Mohon tunggu...
Junaedi Ghazali
Junaedi Ghazali Mohon Tunggu... -

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Brand Pasar Kranggan Untuk Siapa?

13 Desember 2014   00:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:25 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasar Kranggan, bukan nama yang asing bagi warga Yogyakarta. Selain lokasinya tak jauh dari salah satu icon kota (Tugu), tempat ini juga menyimpan banyak cerita. Namanya diambil dari nama seorang tokoh kerajaan, Tumenggung Rangga Prawirasantika, seorang pejabat kraton yang hidup di masa penjajah Belanda. Penyebutan daerahnya “raden Rangga”, kemudian menjadi “ka-rangga–an”,

Pasar yang berkembang pada jaman itu yang berlokasi di sebelah barat Tugu kemudian dikenal dengan pasar Kranggan. Selama berpuluh tahun, pasar tersebut mampu menggerakkan perekonomian rakyat di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Hasil bumi dari berbagai penjuru wilayah masuk ke pasar Kranggan, makin menambah ramainya pasar dan perkembangan masyarakat di sekitar pasar maupun masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

Kini pasar Kranggan yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai “pasar rakyat/pasar tradisional” dengan “brand” sebagai pusat jajanan pasar, mulai berubah sejak dilakukan renovasi pada tahun 2013. pada akhirnya disingkat menjadi kranggan.

Pasar Kranggan

1418381231537719324
1418381231537719324

Bagi pecinta kuliner dan jalan-jalan, Pasar Kranggan menjadi satu spot yang sulit untuk dilewatkan ketika berkunjung ke Yogyakarta. Selain berada dekat dengan Tugu Pal Putih, Pasar Kranggan juga menyediakan bahan makanan, jajanan pasar, dan wisata kuliner lesehan. Belakangan, lantai 2 pasar ini menjadi pusat gadget dan telepon genggam. Kranggan terdiri atas 2 lantai dan 3 bagian. Depan tengah dan belakang. Aktivitas di sana mulai dari pagi sampai malam hari dan selalu bergantian.

1418379345244527951
1418379345244527951

Mulai dini hari, pasar yang pernah direnovasi melalui program INPRES Pasar tahun 1978,tampak menggeliat dengan aktivitas jual beli. Mobil-mobil pengangkut memulai membongkar muatan dan mendistribusikannya ke pedagang di dalam dan belakang pasar. Berlomba dengan matahari pagi yang mulai mengintip, pedagang-pedagang kecil dengan barang dagangannya akan memenuhi jalan di belakang pasar. Mereka tidak hanya berasal dari Yogyakarta saja, tetapi juga dari kota-kota lainnya . Kebanyakan menjual sayur mayur, buah-buahan lokal, dan kebutuhan rumah tangga.

14183797051160934786
14183797051160934786

Aktivitas di pinggir jalan ini akan berhenti di pagi hari kira-kira pukul 8. Jual beli kebutuhan dasar rumah tangga kemudian bergeser ke kios-kios di tengah dan belakang pasar. Untuk kios bahan makanan seperti sayur, daging dan bumbu berada di tengah. Sementara untuk pedagang besar dan juga kebutuhan bahan bakar tradisional berada di belakang.

Di bagian depan sendiri, pedagang jajanan pasar juga melakukan hal yang sama. Jajanan yang ada cukup variatif. Mulai dari jajanan asli Jawa, sampai ke roti dengan berbagai rupa. Rata-rata penjual jajanan ini memproduksi jajanannya sendiri di rumah. Ada juga yang mengambil dari tempat lain, seperti pusat jajanan di Jalan Magelang, lalu mendistribusikannya ke pasar-pasar yang ada di Jogja. Selain berjualan di Pasar Kranggan, para pedagang jajanan pasar ini juga melayani pesanan.

1418380171304883325
1418380171304883325

Karena banyaknya pedagang jajanan, seringkali pembeli menjadi bingung. Kebetulan, para pedagang jajanan pasar ini berjualan di depan kantor Koperasi Rukun Agawe Santosa (RAS). Koperasi ini berusia kurang lebih 25 tahun dan sejak berdiri pegawainya tidak pernah ganti, sehingga kenal dengan banyak pedagang, termasuk pedagang jajanan pasar. Tak heran juga, kadang jika ada yang merasa sungkan untuk bertanya langsung kepada pedagang, kemudian meminta bantuan pegawai koperasi. Aktivitas para pedagang jajanan pasar ini biasanya bisa terlihat sampai pukul 3 siang.

Di sore hari pintu masuk dari arah depan dan belakang dikunci. Tapi bukan berarti aktivitas di sana juga berhenti. Di malam hari, akan ada penjual makanan berat, mulai dari makanan cina, seafood, sampai masakan Indonesia. Tak heran jika kemudian Pasar Kranggan mampu menarik perhatian bagi orang yang melintas di lingkungan sekitar.

Konflik pedagang dengan pedagang

Keberadaan Pasar Kranggan dengan daya tariknya, tidak kemudian membuatnya luput dari perebutan kepentingan. Baik antara pedagang, dinas pasar, dan juga pengembang. Tercatat, sempat ada beberapa konflik yang muncul di pasar ini.

Pasar Kranggan memiliki 2 paguyuban pedagang. Paguyuban tersebut adalah Paguyuban Adem Ayem untuk di luar pasar dan Paguyuban Pedagang Pasar Kranggan sendiri . Cukup mengherankan memang ketika satu pasar memiliki lebih dari satu paguyuban. Tetapi bagi pedagang sendiri, keberadaan 2 kelompok paguyuban yang berbeda ini menjadi terkadang menjadi jawaban atas persoalan-persoalan yang ada di Pasar Kranggan.

Kemunculan 2 kelompok paguyuban ini bisa ditelusuri mulai dari menjamurnya pedagang yang berjualan di sisi luar pasar. Seiring perkembangan zaman, Pasar Kranggan menarik perhatian pedagang-pedagang kecil untuk berjualan di sekitar pasar. Pedagang-pedagang ini mencari tempat di pinggir jalan. Mereka beralasan, jual beli di pinggir jalan lebih praktis dan lebih ramai. Pembeli tidak harus repot-repot berputar-putar dahulu untuk mencari kebutuhan harian. Selain itu, retribusi yang dikeluarkan tidak sebesar pedagang yang memiliki kios atau lapak. Cukup membayar retribusi harian kepada pegawai pengelola pasar, tanpa biaya sewa.

Hal ini kemudian berdampak pada pemasukan pedagang yang berjualan dengan menyewa kios di belakang dan tengah pasar. Jalan pintas yang dilakukan oleh pedagang pinggir jalan belakang pasar ini lantas diikuti oleh pedagang-pedagang muka baru lainnya. Tak heran konflik kepentingan di sini muncul. Pedagang yang menyewa kios dan lapak merasa dirugikan oleh pengelola pasar. Selain pembeli juga semakin jarang, keberadaan pedagang pinggir jalan ini dianggap membuat lalu lintas terhambat. Lingkungan pasar juga semakin terlihat kumuh dan semrawut. Karena pedagang pinggir jalan ini biasanya sudah pulang di ketika pagi hari, akhirnya pedagang kios dan lapak yang kena getahnya. Mereka yang tidak tahu dengan fakta sebenarnya, kemudian menyalahkan pedagang yang masih berkegiatan sampai sore.

Dinas pengelola pasar sendiri tampak masa bodoh. Pada akhirnya dua kelompok pedagang ini bertikai. Masing-masing merasa benar karena semua sudah merasa membayar kepada pengelola pasar. Para pedagang pinggir jalan ini kemudian membentuk paguyuban baru. Mereka merasa juga memiliki hak mencari makan di pasar.

Sementara itu, ada juga pedagang yang memilih untuk saling mengerti. Mereka sadar bahwa masing-masing bagian pasar memiliki kelebihan dan kekurangan. Pedagang pinggir jalan sadar jika pelanggan mereka rata-rata banyak muncul hanya sampai sebelum jam kantor. Sementara pedagang yang memiliki kios dan lapak juga sadar bahwa, pedagang pinggir jalan berjualan di tempatnya karena memang ruang pasar dan modal yang dimiliki oleh mereka terbatas. Kesadaran inilah yang kemudian menjadi kebiasaan dan aturan tak tertulis bagi kedua belah pihak.

Pada Oktober 2013, kedua paguyuban ini kemudian sepakat mengakhiri perselisihan dan perbedaan pemahaman antara kedua belah pihak, meskipun hal itu baru dilakukan secara terbatas antara koordinator kedua paguyuban. Ketua Paguyuban Adem Ayem Budiman yang mengayomi pedagang luar Pasar Kranggan saat itu adalah Budiman, sementara Kordinator Paguyuban Pedagang Pasar Kranggan adalah Waljito.

Dalam penyelesaian pertikaian kedua kelompok ini, Budiman sempat menyampaikan, pertikaian  terjadi karena perbedaan pandangan dan komunikasi yang kurang baik. Menurut Budiman, pedagang luar Pasar Kranggan hanya warga kecil yang berharap dapat memperoleh rejeki dengan berjualan. Namun demikian, lanjut dia, pihaknya juga akan menaati kebijakan penataan pasar yang dilakukan pemerintah daerah asalkan pedagang masih bisa berjualan dan memperoleh penghasilan untuk keluarganya.

Sementara itu, Koordinator Paguyuban Pedagang Pasar Kranggan Waljito mengatakan, tidak akan mempermasalahkan apabila sebelumnya sempat terjadi intimidasi yang dilakukan oleh pedagang luar. Ia mengatakan, tuntutan dari pedagang di dalam Pasar Kranggan sebenarnya tidak ditujukan untuk minta para penjual di luar tidak lagi berjualan. Tuntutan tersebut justru ditujukan kepada pemerintah daerah agar segera melakukan penataan pasar. Penataan pasar, lanjut dia, dilakukan dengan menegakkan peraturan daerah yaitu menata pedagang luar agar berjualan di lokasi yang benar dan tidak dilarang. (Harjo, 27 Oktober 2013)

Konflik pedagang dan pengembang

Tidak dipungkiri Citra Kranggan dan pasarnya sekarang pelan-pelan mulai bergeser dari pusat jajanan ke arah pusat telepon genggam dan kawan-kawan. Pergeseran ini mulai muncul sejak Pasar Kranggan direvitalisasi secara fisik. Sejak penulis tinggal di Yogyakarta pada tahun 2007, sudah 2 kali Pasar Kranggan direvitalisasi. Revitalisasi tahap pertama dilakukan dengan menjadikan kios-kios kosong di lantai 2 sebagai kios ponsel. Revitalisasi tahap kedua dilakukan dengan memperindah bagian dalam pasar dengan memasang ubin sebagai pengganti lantai tanah dan memperbesar bangunan.

14183805401242832872
14183805401242832872

Bagi pedagang dan konsumen, sekilas revitalisasi tampak sebagai bagian dari upaya untuk membuat Pasar menjadi lebih baik. Pasar menjadi lebih indah, bersih dan tertata. Namun, seperti yang sering terjadi, revitalisasi pasar justru bukan membuat pedagang diuntungkan dan konsumen merasa nyaman, tetapi justru sebaliknya.

Ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan, mengapa revitalisasi pasar dilakukan. Sebelum revitalisasi tahap pertama dilakukan, banyak kios di lantai 2 Pasar Kranggan mangkrak. Pada bagian sebelumnya, sempat dipaparkan bahwa kapasitas pedagang di dalam pasar menjadi penyebab konflik antar pedagang. Alih-alih digunakan untuk mewadahi pedagang luar pasar dan pedagang liar yang ada di dalam, kios-kios ini justru dialihfungsikan sebagai kios telepon genggam. Padahal Kranggan memiliki citra sebagai pusat jajanan. Mengapa kemudian citra sentra jajanan yang melekat di Pasar Kranggan tidak dikembangkan seperti Pasar Beringharjo sebagai pusat oleh-oleh?

Hal yang terasa ganjil berikutnya adalah, revitalisasi pasar dilakukan seolah dengan tujuan menyingkirkan pedagang-pedagang yang sudah ada dan menggantinya dengan orang yang bermodal. Dari penuturan beberapa pedagang, diketahui bahwa pemilik-pemilik kios di lantai 2 sebelum revitalisasi tahap pertama dilakukan, bukanlah pedagang pasar. Kios-kios ini dimiliki oleh pribadi. Harga yang dipasang untuk membeli dan menyewa kios ini pun lebih tinggi dengan tarif kios yang ditentukan oleh dinas pasar. Maka tak heran jika banyak pedagang keberatan menempati kios-kios tersebut.

Berdasarkan peraturan kota Yogyakarta, jumlah kios yang berhak dimiliki hanya 1 kios per orang. Selain itu, kios yang tidak dipergunakan lebih dari beberapa bulan harus dikembalikan kepada dinas pengelola pasar. Kenyataannya, pelanggaran ini tidak pernah ditindaklanjuti. Efek yang ditimbulkan atas pelanggaran ini menjadi panjang.

[caption id="attachment_382219" align="aligncenter" width="614" caption="Lantai 2 menjadi pusat telepon genggan"]

14183808292024579998
14183808292024579998
[/caption]

Kondisi lantai 2 yang sepi dijadikan alasan bagi pengelola pasar untuk mengubah bentuk Pasar Kranggan menjadi pusat gadget. Dalam revitalisasi tahap pertama, hal yang sama terulang. Dalam sebuah kasus, ada pedagang yang berminat untuk membeli kios, dinas pengelola pasar mengatakan jika kios sudah habis terjual. Selang beberapa hari, pedagang tersebut dihubungi oleh pihak yang mengaku sebagai pengembang. Orang tersebut menyatakan bahwa masih ada sisa kios, namun tarif yang dipasang lebih tinggi. Selain itu, dengan adanya revitalisasi ini tadi, harga-harga kios di Pasar Kranggan mendadak naik. Tak sedikit pedagang-pedagang lama yang tak kuat membayar, akhirnya terpaksa mencari tempat lain.

Berbeda dengan konflik yang terjadi antar pedagang, konflik dengan pengembang menjadi sebuah persoalan yang memang sulit ditelusuri jika melihatnya bukan dari kacamata pedagang. Disini pedagang dibenturkan dengan jalan buntu, karena ketika pedagang-pedagang ini mengadu ke dinas pengelola pasar, tak banyak tanggapan yang diberikan. Jika pedagang berhadapan dengan pengembang langsung pun, mereka tidak banyak bukti. Para pedagang sadar, berhadapan langsung dengan pengembang atau para oknum yang menjual kios-kios pasar tidak akan memberikan hasil yang berarti. Alih-alih masalah selesai, konfrontasi langsung justru membuat mereka yang awalnya korban, menjadi pelaku.

Jalan yang akhirnya ditempuh oleh pedagang pasar ini adalah aksi ke Balai Kota Yogyakarta. Pada Agustus 2013, pedagang mengadukan permasalahan di Pasar Kranggan. Keluhan yang muncul adalah revitalisasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan pedagang dan konsumen, pengurangan jumlah lapak, penertiban pedagang di luar pasar, dan pedagang liar di dalam. Selain itu juga muncul keluhan mengenai kondisi los dan keamanan barang dagangan mereka. Kondisi los yang tidak memadai membuat barang dagangan rusak. Sementara untuk keamanan, pedagang menuntut janji pengelola pasar untuk mengganti barang jika ada kehilangan, di mana tidak pernah ditepati.

Tuntutan yang disampaikan memang tidak langsung menuduh permainan kios pasar yang terjadi. Karena memang, keluhan yang muncul adalah efek-efek lanjutan dari permainan yang ada. Pada saat itu Wakil Wali Kota Yogyakarta Imam Priyono yang menemui pedagang memberikan jaminan tidak akan terjadi pengurangan lahan, dan dijual ke pedagang baru, serta meminta Dinas Ketertiban, Dinas Pengelolaan Pasar, dan Kecamatan Jetis untuk memastikan pedagang di luar pasar mengakhiri kegiatannya pada pukul 07.30 WIB. (Harjo, 28 Agustus 2013).

Sengketa ini kemudian selesai setelah Pedagang Pasar Kranggan dan Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja sepakat mempertahankan nilai tradisionalitas dan menata bersama-sama pasar tersebut. Hal ini disepakati dalam mediasi di Kantor Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY pada Oktober 2013.

Pemkot Jogja diwakili Kepala Dinas Pasar Maryustion Tonang dan Kepala Dinas Ketertiban Nurwidi. Sementara para pedagang diwakili Sekretaris Paguyuban, Waljito.

Dalam penyelesaian sengketa tersebut, Waljito mengatakan ada tiga poin kesepakatan tertuang dalam berita acara mediasi. Poin pertama, para pedagang mendukung upaya Pemkot Jogja menata dan mengembangkan pasar sepanjang masih dalam koridor mempertahankan nilai-nilai tradisionalitas. Kedua, baik Pedagang maupun Pemkot akan menyusun suatu rencana aksi terkait poin pertama tersebut. Adapun poin ketiga, Pemkot berkomitmen menertibkan pedagang di luar pasar yang berjualan tidak sebagaimana mestinya dengan memperhatikan aspek kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan.

Penutup

[caption id="attachment_382223" align="aligncenter" width="384" caption="Renovasi tahap 2 yang hampir selesai"]

14183814831828442864
14183814831828442864
[/caption]

Dari paparan masalah yang dikemukakan oleh penulis, bisa dilihat, bahwa permasalahan Pasar Kranggan ternyata tidak seperti kesan yang muncul jika mendengar kata Jogja. Di dalam Adem ayemnya Jogja, banyak riak-riak kecil. Sama seperti ketika banyak dari kita yang melihat Pasar Tradisional dengan kacamata konsumen. Pasar Rakyat tidak lebih dari tempat destinasi semata. Cukup datang, bayar, pelesir, dan pergi.

Hal yang bisa disimpulkan adalah, pertama, setiap masalah yang muncul dari Pasar Rakyat seringkali disebabkan oleh tidak dilibatkannya pedagang dalam pengambilan Keputusan oleh pemerintah. Pengambilan Keputusan sepihak hanya dari pemerintah memungkinkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh oknum yang ada.

Kedua, dengan tidak adanya keterlibatan pedagang sebagai bagian dari pasar itu sendiri, menyulitkan pengelola pasar untuk dapat bersinergi dalam memajukan pasar. Entah itu dalam pengelolaan pedagang, kondisi pasar, atau transparansi. Tidak harus menunggu sampai pedagang berkali-kali melakukan aksi dan tuntutan ke instansi yang lebih tinggi, atau melakukan pengrusakan, baru ditanggapi.

[caption id="attachment_382224" align="aligncenter" width="614" caption="Dialog pengelola pasar dengan pedagang Kranggan"]

14183817171673148316
14183817171673148316
[/caption]

Ketiga, dengan adanya kerja sama dan solidaritas antar pedagang, maka upaya pedagang untuk mendapatkan perhatian publik dan pemerintah ketika menyampaikan tuntutan, akan terasa lebih kuat dan didengar. Dalam kasus Pasar Kranggan, kesadaran pedagang muncul setelah adanya konflik antar pedagang. Padahal, jika pedagang mau dan mampu membangun kerja sama, konflik tidak perlu terjadi. Juga permasalahan inti, seperti permainan jual beli kios dan lapak bisa lebih cepat ditangani.

Keempat, dengan adanya saling menghargai antara pemerintah dan pedagang, maka pembangunan daerah akan berkembang sesuai dengan kebutuhan. Pembangunan pasar jika dilakukan dengan kritik dan saran dari pedagang, di mana sehari-hari hidupnya memang di pasar, tentunya bisa disesuaikan dengan kenyamanan konsumen. Selain itu, warga yang tinggal di sekitar, atau pengunjung dari luar, tidak perlu merasa kehilangan budaya yang ada karena pembangunan yang dipaksakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun