[caption id="attachment_97950" align="aligncenter" width="680" caption="Pengolahan Air Kanamachi, Jepang / foto wikipedia"][/caption]
Kemarin sore (23/3), saya sempat dilanda kepanikan. Pemda Tokyo mengumumkan bahwa air keran kota Tokyo tercemar radiasi. Radiasi isotop Iodine-131 sudah mencemari pusat pengolahan air Kanamachi yang menyalurkan air ke wilayah Tokyo. Akibatnya, air keran di seluruh wilayah kota Tokyo dan sekitarnya, tercemar zat radioaktif. Jumlah kandungan radioaktif tersebut sudah dua kali di atas ambang normal. Meski dikatakan masih aman dikonsumsi bagi orang dewasa, pemerintah melarang bayi di bawah satu tahun meminum air dari keran. Pascapengumuman tersebut, tak ayal, kepanikan muncul di Tokyo. Meski tidak terlihat adanya kekacauan, antrian, ataupun penimbunan, air mineral mulai menghilang di rak-rak supermarket. Rabu sore kemarin, saya mencoba mencari air mineral dari satu supermarket ke supermarket lainnya. Hasilnya nihil. Air mineral sulit didapatkan sore itu. Sayapun berpuas diri minum air mineral “sparkling”, air mineral dengan bonus rasa soda. Kepanikan saya dan warga Tokyo tentu sangat beralasan. Air keran di Tokyo selama ini bisa diminum. Air tersebut juga digunakan untuk keperluan sehari-hari, mulai dari mencuci hingga memasak. Apabila air sudah tercemar radiasi, saya tentu berpikir dampaknya bagi kesehatan. Penjelasan dari pemda Tokyo juga tidak jelas. Saya melihat bahwa kepanikan yang terjadi di Tokyo sebagian dipicu oleh informasi yang “membingungkan” tersebut. Awalnya, seorang pejabat mengatakan bahwa masalah kesehatan baru akan muncul apabila seseorang terus meminum air tercemar ini dalam jangka panjang. Namun kemudian dikatakan, apabila tidak ada air lagi, meminum air keran tidak akan menyebabkan masalah bagi kesehatan. Bagi yang memiliki bayi, boleh sesekali diberikan air keran. Kedua penjelasan tersebut terkesan tidak konsisten dan menyebabkan kebingungan di publik. Selain itu, informasi yang diberikan juga terkesan tidak cukup. Sebelumnya dikatakan bahwa untuk anak bayi di bawah satu tahun, dilarang meminum air keran. Namun tidak disebutkan dampaknya bagi anak-anak TK atau SD, apakah masih aman bagi mereka untuk mengkonsumsi air keran. Dan bagaimana level yang aman untuk anak-anak. Penjelasan tersebut tentu semakin menyebarkan rasa panik di warga Tokyo. Meski panik, tidak terdapat kekacauan di Tokyo. Saya tetap berada dalam baris antrian yang panjang untuk membeli air mineral. Warga Tokyo juga tetap teratur dan mengantri. Setiap orang hanya mengambil air mineral maksimal dua botol. Namun karena semua orang membeli, maka persediaan air mineral menjadi tidak cukup. Dan kemarin, Tokyo jelas-jelas kekurangan air mineral. Komunikasi nampaknya menjadi masalah serius bagi Pemerintah Jepang dalam mengatasi krisis nuklir saat ini. Kepanikan masyarakat dan juga orang asing di Jepang, umumnya muncul dari informasi yang tidak jelas. Di satu sisi, orang Jepang terkenal hebat dalam perencanaan dan pelaksanaan. Kita melihat tidak ada satupun gedung roboh di Tokyo saat terkena gempa sebesar tanggal 11 Maret lalu. Ini adalah hasil perencanaan yang baik. Saat terjadi gempa, mereka juga begitu cepat dan tanggap menangani korban. Namun, pemerintah Jepang, sebagaimana kebanyakan orang Jepang, memiliki problem dalam komunikasi. Hal ini tak bisa dilepaskan dari budaya mereka yang memang lebih banyak bertindak ketimbang berkata-kata. Mereka juga ingin serba sempurna bila berbicara. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk berbicara dalam keadaan informasi yang tidak sempurna. Selain itu, Jepang juga punya budaya diam atau “silent communication” yang dalam bahasa Jepang disebut chinmoku. Dalam budaya chinmoku, orang tidak perlu banyak bicara untuk bisa saling memahami. Mereka sangat menghargai orang yang tidak banyak bicara. Mereka nyaman dalam kesunyian. Kalau berbisnis dengan orang Jepang, sering sekali mereka diam dan jeda lama. Semakin tinggi jabatan seseorang di perusahaan Jepang, semakin jarang pula ia berbicara, dan semakin ia dihormati. Kalau berbicara, orang Jepang juga tidak pernah langsung dan lebih sering menggunakan simbol atau bahasa tubuh. Mereka sangat sulit untuk mengatakan “tidak”, ataupun “tidak setuju”. Kalau mereka tidak sependapat, terlihat bahasa tubuhnya kurang nyaman, tapi tidak pernah mengatakan “tidak”. Kita harus bisa menangkap makna di balik kata-kata dan bahasa tubuh mereka. Budaya itu tentu memiliki keluhuran. Namun repotnya, akibat budaya itu pula, kala menghadapi krisis, mereka mengalami kesulitan dalam menjelaskan situasi. Apalagi kalau situasinya penuh ketidakpastian, seperti saat krisis nuklir sekarang. Kasus rem blong Toyota tahun lalu, menjadi bukti bagaimana parahnya komunikasi pihak Toyota yang sangat lambat dalam memberikan penjelasan. Dan hal itu berulang lagi pada kasus nuklir kali ini, dengan dampak yang lebih parah. Akhirnya, saat krisis nuklir terjadi, saya dan banyak warga Indonesia lebih mengandalkan informasi dari rekan-rekan PhD Nuklir Indonesia yang sedang belajar di Tokyo. Mas Kunta Biddinika dan kawan-kawan mampu menenangkan warga Indonesia, terkait dengan terjadinya krisis. Mereka dapat menjelaskan dengan sederhana berbagai kemungkinan yang dapat terjadi apabila krisis meluas. Sayapun mencoba menghubungi mereka terkait dengan isu radiasi air keran di Tokyo. Menurut mereka, sebenarnya tingkat radiasi yang ada sekarang masih aman karena masih di bawah level normal yang bisa membahayakan kesehatan. Namun memang, safety standard di Jepang sangat tinggi. Pemerintah Jepang sangat strict dalam melakukan pengamanan. Undang-undang di Jepang juga mengharuskan mereka mengumumkan setiap perkembangan, apapun itu hasilnya. Hal ini membuat pemerintah Jepang harus mengumumkan secara rutin apapun perkembangan yang terjadi, termasuk apabila ada pelanggaran batas keamanan bagi produk makanan atau air minum. Dan setiap pengumuman, kerap menimbulkan kepanikan karena kerap tidak dirancang dengan baik. Teman-teman ahli nuklir tersebut mengatakan bahwa bagi orang dewasa, air keran saat ini masih bisa diminum. Zat Iodine sifatnya terurai menjadi setengahnya dalam beberapa hari ke depan (8 hari). Artinya, ada kemungkinan jumlah radiasinya akan menurun. Untuk sementara saya bisa tenang mendengarkan penjelasan dari rekan-rekan ahli nuklir tersebut. Sore ini (24/3), informasi dari Pemda Tokyo mengatakan bahwa radiasi air keran di Tokyo telah turun dan sudah aman diminum oleh setiap orang, termasuk bayi. Warga mulai terlihat agak tenang. Namun, pengumuman kemarin sore telah terlanjur mengakibatkan kepanikan, dan yang jelas, kekurangan pasokan air mineral di Tokyo. Semoga keadaan bisa lebih baik lagi ke depan dan kita tetap waspada. Salam dari Tokyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H