Mohon tunggu...
Humaniora

Islam Nusantara: Jalan Tengah antara Ortodoksi dan Liberalisme Islam

9 Februari 2017   16:24 Diperbarui: 9 Februari 2017   16:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah perang dunia kedua, banyak negara mayoritas Muslim yang merdeka, mereka berhadapan dengan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan akibat kolonialisme. Sebagian kalangan didikan Barat melihat dunia Barat sebagai acuan, sehingga mereka menyerukan “modernisasi” yang  pada dasarnya “westernisasi.” Orang Barat berhasil mencapai puncak kemajuan di abad ke-20 dengan mengutamakan rasio mereka dan meminggirkan hal-hal yang dianggap cenderung mistis seperti tahayul dan agama. Revolusi Turki modern 1927 merupakan antitiesis terhadap Kekhalifahan Usmaniah yang “sakit-sakitan” di Eropa, negara Eropa mayoritas Muslim yang tertinggal dalam hal industri, infrastruktur, pendidikan, birokrasi, dan militer. Nah, Revolusi Kemal Attatturk mencoba membalikkan kondisi ini dengan menerapkan westernisasi yang totok. Semua simbol agama “didearabisasi”, “dimodernisasikan” alias “dibaratkan.”

(Dahulu di akhir 1960-an di Indonesia sendiri sempat ramai ajakan untuk tidak puasa, karena menurut penganut westernisasi ini puasa bikin sakit mag dan membuat orang tidak produktif. Mereka mengambil contoh pada saat tengah hari setelah Dhuhur kebanyakan orang tidur siang di masjid sehingga pekerjaan mereka tertunda.)

Situasi umat memang dalam kondisi terpuruk. Negara ilegal Israel yang didukung AS dan sekutu-sekutunya semakin ekspansif sedangkan ideologi nasionalisme tidak berhasil mengalahkan negara yang tidak lebih luas daripada pulau Jawa itu.

Di akhir 1960-an perlahan situasi berubah, umat Islam di Timur Tengah mengalami kepercayaan diri terhadap tradisi mereka. Salah satunya berkat lonjakan produksi minyak. Situasi ini semakin diperteguh dengan tumbangnya rezim Pahlevi melaui Revolusi Islam Iran. Gerakan-gerakan Islam bermunculan dan kemudian menyebar dengan doktrin mengembalikan kejayaan Islam, dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ketika liqo (pengajian Islam dalam kelompok kecil), sang murob bilang, “Ingat, dahulu Islam jaya di Andalusia. Ingat Cordoba. Rebut kembali peradaban Islam.”  Yang muncul kemudian semangat “islamisasi” segala segi.  “Kembali ke Quran dan Sunnah, maka semua persoalan sosial politik tuntas. Islam akan kembali berjaya.” Menarik sekali buat anak-anak muda yang memiliki semangat keberislaman yang tinggi waktu itu.

Pada awal 90-an di Indonesia terjadi pergeseran politik. Suharto yang dulu dekat dengan CSIS dan LB Moerdani yang keras terhadap gerakan-gerakan Islam, sekarang cenderung dekat ke komunitas Muslim (terutama setelah dia menunaikan ibadah haji). Suharto lebih akomodatif terhadap umat Islam yang pada gilirannya membuahkan di antaranya ICMI dan Bank Mamalah. Buku-buku tentang Islam laris manis. Terutama buku-buku terjemahan dari Mesir dan Iran.

Di level wacana, ideologi kelompok-kelompok fundamentalisme dibiarkan meskipun gerakan mereka terus dipantau. Orde Baru justru diuntungkan karena gerakan-gerakan seperti ini justru menetralisasi kelompok-kelompok oposisi berhaluan Marxis seperti Partai Rakyat Demokratik dan kelompok liberal yang menyerukan demokratisasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang berpijak pada paham materialisme di Barat.

Akhirnya Orde Baru runtuh. Dan ketika demokrasi benar-benar tegak, kecenderungan yang mengemuka adalah bermekaran kelompok-kelompok Muslim militan dan  ekstrim yang membajak konsep “jihad.” Sebagai tanggapan atas kekerasan dan cara pandang yang ekstrim tersebut, muncullah Islam Liberal. Menurut Luthfi Assyaukanie, salah seorang pentolannya, ”Islam liberal datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi ortodoksi.” Mereka mengklaim kalau pemikiran mereka tentang Islam itu “kritis, progresif dan dinamis.” Mereka mengatakan bahwa tafsir teks-teks Islam klasik pada abad ke-7 tidaklah mutlak, dengan demikian dapat ditafsirkan ulang sesuai dengan kebutuhan kontemporer.  Persoalannya, Islam liberal dianggap sekadar memindahkan titik ekstrim dari satu titik ke titik lainnya dan tidak mempunyai akar metodologis dalam tradisi Islam, sehingga kedengaran ganjil bagi umat Islam kebanyakan.

Islam Nusantara mengambil jalan tengah. Menurut KH Afifuddin Muhajir hakikat ajaran Islam terdiri atas akidah (tauhid), akhlak (kebersihan jiwa), dan syariat (ibadah dan muamalah).  Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Sementara yang ketiga ada potensi berubah bergantung konteks.  Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Alquran dan Sunnah menjelaskan prinsip-prinsip umum. Ijtihad diperlukan agar sejalan dengan konteks. Sebagai contoh, para tabi'in memfatwakan larangan bagi perempuan muda keluar menuju masjid karena banyak pria berandal yang sering berbuat jahil, padahal Nabi sendiri bersabda agar perempuan jangan dilarang menuju mesjid.

Menurut penggagas Islam Nusantara, sah saja menambahkan embel-embel Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, Islam Australia, dan seterusnya. Islam Nusantara di sini pemahaman dan pengamalan Islam menurut budaya dan realitas di Indonesia.  Menurut Nardisyah Hosen Islam Nusantara bekerja atas dasar prinsip-prinsip fikih, di antaranya sebagai berikut. Pertama penerapan syariat mengakomodasi budaya lolal, adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum  (al 'adah muhakkamah). Kedua, hal baik yang sudah dikenal sebagai kebiasaan diterima seperti halnya syarat (al-tsabit bi al-dalalah al-'urf ka al-tsabit bi al-dalalah al-nash). Ketiga, hal yang dianggap baik umat Islam di sisi Allah dianggap baik (ma raahu al-muslimun hasanan fa huwa 'indallah hasan).

Dengan demikian, sesungguhnya tiada hal yang baru dari gagasan ini, karena Islam Nusantara sesungguhnya tidak lebih daripada tradisi Islam yang dipraktikkan di Nusantara, yang telah berkembang selama berabad-abad.  Dia tidak asing, bukan biddah, bukan pula aliran baru yang mengambil posisi menantang atau berselisih dengan pokok-pokok ajaran Islam yang murni. Konsep Islam Nusantara justru memberikan penekanan makna bahwa Islam sesungguhnya universal. Dengan universalitasnya itu dia mampu mengangkat nilai-nilai partikular di manapun yang sejalan dengan dirinya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun