Hari ini, Kamis, 23 Februari 2022 aliansi mahasiswa di Banyumas melaksanakan aksi dengan berorasi di kawasan alun-alun Purwokerto dalam rangka kritik pada hari jadi Banyumas yang ke 452, dengan empat isu yang dibawa yaitu angka kemiskinan tinggi, pemerataan pendidikan, stunting, konflik agraria. Namun, massa aksi yang hadir pada hari ini tak lebih dari banyaknya polisi dan karangan bunga yang ada di pelataran kantor bupati.
Tulisan ini bukanlah berita, straight news ataupun yang lainnya. Namun sebuah catatan kegelisahan penulis terhadap pergerakan mahasiswa pada hari ini.
Sebelum masuk kedalam pembahasan, ada sedikit cerita menyebalkan. Siang tadi (23/02) penulis sempat bercengkerama dengan mahasiswa di sebuah universitas kecil yang tengah berusaha terus bergeliat diPurwokerto. Kira-kira begini, penulis bertanya "kalian aktif organisasi", dijawab "ya" oleh salah satu dari mereka. Berlanjut penulis bertanya, "kalian pada ikut demo nggak nih nanti jam dua.?", dijawab oleh salah satu dari mereka "oohhh nggak.... It was a waste of my time". Dalam hati penulis "oohhh sangat bijak sekali calon budak birokrat satu ini". Mengherankan, sependek ini seorang 'mahasiswa' dalam melihat permasalahan bangsa. Lantas, untuk apakah berorganisasi. Apakah sebatas untuk narsis, menjilat dosen, ataukah keinginan pragmatis lainnya.? Karena penulis tau mereka berkoloni pada saat itu tengah bersama mengerjakan sebuah projek.
Apakah kehidupan mahasiswa dan misi organisasi kini tak eksis seperti dulu lagi.? Aktivitas mahasiswa dalam ber-narasi melalui orasi diruang masyarakat dengan landasan intelektual sebagai mahasiswa, apakah tak lagi diminati.? Lalu, apakah yang dicari mahasiswa kini.? Apakah hanya misi pragmatis semata? "cuan kita gerak, enggak ya mohon maaf". Sayang sekali mahasiswa kini tak mampu melaksanakan tridarma perguruan tinggi secara nyata, hanya misi pragmatis semata yang akan dijalankan.
Ruang intelektual mahasiswa dihadapan masyarakat pada panggung-panggung orasi semakin sepi. Ada apa? Penulis rasa ada yang salah saat ini. Dengan adanya program-program kemendikbud yang malah semakin mendistorsi pergerakan mahasiswa. Organisasi dan pergerakan mahasiswa yang memperjuangkan kemerdakaan masyarakat yang luas tak lagi diminati. Hanya organisasi dengan hasil rupiahlah yang kini banyak dihinggapi. Sedih, miris.
Pekerjaan besar bagi seluruh organisasi kemahasiswaaan untuk mengevaluasi organisasi masing-masing. Jika tak ada pergerakan mahasiswa saat ini, mau dikemanakan arah bangsa ini? Bukankah negara ini didirikan oleh orang-orang yang berkumpul, bersatu karena merasakan kegelisahan yang sama? Dan itulah yang dilakukan mahasiswa pada organisasi pergerakan, mereka gelisah dengan tidak adanya keadilan, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Dan esok, merekalah yang akan meneruskan berjalannya roda bangsa dan negara saat ini. Jika organisasi kemahasiswaan kini sepi, lalu mau jadi seperti apa negeri ini.?
Teruntuk kawan-kawan perjuanganku yang sedari kemarin menarik diri, sampai kapan? Bukankan kita memperjuangkan masyarakat? Ataukah sentimen tak penting ini akan tetap abadi?. Lalu yang menjadi pertanyaan besar ialah, lantas apa yang selama ini diperjuangkan? Bukankah yang kita perjuangkan sama? Kenapa kita tak jalan bersama dan saling beriringan?
Akankah, organisasi mahasiswa dimasa mendatang hanya menjadi sebuah catatan prasasti usang yang ditinggalkan? Dingin, panas, dipenuhi lumut bebatuan yang akhirnya akan terkikis dan menghilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H