Mohon tunggu...
Agnila Artha
Agnila Artha Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas asal Bali, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Film Sebagai Katalisator Transformasi dan Refleksi Kehidupan: Dampak Sosial Perfilman

26 Juni 2024   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2024   02:10 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nirartha Bas Diwangkara dan Julio Rionaldo

Sinema selalu lebih dari sekadar hiburan; ini adalah cermin kuat yang mencerminkan nuansa masyarakat. Melalui kacamata sutradara, narasi yang dibuat di layar seringkali mendalami isu-isu sosial, perubahan budaya, dan emosi manusia. Sifat film yang reflektif memungkinkan mereka mempengaruhi opini publik, membangkitkan empati, dan bahkan menginspirasi perubahan sosial. Di era di mana media visual mendominasi konsumsi informasi, memahami hubungan simbiosis antara film dan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana film tidak hanya mencerminkan perubahan masyarakat tetapi juga berperan sebagai katalisator transformasi.

Persimpangan antara sinema dan masyarakat telah menjadi subjek ketertarikan akademis selama beberapa dekade. Menurut Anderson (1996), film berfungsi sebagai artefak budaya yang menangkap semangat zaman (zeitgeist) dari masa mereka. Hal ini dipertegas oleh Hall (2003), yang berpendapat bahwa sinema dapat menantang norma sosial yang berlaku dan menawarkan perspektif alternatif. Para ilmuwan seperti Hooks (1992) menekankan peran film dalam membentuk identitas budaya dan memupuk rasa komunitas di antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan. 

Selain itu, Bazin (2005) dalam karyanya yang terkenal, "What Is Cinema?" mengusulkan bahwa film memiliki kemampuan bawaan untuk mengungkap kebenaran melalui ekspresi artistik. Ini sejalan dengan analisis Mulvey (1975) dalam "Visual Pleasure and Narrative Cinema," yang membahas bagaimana sinema dapat membalikkan dinamika kekuasaan tradisional dan menawarkan wawasan kritis ke dalam struktur sosial.

Di jantung Desa Ubud, Bali, di bawah kanopi yang rimbun dan suasana yang tenang, saya berkesempatan untuk berbincang dengan dua sineas independen Indonesia, Nirartha Bas Diwangkara dan Julio Rionaldo, tentang wawasan mereka mengenai dampak sosial dari pembuatan film. Sambil menikmati hidangan yang lezat, kami mendalami cara-cara mendalam di mana film mencerminkan dan mempengaruhi masyarakat, tantangan dan kemenangan dari perjalanan unik mereka, serta peran penting berjejaring dalam karier mereka.

Nirartha Bas Diwangkara dikenal karena narasi menyentuh yang menangkap esensi budaya Bali sambil mengatasi isu-isu kontemporer yang mendesak. Dengan hasrat terhadap keberlanjutan lingkungan, film Nirartha tentang dampak hubungan dalam lingkup pendidikan spiritual yang berjudul "Where the Wild Frangipanis Grow" telah memicu pembicaraan penting tentang praktik berkelanjutan dan pelestarian warisan alam pulau tersebut.

Ketika saya bertanya kepada Nirartha tentang pendekatannya terhadap pembuatan film dan dampak sosialnya, matanya berbinar penuh semangat. "Pembuatan film adalah dialog budaya," ia memulai. "Melalui film-film saya, saya berusaha menangkap esensi tradisi sambil mengatasi isu-isu kontemporer. Sebagai contoh, dalam film saya yang mengeksplorasi identitas seksual di budaya Bali, saya ingin memicu percakapan tentang praktik moral dan dilema etik yang kerap terjadi dalam institusi-institusi di sekitar kita."

Julio Rionaldo, di sisi lain, adalah sutradara visioner yang narasinya menyelami kedalaman pengalaman manusia dan hubungannya dengan sifat alamiahnya sendiri, kisahnya menarik paralel tentang peradaban, yang representasikan oleh otoritas, dan alam, yang diwakili oleh kekacauan dan kebebasan. Filmnya "Bestiary" adalah bukti keyakinannya akan kekuatan sinema untuk memprovokasi pemikiran dan menumbuhkan empati.

"Bagi saya, film independen menawarkan wadah untuk penceritaan tanpa limitasi," ujar Julio. "Film kami 'Bestiary' mengeksplorasi hubungan manusia dengan alamnya sendiri, menarik paralel dengan cara masyarakat memandang aspirasinnya. Saya percaya film dapat menumbuhkan empati dan menantang penonton untuk memikirkan kembali hidup mereka sendiri."

Percakapan kemudian beralih ke dampak karya mereka terhadap masyarakat. Nirartha menekankan pentingnya diskusi yang terjadi setelah pemutaran film. "Dampaknya bisa dilihat dalam percakapan yang terjadi setelah pemutaran. Ketika film saya diputar di penayangan, diskusi yang dipicu tentang pariwisata berkelanjutan sangat menggembirakan. Melihat tindakan nyata yang diambil oleh bisnis lokal untuk mengurangi jejak ekologis mereka adalah indikator jelas dari dampak film tersebut," jelasnya.

Julio menambahkan bahwa keterlibatan emosional dan intelektual adalah ukuran penting dari dampak sebuah film. "Bagi saya, ini tentang keterlibatan emosional dan intelektual dari penonton. Setelah pemutaran 'Bestiary,' banyak orang yang mendekati saya untuk berbagi pemikiran dan refleksi mereka. Fakta bahwa film tersebut dapat memunculkan tanggapan pribadi dan mendorong refleksi diri adalah ukuran signifikan dari dampaknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun