[caption id="attachment_144488" align="aligncenter" width="655" caption="Jamaah Haji Embarkasi Jepang 2011 / photo Junanto"][/caption]
Meski punya cita-cita untuk menunaikan ibadah haji, saya tak pernah menyangka akan pergi haji dari Jepang. Keinginan saya adalah berangkat haji dari tanah air. Hal itu mengingat banyaknya sanak saudara dan informasi mengenai haji di Indonesia. Di Jepang, saya tidak memahami prosedur dan administrasi untuk berangkat haji. Ditambah lagi, Islam bukanlah agama yang populer di Jepang, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi mengenai haji. Jadi, sejak saya tiba di Jepang, pikiran untuk berangkat haji, saya simpan saja dulu.
Namun di penghujung bulan Ramadhan kemarin, saya mendapat pencerahan dan informasi dari rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang tergabung di Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII) Jepang. Mereka mengatakan bahwa pergi haji dari Jepang justru sangat mudah prosesnya. Dalam sebulan, bahkan dua minggu sebelum keberangkatan, kita masih bisa mendaftar. Bila semuanya lancar, Insya Allah kita bisa langsung berangkat ke Mekah. Masya Allah, sebegitu cepat dan mudahnya kah? Berbekal informasi tersebut, sayapun mencoba mendaftarkan diri, dan Alhamdulillah, tahun ini saya bisa berangkat menunaikan ibadah haji dari Jepang.
Cara tiap negara menangani warganya yang ingin menunaikan ibadah haji memang berbeda-beda. Di Indonesia, haji adalah urusan nasional. Ada Departemen yang menangani khusus keberangkatan haji warga Indonesia. Hal ini tentu wajar, karena Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, dengan pemeluk agama Islam sekitar 200 juta orang.
Dari jumlah tersebut, pemerintah Arab Saudi memberikan kuota jamaah haji untuk Indonesia sekitar 220 ribu orang setiap tahunnya. Namun, meski kuotanya sudah besar, masyarakat yang ingin berhaji jauh lebih besar, bahkan mencapai jutaan. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya sistem antrian. Seorang jamaah haji kabarnya harus mengantri antara 5 hingga 10 tahun lagi untuk dapat berangkat ke tanah suci. Sebuah penantian yang panjang, belum lagi kalau mempertimbangkan soal usia yang belum tentu mencapai 10 tahun lagi.
Lain Indonesia, lain pula Jepang. Di negeri matahari terbit, Islam adalah agama minoritas. Bahkan banyak orang Jepang yang belum mengerti apa itu Islam. Sebagian besar orang Jepang masih menganut ajaran Shinto dari nenek moyang. Shinto sendiri bukanlah sebuah agama, melainkan lebih pada penekananaspek budaya. Orang Jepang hanya pernah belajar dari pelajaran sejarah tentang adanya agama Islam yang lahir di Mekah. Jadi, ajaran Islam, termasuk haji, tidak terlalu dipahami oleh kebanyakan orang Jepang.
Berbeda dengan Cina, ataupun bekas negara Uni Soviet, yang memiliki propinsi atau wilayah negara berpenduduk muslim, Jepang tidak memiliki wilayah seperti itu. Sekitar 20 tahun lalu, jumlah masjid di seluruh Jepang hanya dua buah saja.
Kini Islam telah berkembang pesat di Jepang. Jumlah masjid sudah lebih dari 200 buah dan orang Jepang yang beragama Islam juga mulai bertambah. Meski demikian, populasi muslim masih tidak signifikan, sehingga kuota jamaah haji yang diberikan oleh Pemerintah Saudi Arabia pada Jepang juga masih kecil. Dalam satu tahun, Jepang diberikan jatah jamaah haji sekitar 400 orang saja.
Dari jumlah tersebut, total kuota jarang sampai terpenuhi. Jumlah orang Jepang muslim yang ingin berhaji paling banyak 10 orang setiap tahunnya. Sulit bagi orang Jepang, terutama yang bekerja di perusahaan Jepang, untuk mendapatkan cuti haji. Kultur masyarakat Jepang yang pekerja keras menyebabkan cuti selama 20 hingga 30 hari sangat sulit dikabulkan. Akhirnya, banyak masyarakat muslim Jepang yang kesulitan menunaikan ibadah haji.
Untuk mengisi kekosongan kuota tersebut, masyarakat asing muslim yang tinggal di Jepang diperbolehkan untuk mendaftar. Umumnya, masyarakat muslim yang tinggal di Jepang berasal dari negara-negara Asia Selatan, seperti India, Pakistan, dan Bangladesh. Namun salah satu populasi muslim di Jepang yang terbesar adalah juga Indonesia. Masyarakat Indonesia di Jepang terdiri dari para pekerja Indonesia, mahasiswa, ekspatriat, istri atau suami dari orang Jepang, keturunan Jepang-Indonesia, ataupun pegawai-pegawai kedutaan dan lembaga negara. Mereka inilah, termasuk saya, yang dapat menggunakan kuota haji dari Jepang.
[caption id="attachment_144490" align="alignleft" width="300" caption="Papan Jamaah Haji Jepang dan Korea Selatan di Maktab 75, Mina / photo Junanto"][/caption] Lalu, bagaimana cara muslim di Jepang untuk berangkat dan mendaftar Haji? Apakah harus ke Departemen Agama atau Kementerian Haji setempat? Berbeda dengan Indonesia, Jepang adalah negara sekuler, yang artinya masalah agama adalah urusan personal. Negara sama sekali tidak menangani urusan agama penduduknya. Tidak ada hari libur keagamaan di Jepang. Dengan demikian, meski ada kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi, pemerintah Jepang tidak ikut campur tangan dalam pemenuhannya.
Jadi penanganan haji diserahkan pada individu ataupun pihak swasta. Pilihan pertama adalah, kita menjadi haji independen, alias berangkat haji dengan mengatur segalanya sendiri, mulai dari mengajukan visa ke Kedutaan Saudi, hingga mengurus akomodasi dan transportasi. Banyak juga rekan-rekan Jepang yang melakukan hal ini. Kami menyebutnya dengan istilah “Haji Koboi”. Bila sudah paham, prosesnya sangat mudah, hanya mengisi formulir di kedutaan Saudi, menyerahkan bukti vaksinasi meningitis dan flu, serta bukti transportasi dan akomodasi.
Namun cara lain yang lebih mudah adalah ikut serta dengan penyelenggara haji yang ada di Jepang. Bedanya, kalau di Indonesia kita punya banyak pilihan agen perjalanan yang menawarkan paket ibadah haji dan umrah dengan beragam fasilitasnya, mulai dari kelas biasa hingga super VIP. Tapi di Jepang, hanya ada dua agen perjalanan yang menyelenggarakan paket ibadah haji dan umrah. Agen tersebut adalah Air 1 Travel yang dimiliki oleh orang Mesir, dan Mian Travel yang dimiliki orang Pakistan. Dari kedua travel tersebut, paket yang ditawarkanpun hanya paket haji biasa, tidak ada ONH Plus seperti di Indonesia.
Lamanya perjalanan haji yang ditawarkan adalah sekitar 20 hari. Singkatnya waktu tersebut, bukan berarti fasilitas ibadah hajinya bersifat Plus (Seperti paket 20 hari ONH di Indonesia), namun guna memberi kemudahan bagi mereka yang bekerja di Jepang atau perusahaan Jepang untuk mendapatkan cuti menunaikan ibadah haji. Bahkan kita bisa memilih paket 14 hari apabila perusahaan hanya mengijinkan cuti sepanjang hari itu.
Adapun biaya yang ditawarkan untuk berhaji dari Jepang relatif murah, yaitu berkisar antara 350,000-400,000 Yen atau sekitar 35 hingga 40 juta Rupiah. Sementara untuk anak-anak ditawarkan harga 185,000 Yen atau sekitar 19 juta Rupiah. Harga tersebut sudah termasuk tiket, penginapan, dan transportasi. Hotel di Mekah dan Madinah juga berada tak jauh dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, atau sekitar 200 meter berjalan kaki.
Tentu kita yakin bahwa ibadah haji adalah sebuah panggilan dari Allah Yang Maha Kuasa. Artinya, walaupun proses pengurusannya mudah di Jepang, semua tetap diyakini dapat terlaksana atas ijin-Nya. Ada juga beberapa jamaah di Jepang yang sudah mau berangkat, namun di ujung hari batal pergi karena sesuatu hal.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa berhaji dari Jepang ternyata sangat mudah prosesnya. Pengalaman saya sendiri menunjukkan bahwa dari niat kemudian mendaftar hingga berangkat haji, butuh waktu sekitar 4 minggu. Tak sampai dua minggu dari pendaftaran, visa Saudi Arabia sudah bisa dikeluarkan. Dan seminggu sebelum keberangkatan, semua dokumen dan keperluan sudah beres.
Bahkan ada cerita seorang rekan yang mendaftar haji hanya dua hari sebelum keberangkatan. Alhamdulillah, visa dan tiketnya juga bisa dikeluarkan sehari sebelum keberangkatan. Ia tentu tak menyangka kepergiannya dapat dikabulkan dalam waktu yang singkat.
[caption id="attachment_144492" align="alignleft" width="300" caption="Jamaah Haji dari Jepang Sholat di Bandara Narita, Jepang sebelum keberangkatan / photo Junanto"][/caption] Hal menarik lainnya soal berangkat haji dari Jepang adalah keanekaragaman suku bangsa dalam satu kloter keberangkatan. Kalau dari Indonesia, tentu kita akan bergabung dengan satu kloter jamaah haji Indonesia. Namun di Jepang, saya bergabung dengan 180 orang jamaah haji lainnya yang berasal dari berbagai negara. Selain Indonesia, ada rekan-rekan dari Afghanistan, Mesir, Maroko, India, Pakistan, Bangladesh, Nigeria, dan tentu dari Jepang sendiri.
Sepanjang perjalanan haji, keanekaragaman bangsa tersebut semakin memperkaya diri dan keimanan kita. Setidaknya saya lebih merasakan betapa universal dan beragamnya Islam. Kita tak bisa menganggap Islam kita yang paling benar, karena mereka juga membawa wajah Islam. Meski beragam, satu hal tetap sama dalam perjalanan itu, bahwa kita datang dengan damai dan semangat persaudaraan.
Di tanah suci, tak ada lagi perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, pangkat, intelektual, sekte, dan madzhab. Di sana, kita semua lebur jadi satu, yaitu Ummah. Dan hanya satu kata yang bisa diungkapkan, yaitu “Cinta pada Yang Maha”. Kita semua bergerak menuju pada Tuhan yang Satu, siapapun dan apapun kita di dunia ini.
Dari bandara Narita, Jepang, sore hari tanggal 29 Oktober 2011, sebelum kami naik pesawat menuju Jeddah, beragam suku bangsa dalam kelompok kami melafalkan satu kata yang sama, “Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika La sharika laka labbaik” yang artinya, “Aku Datang Memenuhi Panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu”.
Salam damai dari Tokyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H