Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salih Kubo dan Islam di Mata Jepang

4 September 2011   00:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15 2726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_129326" align="aligncenter" width="614" caption="Bersama Salih Kubo-san di Masjid Yoyogi, Tokyo "][/caption] Di penghujung Ramadan lalu saya berbuka puasa di Masjid Turki, Tokyo. Dalam kesempatan itu saya bertemu dengan umat Islam dari berbagai negara. Ada dari Afrika, Eropa, dan Asia. Tapi yang menarik adalah pertemuan dengan salah satu orang Jepang, namanya Salih Kubo.

Salih Kubo adalah orang Jepang yang baru memeluk Islam kurang lebih empat tahun lalu. Salih-san, begitu ia dipanggil, kini bekerja di Islamic Center-Japan, yang salah satu tugasnya adalah juga untuk membantu masyarakat Jepang yang ingin mengenal Islam.

Awalnya, Salih-san melihat dan mempelajari Islam dari literatur danbertemu dengan beberapa ulama Islam. Informasi mengenai Islam telah diterima sejak kecil dalam pelajaran sejarah sehingga tidak terlalu asing baginya.

Dari informasi yang ia terima, Salih-san melihat bahwa ajaran Islam itu pada prinsipnya penuh kedamaian dan keterbukaan terhadap perbedaan. Beberapa ajaran tasawuf bahkan mirip dengan ajaran Taoisme. Berbeda dengan persepsi banyak pihak yang mengatakan bahwa Islam itu agama penuh kekerasan dan kaku, ia justru berpendapat sebaliknya. Oleh karena itu, Salih-san menyayangkan adanya banyak mispersepsi tentang Islam.

Namun menjadi Islam di Jepang ternyata tidak mudah bagi Salih-san. Tidak seperti Indonesia, yang pemerintahnya mengatur urusan-urusan agama, Jepang adalah negara sekuler. Agama adalah urusan personal. Pemerintah sama sekali tidak mengatur soal ibadah ataupun perayaan keagamaan. Akibatnya, Jepang tidak mengenal hari libur agama. Jadi kalau lebaran, ataupun natalan, orang Jepang tetap bekerja, karena kalendernya tidak ada tanggal merah untuk hari-hari tersebut.

[caption id="attachment_129327" align="alignleft" width="300" caption="Suasana Buka Puasa Bersama di Masjid Yoyogi / photo Junanto"][/caption] Bagaimana dengan Idul Fitri tahun ini? Salih-san mengatakan bahwa ia merayakan lebaran dalam kesendirian. Seluruh sanak famili dan keluarganya adalah orang Jepang yang masih menganut ajaran leluhur Jepang. Pagi hari, Salih-san sholat Idul Fitri di Masjid, dan setelah itu ia kembali ke rumahnya, untuk merayakan Idul Fitri sendiri.

Memang tidak mudah menjadi orang Islam di Jepang. Ajaran Islam yang mensyaratkan ibadah ritual, masih sulit diterima oleh masyarakat Jepang. Mulai dari sholat lima waktu, sholat Jum’at bagi pria, puasa Ramadhan, Hari Raya Ied, hingga ibadah haji, masih sulit diterima dalam pemahaman masyarakat Jepang. Hal yang lebih berat lagi adalah apabila kita bekerja di perusahaan Jepang.

Kalau kita bekerja di perusahaan Jepang, tidak mudah untuk mendapatkan ijin melakukan ibadah-ibadah ritual tersebut. Apalagi orang Jepang terkenal dengan budaya kerja keras. Akhirnya, kata Salih-san, orang Islam harus pintar-pintar menyiasati pekerjaannya agar tetap dapat melakukan ibadah.

Salih-san mengatakan bahwa meski jumlahnya tidak signifikan, orang Jepang yang memeluk Islam relatif banyak. Mereka memiliki komunitas yang bisa menjadi sarana informasi bagi warga Jepang yang ingin mengenal Islam.

Di masjid Turki Yoyogi misalnya, Salih-san dan rekan-rekannya menjadikan masjid tersebut terbuka bagi orang Jepang. Saat buka puasa kemarin, banyak orang Jepang yang bukan Islam ikut masuk ke masjid. Mereka menonton orang Islam sholat dan ikut buka puasa bersama. Sebagian wanita Jepang yang datang bahkan masih tetap memakai rok mini dan pakaian atas yang tidak tertutup (kerudung). Tapi Salih-san tidak melarang mereka, ataupun merasa bahwa mereka menghina Islam. Bagi Salih-san dan rekan-rekannya, masjid terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar tentang Islam.

Ajaran Islam memang masih asing bagi orang Jepang. Bukan hanya Islam, tapi agama samawi lainnya, seperti Kristen dan Yahudi, juga bukan menjadi agama populer di Jepang. Sebagian besar masyarakat Jepang menganut agama Shinto-Buddhism yang lebih menekankan pada aspek budaya dan ritual nenek moyang. Menurut seorang Profesor di Tokyo, orang Jepang memang tidak menganggap penting agama. Mereka bisa lahir secara Buddha, menikah secara Kristen, dan meninggal secara Shinto. Hal terpenting bagi mereka adalah berbuat baik bagi sesama dan menciptakan masyarakat yang tertib dan tertata.

Di tengah masyarakat Jepang yang seperti itu, menjadi muslim bukanlah sebuah hal yang mudah. Bagi Salih-san, secara tatanan masyarakat, orang Jepang sudah mengikuti ajaran dari agama Islam. Mereka sudah tertib, memerhatikan kepentingan orang lain, menerima perbedaan, dan menjaga kebersihan. Tapi Salih-san meyakini, bahwa di atas itu semua, agama adalah juga pengalaman personal. Untuk itulah agama tetap penting baginya.

Salam dari Tokyo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun