Hidup terasa begitu nyata. Â Kita menikmati sedapnya makanan dan segarnya minuman. Kita mendengarkan keriangan musik pop, kelincahan rock, dan kesenduan musik blues.
Kita damai dengan keluarga kita. Â Istri kita elok dipandang dan indah di dalam. Â Anak-anak bergerak lincah. Yang terkecil tengah di puncak kelucuannya, sedangkan yang paling besar sebentar lagi mengalami pubertas.Â
Rumah kita tidak besar, tapi asri dan nyaman. Hasil perjuangan bekerja semenjak dini hari sampai cahaya matahari menghilang. Pun merendahkan diri selama bertahun-tahun di bawah perintah atasan yang menyebalkan.Â
Dalam alam kesadaran kita, kita ini mengada, atau  exist, Bahasa Inggrisnya. Saat ini dan di sini.  Karena kita menyadari bahwa kita ada, lantas kita memperlihatkan eksistensi kita kepada orang lain. Seberapa banyak yang kita punyai menunjukkan derajat eksistensi kita. Untuk itu kita tunjukkan kepada khalayak ramai melalui linimasa media sosial.
Tapi apakah pada hakikatnya kita benar-benar ada? Coba kita renungkan.
Jika segala  sesuatu itu benar-benar ada, maka dia harus selalu ada. Artinya dia tidak berawal juga tidak berakhir. Sebaliknya, jika dia memiliki awal dan akhir, maka dia tidak ada. Maka, jika tidak ada, pada dasarnya dia tidak bermakna.
Tentu saja tidak bermakna! Apatah guna membicarakan sesuatu yang tidak ada?
Sekarang mari kita terapkan teorema tersebut kepada kita. Adakah kita?
Seandainya kita benar-benar ada, di manakah kita 500 Â tahun silam?
Dan akankah kita  ada pada 500 tahun yang akan datang?Â
Ternyata jawabannya kita tidak selalu ada! Rentang usia manusia rata-rata 79 tahun. Jika dibandingkan dengan usia jagat raya 13,8 miliar tahun, maka keberadaan kita saat ini bisa diabaikan, alias nihil.Â
Kira-kira ini seperti kita memandang rentang hidup lalat capung betina yang lima menit saja dibandingkan dengan usia rata-rata manusia.