Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mitos Besarnya Cina

19 Agustus 2010   19:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_232369" align="alignleft" width="300" caption="Pekerja di Cina / sumber : xinhua.net"][/caption] Cina mengambil alih posisi Jepang menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia. Kekuatan ekonomi nomor satu masih dipegang oleh Amerika Serikat. Tapi di Cina, prestasi ini ditanggapi biasa-biasa saja. Tak ada perayaan khusus ataupun pemberitaan berlebih. Seorang kawan, analis ekonomi berkebangsaan Cina, saat saya ucapkan selamat atas keberhasilan ekonominya, hanya menggelengkan kepala saja. Ia mengatakan bahwa banyak orang kerap terbuai dengan statistik. Ia sendiri melihat Cina belum dapat dikatakan solid sepenuhnya sebagai kekuatan ekonomi. Secara statistik, Cina memang impresif. Setelah tiga puluh tahun menganut sistem ekonomi pasar, perekonomian Cina mampu tumbuh secara spektakuler. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sekitar 9% setiap tahunnya, perekonomian Cina terus tumbuh besar. Masih secara statistik, pada tahun 2005, Cina menyalip Perancis. Tahun 2006, Cina menyalip Inggris dan masuk ke dalam liga delapan besar dunia. Tahun 2007, Cina menyalip Jerman dan menjadi kekuatan empat besar dunia. Tahun 2009, Cina mulai menyundul Jepang. Dan di triwulan II-2010, Cina mulai menyalip Jepang. Apabila trend ini berlangsung terus, maka di tahun 2010, Cina menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia. Pertumbuhan GDP nominal Cina saat ini mencapai sebesar 1,335 triliun dollar AS, mengungguli Jepang sebesar 1,288 triliun dollar AS. [caption id="attachment_232370" align="alignright" width="300" caption="Momen Cina Mengambil Alih Dunia / sumber : World Bank"][/caption] Dari sisi cadangan devisa, Cina juga impresif dengan besarnya cadangan yang mencapai 2,45 triliun dolar AS (bandingkan dengan Indonesia yang hanya 78 miliar dolar AS). Oleh karena itu, banyak pengamat mengatakan, hanya masalah waktu, Cina akan mengambil alih dunia. Tak dapat dipungkiri, Cina memang ada di mana-mana. Hampir semua produk di rumah kita adalah Made in China. Mulai dari jam tangan, mainan, sepatu, pakaian, alat elektronik, semua “Made in China”. Cina telah menjadi negara pengekspor besar di dunia. Ekspor memang menjadi andalan dan pilar terkuat bagi pertumbuhan ekonomi Cina. Tapi mengapa kawan saya tadi masih menanggapi dengan dingin. Karena angka statistik kerap tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Kalau dilihat lebih dalam, Cina sebenarnya masih termasuk dalam kategori negara berpenghasilan rendah menengah. Pendapatan per kapita Cina sekitar 3.700 dolar AS, dan berada pada ranking 103 dunia (Indonesia di ranking 121, dengan pendapatan per kapita sebesar 2.400 dolar AS). Sementara Jepang, memiliki pendapatan per kapita sebesar 39.727 dollar AS, dan Amerika Serikat berpendapatan sekitar 43.436 dollar AS. Kemiskinan juga menjadi masalah besar di Cina. Dari jumlah penduduknya sebesar 1,3 miliar, sekitar 700 juta orang, atau lebih dari 58 persen, masih tinggal di pedesaan dan berpenghasilan rendah. Data PBB mengatakan bahwa ada sekitar 150 juta rakyat Cina yang hidup di bawah garis kemiskinan (one dollar a person a day). Cina juga menghadapi persoalan serius tentang ketidakseimbangan pembangunan antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Ketimpangan ini juga terlihat antar wilayah di Cina. Perekonomian di wilayah pesisir lebih maju. Namun perekonomian di daerah pedalaman, masih banyak yang tertinggal. [caption id="attachment_232371" align="alignleft" width="209" caption="Perbandingan GDP Cina dan Jepang / sumber China Daily"][/caption] Distribusi pendapatan di Cina juga tidak merata. Meski menganut ekonomi pasar, pemerintahan Cina yang masih sentralistik sangat dominan dalam menentukan langkah-langkah pembangunan. Semakin dekat dengan kekuasaan, penghasilan seseorang akan semakin tinggi. Demikian pula sebaliknya. Dari sisi pembangunan ekonomi, Cina juga masih di belakang Jepang. Kontribusi sektoral pertumbuhan Cina masih disumbang oleh sektor-sektor primer, seperti pertanian. Sementara sisi industri dan jasa masih lebih rendah dari Jepang, yang mengandalkan industri bertekhnologi tinggi dan bernilai tambah. Sementara Cina masih mengandalkan upah buruh murah. Dengan kondisi tersebut, Cina masih jauh dari proses modernisasi ekonominya. Untuk mengejar Amerika Serikat menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia, Cina masih menghadapi jalan yang panjang. Saat ini angka nominal GDP Cina, dianggap masih terlalu kecil dibandingkan dengan nominal GDP Amerika Serikat yang mencapai 14 triliun dollar AS. Upaya mengejar Amerika, bukan perkara mudah. Apalagi, saat ini Cina menghadapi tekanan kenaikan upah buruh di berbagai daerah. Pemerintah Cina mulai menaikkan upah buruhnya. Era buruh murah diperkirakan akan segera berakhir. Sementara itu, di sisi pembangunan sosial, posisi Human Development Index (HDI) Cina pada tahun 2009 masih rendah, di posisi 92 (tidak jauh dengan Indonesia di posisi 111). Pendidikan, standar kesehatan, kesejahteraan, dan angka kemiskinan menjadi masalah mendasar yang harus diatasi oleh Cina. Tak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi Cina memang sangat impresif. Cina bahkan telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global saat ini. Pertumbuhan dan daya serap impornya menolong banyak negara lain di Asia, termasuk Indonesia. Kemajuan ekonomi Cina memang bukan mitos, tapi juga adalah sebuah fakta. Namun, di sisi lain, besarnya ekonomi Cina juga sebuah mitos. Kita kiranya tidak overestimate dengan kebesaran tersebut. Struktur pendukung keberlanjutan ekonomi Cina masih menghadapi berbagai permasalahan serius. Pemerintah Cina masih berupaya keras untuk menghilangkan berbagai hambatan tersebut. Dan itu membutuhkan sebuah perjalanan panjang. Masa depan Cina masih dalam pertaruhan. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun