Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengeluarkan Arwah dari Boneka Jepang

2 Oktober 2011   23:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 2190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_134684" align="aligncenter" width="675" caption="Salah satu boneka Jepang di Kuil Meiji / photo Junanto"][/caption]

Siang itu (2/10), di kuil Meiji, Harajuku, Tokyo, saya melihat sepasang kakek nenek menenteng kardus berisi aneka boneka Jepang yang cantik. Saat saya tanya boneka itu milik siapa, mereka mengatakan bahwa itu milik anak gadisnya. Boneka itu dahulu adalah hadiah bagi anak gadis mereka, yang diberikan saat hinamatsuri (festival boneka), sekitar 25 tahun lalu.

Kini, anak gadis mereka telah dewasa dan pindah ke luar kota. Boneka, yang telah menemani keluarga mereka selama lebih dari 25 tahun, pun bentuknya mulai usang dan warna kimononya pudar. Tapi, sebagaimana kebanyakan orang Jepang, mereka tak bisa membuang boneka seenaknya.

Orang Jepang percaya bahwa di setiap boneka selalu ada arwah atau ruh yang bersemayam. Arwah tersebut bersemayam dan dianggap menemani kehidupan keluarga mereka. Oleh karenanya, orang Jepang tidak pernah merusak ataupun membuang boneka ke tempat sampah. Mereka percaya akan adanya kutukan atau nasib sial bila membuang boneka atau menelantarkannya.

Lalu, kalau tidak bisa membuang boneka sembarangan, bagaimana caranya menyingkirkan boneka yang sudah tua, rusak, atau bahkan yang sudah terlampau banyak menumpuk di apartemen?

[caption id="attachment_134685" align="alignleft" width="300" caption="Mengantar boneka ke peristirahatan terakhir / photo Junanto"][/caption] Kuil Meiji dan beberapa kuil Shinto di kota Tokyo memiliki jawabnya. Setiap bulan Oktober, Kuil Meiji menyelenggarakan upacara yang dinamakan “Ningyo Kanshashai” yang arti literalnya adalah “Festival Menghargai Boneka”.

Dan kemarin, saya menyelinap di kuil Meiji untuk ikut serta pada upacara “Ningyo Kanshashai” tersebut. Di upacara itu, para pendeta Shinto melakukan penyucian boneka-boneka yang ingin dibuang oleh pemiliknya. Mereka membacakan mantra dan doa-doa agar arwah yang bersemayam di boneka tersebut mau keluar dengan tenang.

Menyaksikan berlangsungnya upacara Ningyo di Kuil Meiji tersebut, saya jadi teringat dengan upacara “exorcism” ataupun pengobatan kesurupan di film-film. Lebih ngeri lagi kalau saya ingat film Child’s Play, yang dibintangi boneka jahat Chuckie. Di film itu, ruh jahat bersemayam di tubuh Chuckie.

Namun, yang membedakan upacara di Kuil Meiji dengan berbagai pikiran saya tersebut adalah suasana upacara yang begitu khusyuk dan khidmat. Bahkan menurut saya, suasananya lebih mirip upacara pemakaman. Saat doa-doa dibacakan oleh pendeta Shinto, para pengunjung tidak boleh bicara ataupun mengambil gambar. Para pemilik boneka berdiri menyaksikan boneka mereka didoakan. Sebagian besar saya lihat tertunduk sedih, seolah galau melepas kepergian boneka-bonekanya.

Inti dari upacara tersebut adalah ketika para pendeta menyampaikan terima kasih pada ruh-ruh yang bersemayam di berbagai jasad boneka, atas jasa-jasanya menemani manusia selama ini. Kini, ruh boneka-boneka itu telah dianggap purnatugas dan diminta untuk keluar dari jasadnya.

Karena itulah, tema yang dipasang di kuil Meiji hari itu adalah “Oningyo Arigatou” atau “Terima Kasih Boneka”. Kalimat “Ningyo” dalam bahasa Jepang berarti boneka. Kanji “Nin” () yang digunakan dalam boneka, sama dengan kanji yang digunakan pada manusia. Ini artinya, orang Jepang menyadari bahwa di dalam boneka selalu ada unsur manusia, termasuk ruhnya.

[caption id="attachment_134687" align="alignright" width="300" caption="Deretan Boneka yang akan dipurifikasi / photo Junanto"][/caption] Apabila ditelusuri dari sejarahnya, upacara Ningyo Kanshashai ini tidak ada di akar ajaran Shinto dan Buddha. Namun ajaran kuno Shinto mengenal upacara purifikasi ruh di berbagai wadak yang kasat mata. Berdasarkan akar ajaran tersebut, beberapa kuil Shinto mengadakan upacara Ningyo Kanshashai untuk melepas atau mengusir arwah yang bersemayam di dalam boneka-boneka.

Sejak pagi hari, warga Jepang terlihat berbondong-bondong membawa berbagai boneka milik mereka. Bukan hanya boneka Jepang yang indah dan ditampilkan saat festival boneka Jepang, namun semua jenis boneka diperbolehkan untuk disucikan. Saya melihat ada boneka Teletubbies, Anpan Man, Dora Emon, dan berbagai jenis boneka binatang.

Untuk dapat dipurifikasi, setiap orang harus membayar sebesar 3000 Yen untuk satu paket boneka miliknya. Setelah membayar, mereka akan diberikan kertas berbentuk orang, dan di kertas itu mereka menulis pesan akhir bagi bonekanya.

Berbagai kenangan indah bersama boneka-boneka tersebut, seperti bagaimana boneka itu menemani saat-saat mereka susah, saat sendiri, dan banyak lagi, dituliskan di kertas tadi. Pesan itu kemudian diletakkan di altar pemujaan, dengan tujuannya agar arwah para boneka itu tenang dan damai di alamnya yang baru. Selain itu, ritual tersebut juga untuk mengangkat rasa galau dan bersalah dari pemilik boneka yang seolah “membuang” boneka-bonekanya.

Melihat banyaknya boneka yang dijejer di kuil Meiji tadi, pihak panitia memperkirakan ada sekitar 40.000 boneka yang diikutkan di upacara. Setelah dilakukan upacara, aneka boneka tersebut dimusnahkan secara terhormat, baik melalui proses daur ulang, maupun dikremasi.

Setelah menyaksikan rangkaian upacara di kuil Meiji tersebut, saya terkesima dengan bagaimana perasaan orang-orang Jepang terhadap boneka-bonekanya. Boneka, bagi mereka bukan sekedar mainan atau pajangan. Mereka memperlakukan boneka dengan baik, dan memiliki ikatan yang demikian kuat dengan boneka tersebut. Ini adalah ajaran Shinto yang mengatur relasi dan keseimbangan manusia dengan alam dan berbagai hal lainnya.

Kalau dengan boneka saja mereka begitu menghargai dan menjaga perasaan, tentu dengan sesama manusia akan lebih baik lagi hubungannya.

Di balik berbagai kemajuan tekhnologi dan industrinya, saya melihat bahwa Jepang adalah juga sebuah negara yang penuh dengan mitos dan mistik. Upacara Ningyo Kanshasai ini adalah salah satu bukti akan masih hidupnya budaya Jepang yang unik dan misterius.

Berikut beberapa jepretan saya dari upacara di kuil Meiji. Salam dari Tokyo

[caption id="attachment_134688" align="aligncenter" width="614" caption="Terima Kasih Boneka / photo Junanto"][/caption] [caption id="attachment_134689" align="aligncenter" width="614" caption="Suasana upacara yang khidmat / photo Junanto"][/caption] [caption id="attachment_134690" align="aligncenter" width="614" caption="Di Altar Pemujaan / photo Junanto"][/caption] [caption id="attachment_134691" align="aligncenter" width="358" caption="Menyerahkan Boneka pada Pendeta / photo Junanto"][/caption] [caption id="attachment_134692" align="aligncenter" width="614" caption="Boneka-boneka Jepang yang purnatugas / photo Junanto"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun