Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menjadi Suster Pahlawan di Jepang : Catatan dari Hakone

16 Januari 2010   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_54818" align="alignleft" width="300" caption="Suster Indonesia di Jepang / foto by JH"][/caption] Dibandingkan dengan Filipina, kemampuan bangsa kita dalam menghargai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih jauh dari optimal. Padahal para TKI adalah pahlawan devisa dalam arti sebenarnya. Kalau kita melihat struktur Neraca Pembayaran Indonesia, akan terlihat bahwa penghasilan TKI adalah salah satu elemen pemasukan yang berpotensi besar mendukung ketahanan ekonomi kita. Kalau diperbandingkan, Tenaga Kerja Filipina mampu menyumbang devisa sebesar hampir 20 milyar dollar AS dalam setahun. Sementara di Indonesia, sumbangan TKI belum sampai 7 milyar dollar AS. Oleh karena itu, upaya menghargai peranan para TKI di luar negeri dan meningkatkan kompetensi mereka adalah juga prasyarat kestabilan makroekonomi Indonesia. Di Jepang, langkah KBRI Tokyo patut dikagumi. Pekan lalu saya diajak oleh KBRI untuk mendatangi pusat pelatihan para perawat dari Indonesia yang akan dipekerjakan di seluruh Jepang. Pusat pelatihan itu terletak di kota Hakone, perfektur Kanagawa, atau sekitar 2 jam perjalanan dari kota Tokyo. Program pelatihan perawat ini adalah bagian dari kesepakatan EPA (Economic Partnership Agreements) antara pemerintah Jepang dan Indonesia. Ada sekitar 316 perawat dari seluruh Indonesia yang ikut serta dalam pelatihan. Selama 3 bulan di sana, mereka dididik bahasa Jepang, sebelum kemudian disebar untuk bekerja di berbagai Rumah Sakit di Jepang. Menjadi perawat di luar negeri, apalagi Jepang, tidak mudah. Mereka dituntut memiliki pengalaman yang sarat, plus ketrampilan bahasa tekhnis keperawatan. Oleh karena itu, para perawat dapat dikategorikan sebagai pekerja yang berketrampilan (skilled workers). Perawat ini berbeda dengan pada umumnya TKI Indonesia yang tergolong unskilled workers dan bekerja di sektor rumah tangga. Skilled workers memiliki ketrampilan dan tentu, penghasilan yang lebih tinggi. Hal ini pada ujungnya tentu akan menyumbang devisa yang lebih besar bagi negara. [caption id="attachment_54820" align="alignleft" width="300" caption="Pejabat KBRI Tokyo turun tangan mengurus dokumen TKI / by JH"][/caption] Kunjungan KBRI ke Hakone selain untuk membantu penyelesaian dokumen-dokumen, juga memberikan mereka informasi tentang perlindungan hukum dan peran KBRI sebagai pengayom para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sungguh mengagumkan melihat para pejabat KBRI seperti Bp Abas Ridwan, atase bidang ekonomi, dan Bp Amir Radjab, atase bidang konsuler, yang begitu akrab dengan para TKI dan sepenuh hati membantu keperluan mereka. Bahkan tanpa segan-segan, mereka turun tangan berdiskusi, langsung menulis, dan menandatangani paspor para perawat. Upaya reaching out, keluar, dan membuka diri seperti yang dilakukan KBRI Tokyo itu tentu membawa wajah teduh bagi para perawat. Berbagai upaya ini memang telah dilakukan oleh KBRI Tokyo sejak lama. Bahwa KBRI bukan sebuah tempat angker bagi masyarakat Indonesia, namun juga rumah bersama bagi masyarakat Indonesia yang ada di sana. Namun langkah KBRI saja tidaklah cukup. Peranan KBRI hanya sebatas dalam menjalankan fungsi diplomatiknya. Di hulu, membangun kompetensi para tenaga kerja juga harus dilakukan. Berbagai langkah, seperti menyaring tenaga kerja yang kompeten dan handal di tanah air, menciptakan tenaga terdidik, hingga masalah perlindungan hukum, membutuhkan sinergi lintas departemen dan juga elemen bangsa lainnya. Dari sisi perbankan, upaya mempermudah aliran pembayaran uang ke tanah air (remitansi) juga sangat dibutuhkan para TKI. Hal ini agar mereka tidak menjadi korban para calo ataupun kejahatan lainnya saat tiba di tanah air. Berbagai langkah tersebut, apabila diseriusi, bisa jadi sebuah pilar kuat bagi kestabilan makroekonomi Indonesia. Hal itu telah terbukti di Filipina. Saat krisis global 2008 lalu, tingkat penilaian premi risikonya tetap rendah, sementara Indonesia dinilai rawan (angka CDS Indonesia mencapai 1000 – atau risiko tinggi bagi investasi). Para investor menilai risiko Filipina lebih rendah dari Indonesia, karena mereka memiliki keterjaminan aliran dana dari tenaga kerja sebesar 15-20 milyar dollar AS selama setahun. Tentu, jalan masih panjang untuk membangkitkan peran para pahlawan devisa Indonesia. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun