antara kerabat genetis. Fakta-fakta baru ini mencerna anomali yang nampak dan membaliknya menjadi bukti positif.
Sebuah anomali besar dari kaum evolusionis adalah “problem altruisme” yang pertama kali diidentifikasi oleh Darwin. Solusi terhadap masalah ini hadir lebih dari satu abad kemudian, dan merupakan kemenangan terbesar dari teori evolusioner modern. Kemenangan ini mungkin merupakan contoh terbaik dalam ilmu modern tentang metateori progresif yang mencerna anomali yang nampak dan membaliknya menjadi bukti positif. Ringkasnya, metateori evolusioner menggunakan mesin pemecah-masalahnya untuk mencerna anomali yang nampak: problem atruisme. Pengembangan teori seleksi keluarga (kin selection theory) tidak hanya mempertahankan teori evolusioner dari penolakan (refutation), namun juga memungkinkan metateori ini untuk membalik serangkaian counterexamples (misalnya, eusociality, predator alarm calls) menjadi bukti positif.
Meskipun teori evolusioner modern masih menghadapi sejumlah counterexamples yang belum terpecahkan (homoseksualitas, skizofrenia), asumsi dasar dari teori telah secara kuat didukung secara empirissehingga saat ini diterima secara luas sebagai fakta dalam komunitas biologis.
Apakah metateori evolusioner menghasilkan prediksi-prediksi dan penjelasan-penjelasan baru?
Kriteria kedua guna menentukan apakah sebuah metateori progresif adalah generativitasnya. Barangkali isu yang menjadi minat terbesar para ahli psikologi adalah apakah kerangka evolusioner dapat digunakan untuk menghasilkan hipotesis-hipotesis baru yang dapat diuji mengenai aspek-aspek dari mind dan tingkah laku yang belum terobservasi (ketimbang post hoc bagi data yang sudah ada), dan apakah prediksi-prediksi baru ini dapat bertahan dari penelitian empiris. Guna menunjukkan bagaimana teori evolusioner modern telah membawa pada pemerolehan pengetahuan baru, berikut ini ditunjukkan sebuah contoh tentang penalaran kontrak sosial.
Persoalan mengenai bagaimana manusia bernalar mengasumsikan sebuah tempat sentral dalam sains kognitif. Berdasarkan teori altruisme resiprokal, Cosmides dan Tooby (1992) menghasilkan serangkaian hipotesis yang kaya mengenai fitur-fitur desain dari program-program kognitif yang meregulasi penalaran mengenai kontrak-kontrak sosial. Karya/pekerjaan ini telah memberikan sebuah penjelasan baru yang berani mengenai efek-efek konten (isi) dalam tugas-tugas penalaran kondisional (yakni, tugas seleksi Wason). Tugas seleksi Wason merupakan satu dari banyak paradigma eksperimental yang digunakan untuk memeriksa kemampuan seseorang mendeteksi pelanggaran terhadap aturan-aturan kondisional. Versi-versi dari tugas seleksi Wason telah digunakan dalam ratusan eksperimen, dan kinerja pada tugas tersebut telah ditemukan bervariasi secara luas bergantung pada isi proposisional. Selama bertahun-tahun, tidak jelas diketahui mengapa penalar yang baru (novis) dan yang ahli (expert) tanpa kecuali memiliki kesulitan dalam versi-versi tertentu dari tugas seleksi Wason, namun pada versi-versi lain yang secara logis sama tingkat kesulitannya menjadi cukup mudah bagi para penalar. Cosmides dan Tooby menunjukkan bahwa kasus-kasus yang mudah secara konsisten melibatkan patrolling kontrak-kontrak sosial (yakni, mencari orang-orang yang curang/cheaters dalam pertukaran sosial). Cosmides dan Tooby menyajikan data ekstensif yang menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan tujuan umum (general-purpose ability) untuk mendeteksi pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan kondisional, namun penalaran manusia nampaknya disiapkan (well-designed) untuk mendeteksi pelanggaran terhadap peraturan kondisional yang berhubungan dengan contoh-contoh perbuatan curang dalam kontrak-kontrak sosial. Hasil ini mendukung hipotesis evolusioner bahwa manusia memiliki peranti lunak mental yang didedikasikan untuk mendeteksi para orang curang dalam pertukaran-pertukaran sosial kooperatif.
Model deteksi-orang curang tersebut telah mempertahankan keberlangsungan model-model alternatif kritis dengan memperkenalkan data baru yang tidak dapat diprediksi oleh alternatif yang ada, dan, lebih penting lagi, telah mengkontribusikan pengetahuan baru terhadap pemahaman kita mengenai bagaimana mind bekerja. Penelitian ini telah memprovokasi sebuah pendekatan baru terhadap penalaran manusia, yang kurang berfokus pada kekeliruan penyimpulan dan lebih banyak berfokus pada identifikasi fitur-fitur desain mekanisme-mekanisme kognitif yang merefulasi penalaran dalam domain-domain spesifik dan juga isi-isi informasi yang mengaktiviasi aturan-aturan keputusan dari mekanisme-mekanisme tersebut.
Simpulan
Pendekatan evolusioner terhadap penelitian tingkah laku manusia telah berkembang pesat dan diakui kekuatan eksplanatorinya. Berbagai teori evolusioner tingkat-menengah telah digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena. Teori evolusioner telah digunakan untuk menghasilkan penjelasan tentang tingkah laku sosial dalam hampir semua spesies yang diketahui, dan nampak aplikabel bagi keseluruhan rentang topik dalam psikologi. Namun demikian, keluasan ini juga merupakan kelemahannya. Kritiknya bahwa ketika pemahaman mengenai fenomena berubah, maka penjelasan evolusioner turut berubah juga. Model evolusioner tentang tingkah laku sosial dibuang karena dituduh terlalu elastis (unfalsifiable), terlalu post hoc, dan tidak memiliki jangkar empiris yang kuat.
Namun demikian, seiring dengan matangnya psikologi evolusioner, spekulasi-spekulasi telah menjadi semakin ketat (rigor) dan tertambat data, seringkali menghasilkan hipotesis-hipotesis formal yang diartikulasikan dengan presisi yang cukup untuk membuatnya dapat diuji. Tesis sentral dari tulisan ini adalah bahwa prosedur-prosedur untuk menguji hipotesis-hipotesis evolusioner, dan lebih umum lagi untuk menguji model-model teoretis dan asumsi-asumsi intinya, melekat pada/mengikuti prinsip-prinsip filsafat ilmu kontemporer dari Lakatos. Tulisan ini berargumen bahwa psikologi evolusioner saat ini merupakan ilmu progresif. Tidak hanya metateori evolusioner telah secara luas berhasil dalam mencerna anomali-anomali yang nampak, namun perkembangan yang paling penting dalam psikologi evolusioner adalah perkembangan jejaring model-model teoretis yang kaya yang menghasilkan jajaran hipotesis-hipotesis baru yang mengejutkan tentang psikologi dan tingkah laku manusia. Pengujian empiris terhadap hipotesis-hipotesis ini telah mengkontribusikan data baru yang penting terhadap bidang psikologi, dan yang terpenting, telah meningkatkan pemahaman kita mengenai bagaimana mind bekerja.
Berdasarkan filsafat ilmu Lakatosian, tulisan ini berargumen bahwa orang dapat mendaftarkan diri pada seperangkat asumsi metateoretis tertentu dan pada saat bersamaan masih menerima bahwa sains merupakan proses menyortir berbagai model-model alternatif (yang saling bersaing) dari fenomena. Hal ini memungkinkan komunitas ilmuwan untuk mempertimbangkan teori-teori tingkat-menengah dan hipotesis-hipotesis dalam konteks serangkaian terbatas asumsi-asumsi awal yang bersifat a priori. Eksistensi model-model alternatif semata-mata mencerminkan fakta bahwa para ilmuwan dapat tidak setuju mengenai bagaimana mengaplikasikan asumsi-asumsi “tingkat tinggi” (shared “higher level”) terhadap fenomena partikular pada “tingkat rendah” (“lower levels”) dari analisis. Dalam psikologi evolusioner, tingkat rendah ini (teori-teori tingkat-menengah dan hipotesis-hipotesis serta prediksi-prediksi turunannya) secara umum dicirikan oleh penggunaan, bukan pengujian, asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern. Konsep-konsep dalam tingkat rendah inilah (sabuk pelindung) yang diganti atau dimodifikasi ketika menghadapi fakta-fakta yang berlawanan. Pada setiap tingkat dalam program riset metateoretis, evaluasi didasarkan pada bobot komulatif dari bukti.
Di dalam sabuk pengaman dari metateori, perkembangan teori-teori tingkat-menengah yang saling bersaing dapat dipertahankan (defensible) sejauh teori-teori ini secara ketat dirumuskan sehingga menghasilkan hipotesis-hipotesis dan prediksi-prediksi yang jelas dan dapat diuji. Dalam psikologi evolusioner, teori-teori rival dievaluasi berdasarkan kekuatan eksplanatori dan prediktifnya: kemampuan relatif teori-teori tersebut untuk memberikan penjelasan yang koheren tentang fenomena yang diketahui (termasuk temuan-temuan anomali) dan untuk menghasilkan prediksi-prediksi baru yang membawa pada pemerolehan pengetahuan. Model-model psikologi evolusioner yang dirumuskan dengan baik, dijangkar oleh data dan berakar pada program riset metateoretis yang luas, merupakan inti dari ilmu psikologi evolusioner dewasa ini.
Sumber Rujukan
Ellis, B. J. & Katelaar, T. (2000). On the natural selection of alternatif models: Evaluation of explanations in evolutionary psychology. Psychology Inquiry, 11(1), 56-68.
Katelaar, T., & Ellis, B. J. (2000). Are evolutionary explanations unfalsifiable? Evolutionary psychology and theLakatosian philosophy of science. Psychology Inquiry, 11(1), 1-21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H