[caption id="attachment_299714" align="alignleft" width="300" caption="Ben Bernanke (Chairman The Fed) dan JC Trichet (President European Central Bank) saat foto bersama di forum G-20 Gyeongju / photo by Junanto"][/caption] Meski dari sisi kemajuan ekonomi, Indonesia bisa dikalahkan oleh negara tetangga, ada satu hal lain yang membuat mereka tetap iri pada Indonesia. Hal itu disampaikan oleh seorang rekan dari Malaysia, saat saya mengatakan sedang berada di forum kelompok negara G-20 untuk tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Gyeongju, Korea Selatan. Menurutnya, Malaysia berupaya menempuh berbagai jalur agar bisa diterima menjadi anggota G-20, namun upaya itu selalu kandas. Pun demikian dengan Singapura dan Thailand. Mereka tidak bisa menjadi anggota kelompok G-20. G-20 memang semacam “gangs of the elite”. Meski kaya dan maju, satu negara belum tentu bisa masuk menjadi anggotanya. Berbeda dengan IMF, World Bank, PBB, dan berbagai lembaga internasional lainnya, keanggotaan G-20 adalah atas unjuk dan bukan berdasarkan pendaftaran anggota. Di Eropa sendiri, hanya Inggris, Jerman, Perancis, Italia, dan Turki, yang bisa menjadi anggota G-20. Hal ini sempat membuat “iri” Norwegia yang merasa perekonomiannya lebih maju dan banyak memberi kontribusi di perekonomian global. Namun Norwegia tetap tidak memiliki suara apapun di G-20. Sementara di Asia Tenggara, hanya Indonesia yang dinilai layak masuk G-20. Mengapa kita bisa ditunjuk jadi anggota G-20? Anggota G-20 memang bukan hanya dilihat dari kemajuan ekonomi semata, namun dari kontribusinya pada pendapatan nasional dunia, perdagangan dunia, dan menguasai populasi dunia. Ekonomi negara-negara G-20 menguasai 85% pendapatan nasional dunia, menguasai 80% perdagangan dunia, dan yang terpenting, mewakili dua pertiga dari populasi dunia. Dengan demikian, negara-negara kelompok G-20 adalah pemain utama (major players) dalam perekonomian dunia. Indonesia dianggap salah satunya. Pertimbangannya, Indonesia adalah negara besar dengan populasi yang dianggap penting bagi pertumbuhan dan arah ekonomi dunia ke depan. Meski awalnya Indonesia terpilih menjadi anggota G-20 hanya karena jumlah penduduknya, peran Indonesia kini semakin besar. Krisis global justru menjadi penanda bahwa banyaknya penduduk adalah sebuah berkah tersendiri. Kita lihat posisi negara-negara maju saat ini yang amblas perekonomiannya karena dihantam krisis global. Namun Indonesia, dengan 235 juta penduduk yang sebagian besar di usia produktif, tetap dapat tumbuh di atas 4%, bahkan 6% pada tahun 2010 ini. Jumlah penduduk, yang sebelumnya dianggap sebagai kelemahan kini justru menjadi kekuatan. Masalahnya, apakah kita hanya ingin berhenti di sana? Tentu tidak. Berbagai permasalahan mendasar masih menjadi pekerjaan rumah di dalam negeri. Upaya mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan pemerataan pendapatan adalah tantangan, baik bagi Indonesia, maupun negara berpenduduk besar lainnya seperti Cina dan India. [caption id="attachment_299711" align="alignleft" width="227" caption="Gub BI Darmin Nasution berbincang dengan Menkeu Korsel Yoon Jeung-hyun pada pelaksanaan G-20 Gyeongju / photo by Junanto"][/caption] Untuk itulah, posisi Indonesia di G-20 kali ini menjadi penting agar dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan bangsa di tengah pergulatan kepentingan negara-negara maju. Suara yang dimiliki Indonesia di forum ini sejajar dengan suara Amerika dan negara Eropa. Komunike bersama nanti membutuhkan suara Indonesia agar menjadi bulat. Kepentingan kita untuk menjaga stabilitas perekonomian, pertumbuhan yang berkelanjutan dalam jangka menengah, kebijakan fiskal yang jelas dan kredibel, serta pembenahan struktural di perekonomian, perlu terus disuarakan di forum-forum seperti ini. Menjadi anggota G-20 memang membuat iri banyak negara tetangga kita. Oleh karenanya, amatlah disayangkan kalau kita tidak memanfaatkan forum ini untuk memperjuangkan kepentingan bangsa. Para pendiri negeri ini, seperti Haji Agus Salim dkk, telah mampu mengubah nasib Indonesia melalui kepiawaiannya bernegosiasi di panggung-panggung internasional. Padahal saat itu, kita belum punya apa-apa. Kini, bentuk pertarungan internasional itu berada di forum-forum multilateral seperti G-20 ini. Ketimbang menghujat dan mencibir mereka, lebih baik kita masuk dan berjuang melalui diplomasi yang piawai di dalamnya. Di sinilah, kita membutuhkan para pejabat sekaligus diplomat yang ulung. Demikian laporan dari pertemuan G-20 tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, Gyeongju, Korea Selatan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H