[caption id="attachment_217584" align="aligncenter" width="614" caption="PM Mongolia, N. Altankhuyag, pagi ini membuka sidang ke-32 Gubernur Bank Sentral SEACEN di Ulaanbaatar, Mongolia, 22 November 2012 / photo junanto"][/caption]
Tahun 2012 adalah tahun yang kritis dalam perekonomian global. Krisis Eropa mulai dirasakan memberi dampak penularan (contagion) yang berimbas pada negara-negara berkembang, khususnya di Asia. Menghadapinya, kerjasama antar otoritas negara perlu semakin diperkuat. Hal tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri (PM) Mongolia, Althankuyag, saat membukaSidang Gubernur Bank Sentral negara-negara anggota South East Asian Central Bank (SEACEN) yang berlangsung di Ulaanbaatar, Mongolia, 22-24 November 2012.
Di tengah udara dingin yang mencapai minus 20 derajat celcius di kota Ulaanbaatar, para gubernur bank sentral negara anggota SEACEN melakukan dialog dan diskusi intensif untuk saling bertukar pikiran dalam menghadapi berbagai masalah ekonomi ke depan tersebut.
Sidang SEACEN tahun ini mengangkat tema “Financial Contagion and Volatile Capital Flows”. Tema tersebut dirasakan mendesak mengingat sampai dengan empat tahun sejak krisis global terjadi, berbagai langkah kebijakan sudah dikeluarkan oleh otoritas masing-masing negara untuk mengatasi krisis, namun hasilnya belum optimal.
Para pengambil kebijakan menyadari bahwa kebijakan moneter, fiskal, dan mikro sangat terbatas dalam menghadapi krisis. Semakin menyatunya perekonomian dunia telah mengakibatkan terjadinya pergerakan arus modal secara besar-besaran ke Asia, yang berdampak pada kawasan regional, dan bukan pada masing-masing negara lagi. Kebijakan pelonggaran atau quantitative easing yang dilakukan hingga tahap tiga di Amerika Serikat, juga menjadi pemicu tambahan terjadinya pergerakan arus modal tersebut. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi para pengambil kebijakan, apabila tidak dikelola dengan baik.
Dalam kesempatan sidang tersebut, dari Indonesia hadir Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A. Sarwono. Ia menyampaikan pentingnya negara-negara anggota SEACEN untuk terus meningkatkan kerjasama, khususnya dalam menghadapi penularan krisis keuangan.
Menurut Hartadi, arus modal dalam jumlah yang wajar tentu memiliki dampak positif bagi ekonomi. Namun apabila jumlahnya semakin besar dan cepat, akan membawa risiko bagi perekonomian. Di sisi makroekonomi, arus modal yang tidak dikelola dengan baik akan membuat ekonomi cenderung panas atau overheating. Sementara di sisi mikroekonomi, akan membawa ketidakstabilan di sektor keuangan (financial instability).
Menyikapi fenomena tersebut, Bank Indonesia telah memfokuskan kebijakannya di bidang pengelolaan arus modal serta menerapkan kebijakan macroprudential measures sebagai garis-garis pertahanan dalam menghadapi krisis. Selain itu, tentu saja Bank Indonesia terlibat aktif dalam menjalin kerjasama dengan otoritas negara lain, seperti SEACEN kali ini, guna saling bertukar pikiran mengenai kebijakan makroekonomi.
SEACEN adalah forum kerjasama bank sentral negara-negara di Asia Pasifik yangberdiri pada tahun 1982. Di masa awal berdirinya, SEACEN hanya beranggotakan delapan negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Filipina, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand. Dalam perjalanannya, keanggotaan SEACEN berkembang menjadi 18 negara, dengan masuknya Brunei Darussalam, Kamboja, China, Fiji, Korea Selatan, Laos, Mongolia, Papua New Guinea, Taiwan, dan Vietnam. (JH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H