[caption id="attachment_342884" align="aligncenter" width="576" caption="Kyai Jumairi dan penderita stress di Pondoknya / photo junanto"][/caption]
Pondok itu terletak jauh di pinggir kota Ngawi, Jawa Timur, tepatnya di Kecamatan Ngrambe. Saya dan kawan-kawan harus melewati jalan setapak yang panjang dan mendaki pegunungan. Kyai Jumairi menerima kedatangan kami di kediaman yang sekaligus menjadi pondok pesantrennya yang bernama Pondok Asyifa. Namun pondok itu belakangan terkenal dengan sebutan Pondok Stress.
Kebanyakan penghuni pondok itu memang orang stress ataupun orang yang mengalami gangguan jiwa. Penampilan mereka semrawut, matanya nanar dan liar, bahkan banyak yang sedang tertawa atau bicara sendiri. “Mereka ini dikirim dari berbagai kota di Jatim, bahkan ada yang dari luar Jatim”, kata Pak Kyai sambil menjelaskan kondisi di pondoknya. Sejak ia dirikan di tahun 2005, pasien di Pondok Asyifa terus meningkat, dari awalnya dibawah 90 orang, kini mencapai 151 orang.
Sebelumnya, Kyai Jumairi adalah seorang pengusaha kecil, mulai dari truk hingga pertanian. Namun semua ia tinggalkan karena ingin membantu sesama, khususnya yang mengalami gangguan jiwa atau stress dari kalangan tidak mampu. Umumnya para pasien di pondok stress berasal dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan ada beberapa yang dibuang oleh keluarganya. Dengan latar belakang tersebut, pengobatan di sana tidak dipungut biaya. Beberapa pasien ada yang membayar sekedar untuk perawatan serelanya.
“Semakin banyak orang stress sekarang ini pak”, kata pak Kyai. Macam-macam pula penyebab stress mereka. Ada yang karena putus cinta, ada yang ditinggal pasangan, karier yang gagal, terobsesi judi togel, bahkan kata pak Kyai, banyak juga caleg gagal yang menjadi pasiennya. Tapi umumnya para caleg gagal tersebut melakukan pengobatan jalan saja, karena malu kalau harus menginap di pondok.
Pengobatan Kyai Jumairi ini dilakukan secara herbal dan tradisional. Para pasien stress atau yang mengalami gangguan jiwa diobati dengan pijatan, terapi doa, ataupun dialog. Kyai Jumairi sama sekali tidak menggunakan obat-obatan. Sesekali saja Dinas Kesehatan Ngawi datang melakukan pengecekan kesehatan di sini, ataupun memberi vitamin apabila ada yang sakit.
Kami kemudian diajak menemui pak Zul, salah satu pasien yang kini hampir sembuh. Ia stress karena usahanya bangkrut. Di sisi lain, ia juga stress melihat saudara-saudaranya berhasil sementara ia gagal. Tak sanggup menahan kegagalan, ia seperti orang gila dan meracau. Ada juga Toni, mantan penghuni RS Jiwa, yang dimasukkan karena pernah membunuh orang. Zul dan Toni kini sudah sembuh dan menjadi asisten pak Kyai. Zul membantu mengurus itik milik pondok, dan Toni membantu penanganan pasien lain yang menderita stress.
[caption id="attachment_342885" align="aligncenter" width="576" caption="Zul (kiri) yang sudah hampir sembuh, kini membantu mengurus itik"]
Kami kemudian diajak berkeliling pondok yang dibagi dalam beberapa tempat. Di belakang, tempat yang dikhususkan bagi mereka yang masih sering kumat dan sering mengamuk. Di lokasi itu, ada semacam jeruji besi sehingga mereka tak bisa berkeliaran. Kalau tidak dimasukkan jeruji, mereka sering kabur.Di depan, ada beberapa kamar yang diperuntukkan bagi mereka yang sudah limapuluh persen sembuh. Lalu di depan, sebagian sudah dilepas dan berinteraksi dengan penduduk sekitar.
Beberapa pasien yang sudah berkeliaran di luar umumnya sudah sembuh sembilan puluh persen. Bahkan ada juga yang sudah sembuh total, namun tidak mau kembali ke kampungnya karena malu. Akhirnya mereka jadi asisten atau bekerja membantu pak Kyai.
Pengelolaan pondok juga dilakukan secara swakelola. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kyai Jumairi mengelola ternak itik dan sawah. Hasil telur dan sawahnya ia jual untuk kemudian dipakai membiayai operasional pondok. Mbak Rum, humas Pondok, menjelaskan bahwa mereka harus pandai-pandai dalam membiayai pondok karena sifatnya yang swakelola. Dalam sebulan saja, mereka harus menghabiskan sekitar Rp 18 juta untuk operasional, termasuk gaji beberapa asisten.
Kyai Jumairi bersyukur banyak donatur yang tergerak hatinya membantu pondok ini. Di samping itu, adanya subsidi dari beberapa pasien yang mampu, sedikit banyak membantu. Dari perbankan, Kyai Jumairi juga mendapatkan pinjaman untuk mengembangkan pondoknya. Ia membangun beberapa kamar di belakang untuk menampung jumlah pasien yang terus bertambah.
Secara umum, kondisi di pondok Asyifa masih sangat memprihatinkan. Banyak pasien yang masih tidur beralaskan tanah atau tikar, di kamar yang gelap, dan harus berbagi ramai-ramai. Kondisi kamarnya juga belum kondusif karena beberapa hanya beralaskan semen atau tanah. Tentunya, bantuan dari para donatur masih sangat diharapkan.
Saya dan rekan-rekan dari BI Kediri kemarin datang untuk menyalurkan sumbangan seratus ekor itik. Kyai Jumairi berharap agar itik tersebut dapat memberi nilai ekonomis yang pada gilirannya membantu pembiayaan pondok. Dengan adanya itik itu pula, ia dapat memberi pekerjaan pada beberapa pasiennya yang sudah sembuh.
Hidup bersama orang stress tentu bukan suatu yang mudah. Tapi Kyai Jumairi memilih jalan itu. Ia bukan hanya hidup bersama, tapi juga merawat dan mencoba mengobati mereka secara sabar. “Tak semua orang mampu membayar rumah sakit dan dokter. Itu alasan saya berhenti bekerja dan fokus pada upaya membantu mereka”, demikian Kyai Jumairi menutup pembicaraan dengan kita siang itu.
[caption id="attachment_342888" align="aligncenter" width="576" caption="Bantuan 100 ekor itik dan perlengkapan untuk Pondok Stress"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H