Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menjadi Kapitalis Komunis

23 September 2010   00:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_266199" align="alignleft" width="300" caption="Gerai McDonalds di Beijing / foto JH"][/caption] Seeing is believing. Pekan lalu saya berada di Beijing. Tujuan utama adalah bertemu dengan beberapa rekan di industri keuangan, baik dari Indonesia maupun Cina. Saat bertemu, pembicaraan kamipun kebanyakan berkisar mengenai tumbuhnya Cina, dan peluang usaha di baliknya. Namun ada satu hal menarik yang menjadi perhatian saya selama di sana. Lebih dari apa yang tampak, melihat Beijing dari dekat adalah juga menyaksikan metamorfosis dari kapitalisme sebagai salah satu sistem perekonomian dunia yang berkuasa saat ini. Metamorfosis kapitalisme tampak nyata di jalan-jalan kota Beijing. Sejak krisis ekonomi global melanda dunia di tahun 2008 lalu, pertanyaan yang kerap mengemuka adalah, apakah kapitalisme telah mati? Dan banyak pihak mengatakan bahwa krisis global menjadi penanda berakhirnya kapitalisme. Tapi di Beijing, saya meragukannya. Berkelilinglah ke seputar kota. Kita akan dengan mudah menemukan deretan gerai McDonalds, Starbucks, atau KFC. Butik-butik mewah tanda kapitalisme, seperti Gucci atau Salvatore Ferragamo, bertebaran di Beijing. Jalanan kota Beijing juga padat oleh mobil-mobil merek negara barat (bukan lagi sepeda). Keluarlah di waktu malam. Gemerlap lampu di mall-mall, pusat perbelanjaan di area Wangfujing, hingga hiburan malam di sudut-sudut kota, menambah hingar bingar kehidupan malam Beijing. Masyarakat Beijing juga semakin makmur dan belanja konsumsi terus meningkat. Gambaran seperti itu bukan hanya dominasi Beijing. Di Shanghai, Guangzhou, atau Shenzhen, kapitalisme juga telah mewujud di sudut-sudut kota. [caption id="attachment_266200" align="alignright" width="225" caption="Gerai Starbucks di distrik Xuanwu Beijing / foto JH"][/caption] Pemandangan itu sungguh jauh dari bayangan akan sebuah negara komunis dan sosialis. Bukan bayangan negeri tirai bambu yang angker dan dingin. Dan bukan pula bayangan yang serba “kiri” dan anti kapitalisme. Beberapa tentara merah yang berbaris kaku memang kerap tampak di lapangan Tiananmen. Namun semua itu tergulung dengan gemerlap ikon ikon kapitalis. Kapitalisme memang telah mengubah Cina atau Cina telah mengubah kapitalisme. Kita tak tahu. Sejak Deng Xiaoping mengeluarkan kebijakan kaifang (membuka diri) di tahun 1978, Cina semakin terbuka dan menyatu dengan ekonomi global. Bagaimana kapitalisme dapat eksis di Cina? Bagi mereka yang mempelajari ekonomi dalam konteks sejarah, tentu bisa memahami bahwa sifat dasar dari kapital adalah mencari nilai lebih. Modal harus terus bermutasi sepanjang kurun. Kapitalisme bukanlah sebuah konsep yang statis, namun dinamis mencari bentuk sesuai dengan zamannya. Memandang kapitalisme dalam konsep Thatcher-Reagan (yang mengawinkan kapitalisme dengan pasar bebas dan demokrasi), berarti hanya memahami sepertiga dari perjalanan panjang kapitalisme sejak abad merkantilisme. David Harvey, seorang ekonom geografer, mengatakan bahwa kapital adalah sebuah proses di mana uang terus menerus bergerak dan mengalir mencari keuntungan (money search for more money). Dalam pergerakannya, modal harus mengatasi berbagai gangguan yang menghambat. Gangguan terhadap arus gerak modal akan mengakibatkan kekacauan dan mengancam nilai dari modal. Tragedi 9/11, kerusuhan etnik, bahkan krisis global yang terjadi saat ini, adalah contoh yang mengganggu kenyamanan perputaran arus modal. Kapitalis akan merasa gerah apabila proses perputaran uang itu terganggu atau berhenti. Berbagai lembaga internasional, seperti IMF, BIS, WTO, dan World Bank, termasuk bank sentral di berbagai negara, didirikan untuk mengatur gerak dari kapital. Mereka kerap berceramah tentang perlunya iklim usaha yang kondusif, pemberantasan korupsi, dan penanganan lingkungan, semata agar modal dapat bergerak terus dengan nyaman. Berbagai gangguan yang muncul terhadap gerak arus modal berarti juga gangguan terhadap stabilitas. Dengan memahami sifat dasar modal (kapital) itu, kita bisa memahami mengapa modal bisa nyaman di negeri komunis. Pertanyaan sekarang bukan lagi soal anda komunis atau bukan, sosialis atau bukan, kapitalis atau bukan. Perbedaan sosialisme dan kapitalisme juga bukan terletak pada isu central planning atau market economy. Sepanjang anda bisa memberikan ruang dan waktu pada modal untuk tumbuh, maka arus modal akan datang dan tumbuh, terlepas ideologi anda. [caption id="attachment_266201" align="alignleft" width="225" caption="Stadion Olimpiade Beijing 2008 / foto JH"][/caption] Cina menjadi fenomena karena mampu menangkap sifat dasar dari modal tersebut. Selama gerak modal bisa dibuat nyaman, dan didekatkan pada pasangannya, yaitu labor (tenaga kerja), dan sumber daya alam, maka modal akan datang dan berkembang. Reformasi ekonomi di Cina tetap dilakukan dengan memberikan fokus pada ruang-ruang kapitalisme, asalkan tidak melanggar empat prinsip utama, yaitu: kepemimpinan Partai Komunis Cina (CCP), kekuasaan kaum proletar, kebenaran Marxisme dan Leninisme, serta tujuan sosialisme. Keempat hal ini tidak boleh ditawar-tawar dalam proses pembangunan di Cina. Pada intinya, reformasi ekonomi di Cina ditujukan pada upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, tanpa melemahkan kontrol partai dan sistem politik. Banyak orang menyebutnya dengan istilah “Capitalism with Chinese Character”. Di dekat Lapangan Tiananmen, saya melihat antrian orang memasuki Musoleum Mao Zedong untuk melihat jasad sang pemimpin Cina yang dibalsem. Dari musoleumnya, mungkin Mao melihat bahwa impiannya membawa Cina kembali menguasai dunia telah jadi kenyataan. Dengan jumlah investasi asing senilai 1,6 triliun dolar AS, cadangan devisa melebihi 2 triliun dolar AS, dan total perdagangan melebihi 65% dari GDP, Cina memang menjadi kekuatan ekonomi global. Kapitalisme mampu mengendap masuk dalam berbagai bentuk. Ke depan, kapitalisme masih akan terus mengubah bentuknya untuk tetap eksis. Entah seperti apa nanti bentuknya. Tapi satu hal yang jelas, kapitalisme tidak mati. Ia hanya berubah bentuk. Cinapun membuktikan bahwa kapitalisme bisa hidup dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetap dapat dilakukan di negara yang sentralistik, komunis, sosialis, tanpa demokrasi, dan kebebasan pers yang terbatas. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun