Sesiang itu, pelataran Stasiun Sidoarjo Kota sudah dipenuhi oleh antrian panjang. Ada dua baris antrian yang panjangnya hingga mengular ke luar bangunan utama. Berdesakan, bersenggolan, dan berdorong-dorong di antara para pengantri tiket itu. Aku agak terkaget dengan pemandangan seperti itu. Kukira zaman sekarang, untuk mendapatkan tiket kereta api, tak perlu sampai mengantri mengular seperti itu. Namun, apa yang kulihat, masih serupa dengan zaman sewaktu aku masih bocah ingusan.
Dulu, iya dahulu, aku masih duduk di bangku kelas 1 SD. Suatu hari, aku dan kakakku diajak bapak dan ibu, bepergian ke rumah eyang di Jombang. Naik kereta api. Namanya KRD atau Kereta Rakyat Daerah. Kalau pas kebetulan orang tuaku kehabisan tiket kereta api KRD, mereka akan mencari tiket kereta lain, yaitu Dhoho. Sebuah kereta yang memiliki nama sebutan ganda: Penataran bila berjurusan Surabaya - Blitar melalui Malang, dan Dhoho bila berjurusan Surabaya menuju Kertosono melalui Jombang.
Rumah kami dahulu, ada di kawasan Ngagel, Surabaya. Dan, stasiun paling dekat dengan tempat tinggal kami, yaitu Stasiun Wonokromo. Posisinya persis berseberangan dengan Pasar Wonokromo yang amat melegenda itu. Saat liburan tiba, antrian di depan loket tiket, sudah pasti tak karuan. Semrawut. Saling senggol dan sikut, tak jarang terjadi. Kondisi seperti itu, diperparah dengan berjubelnya para pedagang yang hilir mudik menawarkan dagangannya. Ada lagi sekawanan pengamen yang menghampiri para calon penumpang untuk sekadar mengharapkan rogohan kocek mereka. Setali tiga uang, saat hendak masuk ke gerbong kereta pun, dorongan dan tarik-menarik antarpenumpang, menjadi pemandangan lumrah. Hehehe…untungnya zaman kini, keadaan itu mulai membaik.
Kembali ke Stasiun Sidoarjo Kota…
Aku baru mengetahui, bahwa antrian memanjang hingga meluber ke luar gedung stasiun, adalah pengantri tiket kereta api Jenggala. Ya, inilah kereta api komuter yang khusus hanya melayani trayek Sidoarjo hingga Mojokerto.
Kebetulan, aku dan anak istriku, siang itu, hendak naik itu kereta. Kami ingin merasakan moda transportasi massal terbaru itu. Kukatakan terbaru, karena memang belum sekali pun kami naik kereta api Jenggala ini. Meski pengoperasiannya sudah berlangsung sejak Nopember 2014 lalu. Meski masih setahunan beroperasi, namun jalur lintasan yang menghubungkan antara Sidoarjo Kota hingga Mojokerto, terbilang sudah kuno. Dahulu, zaman ketika Belanda masih berkuasa, ada rel kereta api yang terhubung dari Stasiun Sidoarjo Kota hingga Stasiun Tarik. Trayek kereta saat itu, akan singgah di dua stasiun kuno, sebelum memasuki Stasiun Tarik. Dua stasiun kuno itu adalah Stasiun Tulangan dan Stasiun Prambon. Karena dimungkinkan minim penumpang, pada tahun 1970-an, dua stasiun tadi lalu tidak dihidupkan. Walhasil, jalur kereta api antara Sidoarjo Kota hingga Tarik pun terbengkalai. Mati suri.
Kereta api Jenggala menjadi nafas baru bagi transportasi massal di kota ini. Penumpang silih berganti naik, sekadar ingin menjajal kenyamanan ruang dalamnya maupun ingin menikmati perjalanan saja ke tempat tujuan. Saat libur tiba seperti kemarin, mereka rela mengantri berdesakan. Begitu berada di depan loket tiket, mereka dengan bersemangat mengulur tangan menyerahkan beberapa lembar rupiah ke petugas tiket. Harapannya pun jelas, agar segera mendapat secarik kertas kecil bertuliskan nama kereta api, berikut waktu keberangkatannya.
***
Begitu memasuki peron stasiun, para calon penumpang masih saja berjubel. Kali ini berbeda. Mereka seolah ingin berlarian memasuki gerbong kereta api Jenggala. Untung saja, stasiun zaman sekarang berbeda dengan zaman dahulu. Dahulu, calon penumpang seakan tak kuasa ingin segera naik dengan berdiri berjajar memadati pinggiran emplasmen stasiun. Mencari celah agar mendapatkan posisi masuk ke gerbong dengan cepat. Kini, mereka harus berhadapan dengan pagar pembatas besi yang di pintunya, berdiri tegap seorang Polsuska (polisi khusus kereta api).
“Tuh kan, bagus banget keretanya Yah,” teriak seorang bocah lelaki di dekatku kepada ayahnya yang menggendongnya.
“Iya, Nak,”