Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perang Mata Uang di G-20

22 Oktober 2010   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_299101" align="alignleft" width="300" caption="Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara Kelompok G-20 di Gyeongju / photo by Junanto Herdiawan"][/caption] Pagi ini saya berada di Gyeongju untuk menghadiri Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara kelompok G-20. Pertemuan, yang dibuka hari ini (22/10), sangat menarik, karena dilakukan di tengah maraknya isu “Perang Mata Uang”. Tidak optimalnya hasil pertemuan IMF/World Bank di Washington beberapa waktu lalu menyebabkan banyak harapan tertumpu pada pertemuan G-20 kali ini. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara kelompok G-20 berharap agar dapat menyepakati upaya untuk "mencegah perang mata uang" berkelanjutan. G-20 akan mengarah pada upaya sistem mata uang dunia yang lebih ditentukan oleh kekuatan pasar. Namun, perbedaan pendapat dan perpecahan nampak muncul antara Amerika Serikat dan Eropa, dengan Cina di sisi lain. Korea Selatan nampaknya memainkan peranan penting sebagai penengah perbedaan tersebut. Ungkapan “Perang Mata Uang” memang terkesan lebih bernuansa politis ketimbang ekonomi. Ungkapan ini muncul dari upaya masing-masing negara menyelamatkan diri dari krisis ekonomi global dengan mempertahankan mata uangnya . Dalam upaya mencegah resesi, pemerintah di banyak negara melakukan intervensi di pasar domestik dan valas, untuk menambah uang beredar dan merangsang perekonomian dalam negeri. Permasalahannya adalah, kita hidup di dunia global. Artinya, uang yang diguyurkan ke pasar tadi, tidak berada dalam ruang vakum. Saat pemerintah Cina misalnya, mempertahankan mata uangnya pada nilai tukar rendah, maka produk Cina menjadi murah di luar negeri. Hal ini akan menciptakan ketidakseimbangan perdagangan dengan mitra dagangnya, seperti Amerika Serikat. Tentu, Amerika membalas langkah Cina dengan melemahkan dolarnya. Langkah Amerika tadi, kemudian menyebabkan mata uang negara lain menguat dan semakin tercipta ketidakseimbangan. Mata uang Yen misalnya, langsung menguat di kisaran 80 Yen per dolar AS. Demikian seterusnya terjadi di negara-negara lain, termasuk mata uang Rupiah yang terus menguat. [caption id="attachment_299108" align="alignright" width="300" caption="Media Meliput G-20 Gyeongju / photo by Junanto"][/caption] Negara-negara di dunia kemudian saling mempertahankan mata uangnya, dengan mencegah agar tidak terlalu menguat atau apresiatif. Akibatnya, hal ini akan mengganggu pemulihan ekonomi global secara keseluruhan karena yang terjadi adalah “perang mata uang” antar negara. Dan tentu, ujungnya dapat membawa dampak politis yang merugikan, seperti perang dagang dan lain sebagainya. Krisis global memang telah menyebabkan masing-masing negara melakukan kebijakan untuk menyelamatkan diri mereka dari krisis keuangan dan resesi. Namun, langkah itu cenderung saling merugikan secara global. Untuk itulah, tantangan besar diberikan pada pertemuan G-20 kali ini, yang akan berlangsung dari tanggal 22-23 Oktober 2010. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank sentral negara kelompok G-20 dalam sidangnya berupaya mencari kesepakatan dan jalan keluar dalam melakukan “global rebalancing” perekonomian dunia. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota G-20, kiranya perlu memanfaatkan momentum bergengsi ini sebaik-baiknya. Kehadiran Indonesia dalam forum ini diwakili oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution. Sementara Menteri Keuangan berhalangan hadir. Sebenarnya, dengan posisinya sebagai negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar, baik dari segi domestic demand maupun kekuatan ekspor, Indonesia dapat berbicara banyak di forum tersebut. Peranan Indonesia juga semakin dirasakan oleh negara-negara maju. Oleh karenanya, harapan besar negeri kita juga ditumpukan pada pertemuan G-20 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Gyeongju kali ini. Demikian laporan dari Gyeongju, Korea Selatan. Salam. Catatan : Kelompok G-20 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral didirikan pada tahun 1999 dengan tujuan untuk membangun kerjasama di antara negara-negara yang penting secara sistemik dan negara maju, khususnya di bidang ekonomi. Anggota kelompok G-20 adalah Argentina , Australia, Brazil, Canada, China, France, Germany, India, Indonesia, Italy, Japan, Mexico, Russia, Saudi Arabia,South Africa, Republic of Korea, Turkey, United Kingdom, United States of America, dan European Central Bank

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun