Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Rahasia Sukses Mengolah Sampah di Jepang - Part 2

30 April 2012   00:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:57 4732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_178103" align="aligncenter" width="640" caption="Tempat sampah sesuai jenis-jenisnya di Jepang / photo Junanto"][/caption]

Sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa tradisi mengolah sampah di Jepang, dengan memilah sampah menurut jenisnya, adalah budaya yang sudah lama dilakukan (baca: Mengolah Sampah di Jepang - Part 1). Namun ternyata, menurut penjelasan kawan Jepang dan juga petugas di tempat pembuangan sampah yang saya temui, cara membuang dan mengolah sampah seperti saat ini, belum lama dilakukan di Jepang.

Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.

Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Contoh terbesar ketidakpedulian itu adalah terjadinya kasus pencemaran Minamata, saat pabrik Chisso Minamata membuang limbah merkuri ke lautan dan mencemari ikan serta hasil laut lainnya. Para nelayan dan warga  yang makan ikan dari laut sekitar Minamata menjadi korban. Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat tragedi tersebut.

Di tahun 60 dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan, keracunan, menjadi bagian dari tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo sendiri, limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan warga Tokyo.

Barulah pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya. Gerakan mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle. Mengurangi pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur Ulang.

Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu, urusan lingkungan belum menjadi prioritas.

Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang

Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi Daur Ulang atau Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun 1997, Undang-undang Kemasan Daur Ulang atau “Containers and Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen.

Rahasia Sukses Jepang

Dari beberapa hal tersebut, setidaknya terdapat tiga rahasia sukses Jepang dalam penanganan sampah rumah tangga. Pertama, tingginya prioritas masyarakat pada program daur ulang. Hampir semua orang Jepang paham mengenai pentingnya pengelolaan sampah daur ulang.

Untuk membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti “chonaikai” melakukan aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan masyarakat. Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke perumahan untuk memonitor pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga tentang cara penanganan sampah.

Kedua, munculnyatekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila kita tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu menjadi kunci efektivitas penanganan sampah di Jepang.

Saya pernah melihat orang Jepang yang sedang mabuk di kereta sambil memegang botol bir. Saya mengikuti saat ia keluar dari kereta. Dia celingak celinguk mencari tempat sampah. Menariknya, dalam keadaan mabuk, ia masih membuang sampah, bukan hanya di tempatnya, namun bisa memilih tempat sampah daur ulang khusus botol dan kaleng.

Dari kejadian itu saya berpikir bahwa kebiasaan membuang sampah, selain juga karena dibangun rasa malu, juga telah masuk ke alam bawah sadar mereka.

Ketiga, program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini. Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang mampu tertanam di alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi “habit”.

Awalnya dulu, resistensi sempat muncul dari beberapa kalangan mengenai perubahan cara membuang sampah ini. Banyak warga, khususnya orang-orang tua, yang memprotes cara baru penanganan sampah, karena dianggap merepotkan. Namun dengan penjelasan dan informasi yang terus menerus mengenai manfaat dari pembuangan sampah, resistensi itu berkurang dengan sendirinya.

[caption id="attachment_178104" align="aligncenter" width="576" caption="Tempat sampah di salah satu mall di kota Tokyo / photo Junanto"]

1335745245101113667
1335745245101113667
[/caption]

Bisakah kita Meniru Jepang?

Melihat proses pembentukan “habit” pengolahan sampah di Jepang tersebut, saya yakin kalau kita di Indonesia bisa meniru Jepang. Kesadaran pada sampah dan lingkungan hidup di Jepang baru tumbuh dalam beberapa puluh tahun terakhir. Artinya hal tersebut bukan terjadi by default pada diri masyarakat Jepang, namun dilakukan by design dengan membentuk habit atau kebiasaan melalu edukasi.

Oleh karena itu, upaya membangun kesadaran masyarakat melalui berbagai kampanye lingkungan hidup oleh komunitas-komunitas peduli lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Sahabat Kompasianer dari Jogjakarta, Mas Daniel Suharta dan kawan-kawan, perlu banyak dilakukan di setiap kota dan tempat.

Apa yang dilakukan mas Daniel dengan membentuk berbagai program kampanye peduli lingkungan, persis seperti yang dilakukan oleh chonaikai di Jepang, bertahun-tahun lalu. Meski saat itu pemerintah Jepang belum mendukung dan bergerak, mereka tidak putus asa. Selama 20 tahun, komunitas tersebut terus konsisten meraih simpati dan berkembang pesat hingga akhirnya malah dapat memberi tekanan sosial pada pihak pemerintah.

Langkah lainnya adalah dengan membuat program edukasi bagi setiap elemen masyarakat. Berbagai brosur dan informasi dibuat untuk anak-anak sekolah sehingga kebiasaan membuang sampah terbentuk sejak kecil. Di sisi lain para orang tua juga harus memberi contoh. Hal ini sangat penting, karena anak-anak meniru apa yang dilakukan orang tua.

Dengan berbagai hal tersebut, pada akhirnya nanti pemerintah mau tak mau akan mendukung gerakan peduli lingkungan. Dan bila demikian halnya, Undang-undang dibuat bukan untuk mengatur, namun hanya meng-amin-i saja realita yang sudah terjadi di masyarakat.

Tak heran, makin maju suatu negara, makin sedikit peraturannya. Di Jepang, saya jarang sekali melihat tulisan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” atau “Dilarang Buang Sampah”. Karena tanpa tulisan itu-pun, masyarakat sudah membuang sampah di tempatnya.

Salam dari Tokyo.

ps. bahan tulisan dari diskusi, pengamatan, dan juga berbagai sumber di internet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun