Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Yakuza dan Gangster di Ekonomi Kita

20 Maret 2010   00:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:19 2653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_97997" align="alignleft" width="257" caption="Yakuza / from wordpress.com"][/caption] Peranan gangster dalam perekonomian adalah rahasia yang terjaga baik (the worst-kept secret) dan sulit diungkap selama ratusan tahun. Membutuhkan keberanian dan risiko yang besar untuk membongkar kiprah mereka. Para gangster mampu mengisi celah yang selama ini tidak disentuh para pengambil kebijakan. Mereka juga mampu menyatu dan menjalin hubungan dengan masyarakat, birokrat, militer, politisi, serta memberi peran di dalamnya. Di Jepang, istilah “four finger economy” mengacu pada peranan Yakuza dalam perekonomian Jepang. Yakuza, gangster Jepang yang bercirikan tattoo sekujur tubuh dan memiliki tangan berjari empat, telah lama hadir dalam kehidupan masyarakat Jepang. Di masa lalu, mereka adalah para ronin (samurai tak bertuan) yang menguasai dunia hitam. Peranannya di zaman modern terus berkembang, mulai dari sindikat kejahatan, pemerasan, judi, narkoba, hingga penjualan senjata. Krisis ekonomi global saat ini menjadi peluang bagi para Yakuza untuk mengembangkan usahanya di sektor finansial. Mulai dari aksi pencucian uang melalui berbagai perusahaan, hingga peranan mereka di sektor UMKM atau masyarakat kecil, sebagai “lintah darat”. Meski secara nominal beberapa indikator ekonomi di Jepang menunjukkan kemajuan, secara riil, ekonomi Jepang masih lemah. Dilema yang dihadapi oleh ekonomi Jepang adalah deflasi yang berkepanjangan. Hal itu mengakibatkan ekonomi Jepang bagai tubuh “kurang darah”, alias tak bergairah. Akibatnya, banyak perusahaan Jepang yang merugi bahkan ditutup. Ruginya Japan Airlines, munculnya kasus Toyota dan Honda, hanya puncak dari gunung es masalah yang dihadapi ekonomi Jepang. Pengangguran masih tinggi, dan banyak perusahaan yang terpaksa harus mem-PHK karyawannya. Data terakhir dari Pemerintah Jepang menunjukkan bahwa perekonomian Jepang masih berada dalam pusaran krisis, angka pertumbuhan triwulan IV-2009 tumbuh lebih rendah dari prediksi sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan perseteruan antara pemerintah dan Bank of Japan (bank sentral Jepang) saat ini. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan, Naoto Kan, menekan Bank of Japan untuk bertindak cepat membawa Jepang keluar dari deflasi. Di sisi lain, Gubernur Bank of Japan, Shirakawa, mengatakan bahwa permasalahan deflasi bukan soal moneter, namun bagaimana pemerintah memperbaiki sektor industri dan memperbaiki struktur penyaluran kredit ke masyarakat. Kebijakan moneter telah optimal dan bukan solusi untuk keluar dari masalah saat ini. Bank of Japan telah menurunkan suku bunga hingga mendekati nol persen. Bank of Japan juga telah menggelontorkan dana lebih dari 20 triliun Yen ke pasar agar tercipta permintaan. Namun yang terjadi, uang tersebut kembali masuk ke bank sentral. Rumah tangga tidak mau meminjam, industri tidak mau meminjam, dan bank tidak mau meminjamkan, karena keyakinan akan masa depan ekonomi yang belum membaik. Mengatasi hal ini, pemerintah Jepang terus menerus menambah utangnya untuk membiayai pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Jepang saat ini menjadi salah satu negara penghutang terbesar di dunia. Lembaga rating internasional seperti S&P bahkan mengancam untuk menurunkan rating pemerintah Jepang. Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah memojokkan bank sentral yang kurang tanggap. Keduanya terus berseteru. Lesunya ekonomi, dan perseteruan antara pengambil kebijakan, memberi ruang bagi Yakuza untuk bermanuver. Macetnya saluran antara perbankan dan industri serta rumah tangga, difasilitasi oleh Yakuza. Mereka masuk ke kehidupan riil masyarakat, memberi pinjaman, memberi perlindungan, dan memasok kebutuhan masyarakat, serta jaminan keamanan. Masyarakat yang membutuhkan dana karena “kepepet” juga akhirnya tenggelam ke lembah hitam, masuk dalam jeratan utang para Yakuza. Bukan hanya di kalangan bawah, di perusahaan raksasa Jepang, peran Yakuza juga menjadi “perbincangan”. Menurut pemberitaan di harian The Japan Times, peranan Yakuza dalam perusahaan besar Jepang tak pernah terungkap dan selalu menjadi perdebatan. Proses intermediasi perbankan yang macet, penciptaan kredit yang gagal, dan birokrat saling menyalahkan, adalah rentetan yang memberi peluang bagi bisnis para Yakuza. Bagaimana dengan di Indonesia? Seberapa jauh para gangster masuk dalam dunia finansial? Peranan gangster dalam ekonomi Indonesia juga sebuah rahasia yang tersimpan baik selama puluhan tahun. Tak pernah terungkap dan hanya menjadi pembicaraan di warung kopi. Kala pemerintah, bank sentral, dan politisi saling menyalahkan, kala kekuatan formal tidak optimal, gangster akan selalu melihat celah untuk mengambil peranan. Saya mencoba mengutip kata Mario Puzzo, ”Behind every great fortune, there is a crime..”. Di balik kekayaan yang luar biasa, biasanya tersimpan kejahatan. Mudah-mudahan negeri ini dihindari dari kejahatan. Ngeri ah ….. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun