Perhelatan pemilihan presiden tahun 2024 resmi dimulai. Tiga pasang calon presiden dan wakil presiden telah ditetapkan oleh KPU. Berbagai dinamika mulai dari tingkat nasional hingga masyarakat akar rumput terus terjadi dan bergejolak.Â
Dari ketiga pasang capres dan cawapres selalu berlomba-lomba dalam meraih suara terbanyak untuk memenangkan kontestasi untuk meraih kekuasaan. Berbagai cara pun ditempuh, termasuk mendekati organisasi - organisasi, kelompok, komunitas di tengah masyarakat. Termasuk NU dan Muhammadiyah.Â
Nahdlatul Ulama (NU) seringkali menjadi perebutan utama dalam pilpres, dikarenakan jumlah massanya yang banyak dan menjadi faktor kunci pemenangan. Berbeda dengan Muhammadiyah, yang menjadi 'antitesis' dari NU dalam berpolitik. Suara warga Muhammadiyah tidak dapat di mobilisasi secara utuh. Bahkan, terdapat dukungan yang berbeda-beda dari warga Muhammadiyah. Yang paling mencolok, antara kaum tua dan kaum muda yang seringkali saling berseberangan dalam keberpihakan pilihan politik.Â
Namun, ada suatu hal yang perlu menjadi pembelajaran penting bagi warga Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya di tahun 1912, Muhammadiyah hadir salah satunya untuk menolak sikap taqlid atau mengkultuskan seseorang dalam kehidupan beragama. Dan hal tersebut masih terus digaungkan hingga saat ini dalam setiap forum persyarikatan Muhammadiyah.Â
Seolah-olah tampak seperti lupa. Warga Muhammadiyah baik dari kalangan tua ataupun muda, ketika dalam kontestasi pilpres seringkali terlalu berlebih-lebihan dalam mendukung calon presiden yang dipilihnya. Ini tentu sangat-sangat kontradiktif dari sikap Muhammadiyah yang sejak awal berdiri hingga saat ini masih terus digaungkan yaitu menolak Taqlid .Â
Baik kalangan tua ataupun muda, dalam mendukung capres-cawapres pilihannya, seolah-olah mereka adalah sosok yang sempurna, tanpa kekurangan. Menyebarluaskan narasi-narasi yang menguntungkan untuk capres pilihannya, dan menyebarluaskan narasi-narasi negatif yang merugikan capres-cawapres lainnya. Sekalipun itu hoax !
Nampaknya indikator hoax dan tidak menjadi berbeda bagi 'netizen WhatsApp'. Narasi-narasi yang menguntungkan pilihannya dianggap bukan hoax, padahal itu hiperbola dan hoax. Narasi menjatuhkan lawannya dianggap suatu informasi yang benar, padahal itu hoax.Â
Tentu hal-hal tersebut harus menjadi pengingat, bagi seluruh warga persyarikatan. Atas nilai-nilai yang telah ada sejak awal berdirinya Muhammadiyah, hingga usia 111 tahun tepat hari ini. Muhammadiyah menolak taqlid, itu sudah menjadi suatu hal yang sangat melekat dan dipahami oleh seluruh warga persyarikatan. Namun menjadi lupa, dalam setiap kontestasi pemilihan presiden, sampai-sampai lupa, akan cita-cita, sikap politik dan nilai-nilai persyarikatan yang harus dijalankan di seluruh sendi kehidupan.Â
Dengan keadaan ini, tentunya kita berharap. Seluruh warga persyarikatan dapat menilai segala sesuatu, termasuk pemilihan presiden secara objektif. Tak perlu berlebih-lebihan dalam mendukung capres dan cawapres tertentu. Karena sesungguhnya, politik adalah mekanisme untuk mencapai kekuasaan. Dan dengan caranya, melalui berbagai hal yang bisa ditempuh. Manipulasi, kepalsuan, merupakan wajah dari politik. Seluruh warga persyarikatan pun pasti memahami bahwa taqlid hanyalah mengantarkan kepada kebodohan saja. Sehingga, apa yang telah menjadi cita-cita dan nilai-nilai persyarikatan bisa betul-betul di terapkan, dilaksanakan dengan sesungguh-sungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H