Mohon tunggu...
Junaedi Ghazali
Junaedi Ghazali Mohon Tunggu... -

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Pasar Dari Hati (Belajar dari Pasar Imogiri)

20 Desember 2014   09:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:53 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imogiri. Daerah ini cukup terkenal dengan wisatanya, Makam raja-raja Mataram. Selain itu, Imogiri menjadi titik pertemuan untuk beberapa daerah yang letaknya lebih tinggi. Sedikit yang tahu, bahwa di sana juga ada sebuah pasar dengan reputasi baik. Pasar Imogiri.

Untuk dapat sampai ke Pasar Imogiri, dibutuhkan kurang lebih setengah jam dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta. Cara paling mudah adalah dengan menyusuri ring road sampai dengan perempatan terminal Giwangan. Sampai sana, tinggal menyusuri jalan Imogiri timur. Pasar Imogiri terletak tak jauh dari jalan imogiri paling ujung.
Sekilas, tak banyak yang berbeda dari pasar ini. Komoditas yang ditawarkan sama. Hasil bumi, kuliner, dan kebutuhan sehari-hari. Bangunan pasar yang megah pun, sepertinya sudah teramat biasa, apalagi dibandingkan dengan pasar-pasar percontohan yang beberapa tahun belakangan dibangun oleh Kementrian.

1419015116813090290
1419015116813090290

Perbedaan akan terasa ketika kita sudah masuk ke dalamnya. Seolah, ada peraturan tak tertulis dalam membuat suasana terasa teratur. Hal pertama yang terasa ketika sampai di sana adalah parkir kendaraan yang rapi, meski tidak terlihat ada tukang parkir. Kedua, pegawai pasar terlihat santun, rapi dan gagah. Ketiga, arus lalu lintas di dalam pasar dibuat satu arah.  Padahal arus lalu lintas di dalam pasar ini dilewati kendaraan besar seperti truk dan bus-bus kecil.  Selain itu, pedagang juga berjualan di tempat yang sudah ditentukan sesuai dengan jenis dagangannya. Hal ini tentunya memudahkan bagi pengunjung. Ketertiban, kebersihan dan keramahan di Pasar Imogiri juga tidak terkesan dibuat-dibuat. Jika biasanya pasar rapi, biasanya aktivitasnya sepi. Jika pasar ramai, biasanya kesan kumuh dan sesak akan tampak. Tetapi tidak di Imogiri.

1419016398701909599
1419016398701909599
14190164371220594644
14190164371220594644
1419016460783518256
1419016460783518256
1419016485597847684
1419016485597847684

Ketika para pedagang atau pegawai pengelola pasar ditanyai bagaimana proses pengelolaan pasar sehingga bisa seperti ini, mereka mengarahkan untuk bertanya langsung kepada Ketua Paguyuban Pasar Imogiri, Pak Darmanto

[caption id="attachment_384189" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Darmanto, Ketua Paguyuban Pasar Imogiri"]

1419016821343695361
1419016821343695361
[/caption]

Pak Darmanto sendiri juga berdagang di Pasar Imogiri. Sebelum menjadi ketua, beliau menjadi kordinator lapangan di Pasar. Posisi ketua paguyuban sendiri baru satu tahun beliau pegang. Ketua Paguyuban sebelumnya , Pak Karyono meninggal karena sakit. Dari penuturan Pak Darmanto, kemajuan Pasar tidak terlepas dari kerjasama yang baik antara pemerintah, paguyuban dan pedagang sendiri. Paguyuban Pasar Imogiri sendiri tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI).

14190181771542994197
14190181771542994197
1419018194834757950
1419018194834757950

Keterlibatan Pak Darmanto di Pasar sendiri berawal dari Permintaan Pak Karyono untuk menjadi pengurus di pasar. Pak Darmanto lebih banyak berkutat di keamanan desa sebelumnya. Pak Darmanto mengiyakan permintaan Pak Karyono karena melihat latar belakang beliau yang cukup baik di pasar. Hal ini terlihat ketika Pasar Imogiri direlokasi. Biasanya, setelah ada relokasi, jika tidak konflik yang muncul, bisa jadi pasarnya menjadi sepi. Tapi tidak dengan Pasar Imogiri.

Pak Darmanto menjelaskan, bahwa di banyak pasar, kecenderungan konflik ini muncul karena masing-masing pihak tidak berfikir untuk kepentingan bersama. Mencari untung sendiri. Dalam hal pengelolaan pasar misalnya, bukan hal yang aneh jika retribusi menjadi masalah sensitif.

Retribusi yang biasa dilakukan kepada pedagang biasanya berwujud karcis. Banyaknya karcis yang diberikan kepada pedagang didasarkan pada tempat pedagang dan jumlah jualannya. Dalam banyak kasus, jumlah uang retribusi yang masuk ke kantor dinas pasar, dimanipulasi dengan selisih karcis yang dibagikan. Seringkali jumlah penarikan kepada pedagang, lebih besar dari nominal karcis yang diberikan sebagai bukti pembayaran. Selain itu, biasanya penyetoran kepada Bank BPD sebagai lembaga keuangan pasar dilakukan keesokan harinya, sehingga ada kesempatan untuk memanipulasi laporan.

Di pasar Imogiri, laporan penarikan retribusi dilakukan dengan wujud buku retribusi. Masing-masing pedagang memiliki buku retribusi, yang kemudian disesuaikan setiap bulannya, di masing-masing kantor pengelola pasar, dan juga dinas pasar kabupaten. Uang penarikan retribusi juga langsung disetorkan pada hari itu juga ke BPD.

Sistem seperti ini kemudian dikritik oleh banyak pihak pengelola pasar, karena jika pedagang mengerti semua urusan pengelola pasar, pedagang cenderung mencari keuntungan untuk sekedar menuntut pelayanan yang lebih, paling sederhana, kondisi fisik pasar. Itupun untuk kepentingannya sendiri.

Hal ini kemudian ditanggapi oleh Pak Darmanto dengan menekankan komunikasi yang terbuka antara pihak pengelola dengan pedagang. Pengelola Pasar Imogiri, selalu terbuka mengenai permasalahan di dalam kantor pengelola. Keterbukaan ini diawali dengan pendekatan niat baik dari pihak pengelola yang ingin memajukan pasar. Biasanya, pendekatan yang dilakukan oleh pihak pengelola kepada pedagang sering dicurigai. Entah itu karena biasanya pedagang dijadikan basis massa politik, upaya untuk mengendalikan pedagang agar tidak banyak protes ketika proyek di pasar tidak sesuai dengan kenyataan atau hal-hal lain.

Niat baik ini diawali oleh Lurah Pasar Imogiri dengan menggandeng paguyuban yang sudah ada. Di sini kemudian, beliau secara pelan-pelan menjelaskan keadaan pengelola pasar, baik mengenai aturan, pengelolaan dana, dan juga program-program dari dinas pasar.

Salah satu contohnya adalah dana perawatan pasar. Dari dinas sendiri, dana perawatan setiap tahunnya tidak cukup. Dengan adanya komunikasi ini, kekurangan dana yang ada, agar kebutuhan pedagang tetap terpenuhi, paguyuban berinisiatif untuk menarik dana secara swadaya. Dana swadaya ini diperoleh melalui retribusi tambahan, pengelolaan toilet pasar, dan juga parkir.

Dalam perspektif banyak birokrat, hal ini dianggap illegal. Pak Darmanto, selaku ketua paguyuban pasar, menyanggah pernyataan tersebut. Hal ini dianggap melanggar hukum jika merugikan orang lain. Selain itu, paguyuban tidak mengambil untung dari setiap penarikan dana swadaya bagi pedagang. Dana sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan pedagang. Menutupi kekurangan dana dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan laporan di setiap proyek, tidak ada kelebihan dana, bahkan nombok.

Hal ini menjadi perhatian bagi Pak Darmanto, karena memang kebutuhan pasar yang cukup tinggi, tidak bisa dilakukan dengan hanya mengandalkan pengelola pasar. Pengelola pasar yang jumlahnya sedikit tentunya akan kewalahan jika harus terus menerus mengontrol banyak pedagang.

Komunikasi yang lancar kemudian menjadikan setiap proyek pasar, dilakukan sesuai dengan kebutuhan pedagang. Dari proyek-proyek inilah, pengelola mendapat uang lembur. Uang lembur dianggap pantas, karena memang selain tercatat, proyek juga membutuhkan energi lebih. Paguyuban cukup sadar dengan keadaan personal pengelola yang gaji bulanannya tidak seberapa. Dan ini dikontrol. Uang lembur yang sah inilah yang menjadi jawaban untuk menyejahterakan pengelola. Bukan dari manipulasi proyek dan juga pemotongan retribusi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun