Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Krisis Yunani dan Larinya Modal Asing

31 Mei 2010   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:51 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_154394" align="alignleft" width="300" caption="Unjuk Rasa di Yunani / dailymail.co.uk"][/caption] Mengapa negara kecil seperti Yunani mampu menimbulkan kepanikan di pasar keuangan global? Padahal, Yunani hanyalah sebuah negara kecil dengan populasi 11 juta orang. Ukuran ekonomi Yunani juga hanya 1/40 dari besarnya ekonomi Amerika. Kalau dilihat lagi faktanya, secara keseluruhan, keuangan pemerintah di negara-negara Eropa masih kuat. Dengan kekuatan itu, Eropa sebenarnya masih mampu menghadapi masalah hutang fiskal Yunani, yang besarnya hanya 2 persen dari keseluruhan GDP Eropa. Tapi pada kenyataannya, mereka tidak sanggup. Yang terjadi justru sebaliknya, Eropa nyaris ambruk, dan kepanikan dirasakan di Amerika, Asia, hingga Indonesia. Krisis Yunani menyebabkan masa depan Uni Eropa berada dalam relung ketidakpastian. Sekali lagi, kita dihadapkan pada kenyataan kuatnya peranan persepsi dan sentimen di pasar keuangan. Kepanikan terjadi karena munculnya kekhawatiran pelarian dana susulan pada obligasi pemerintah di Spanyol, Portugal, Italia, dan Irlandia, atau negara-negara PIIGS, yang total berjumlah 250 miliar dollar AS. Sementara itu, ekposur perbankan Eropa terhadap negara-negara PIIGS mencapai 2.1 triliun dolar AS, termasuk terhadap Yunani sebesar 253 miliar dolar AS. [caption id="attachment_154400" align="alignright" width="300" caption="CDS negara-negara PIIGS / sumber : Bloomberg-Bank Indonesia"][/caption] Krisispun merambat dari Yunani, Portugal, Spanyol hingga dataran Eropa. Rating Spanyol terpaksa dipotong setelah sejak tahun 2003 berada di level AAA. Tingkat CDS (currency default swap) negara-negara PIIGS pun melonjak drastis. Hal ini menunjukkan risiko yang meningkat pada negara-negara tersebut. Bank-bank di Eropa dihadapkan pada kerugian, harga saham anjlok, dan nilai tukar Euro turun drastis. Pasar saham dan obligasi meleleh dalam hitungan detik. Saat saham dan obligasi dijual besar-besaran (fire sell off), apa yang terjadi? Kepanikan dan ketakutan. Trauma Lehman Brothers masih mengenang lekat dalam ingatan para pelaku pasar. Pasar keuangan dunia anjlok, pinjaman bank turun, optimisme akan bangkitnya ekonomi kolaps bagai rumah kartu yang rapuh, dan ekonomi Eropa tenggelam ke dasar lautan. Yunani memang kecil, tapi saat krisis fiskal bergulir menjadi krisis kepercayaan, krisis Yunani menjadi sistemik. Kalau sudah sistemik, jawabannya tak asing lagi bagi kita di Indonesia, Yunani perlu di-bail out. Kepentingan Amerika, Eropa, IMF, dan para pemilik modal sama, jangan sampai krisis ini menimbulkan kepanikan yang semakin meluas. Pemerintah negara-negara Eropa pun menyepakati paket bail out untuk menyelamatkan Yunani, sebesar 750 miliar Euro, atau sekitar 1 triliun dolar AS. Paket itu didukung oleh IMF dan Amerika Serikat. Jacob Kirkegaard menyebut paket ini dengan istilah “Grand Bargain”, atau obral besar-besaran untuk menyelamatkan Eropa. Tujuan utama bail out itu memang bukan semata menyelamatkan Yunani, tapi mencegah berlanjutnya kepanikan keuangan, a la Lehman Brothers di tahun 2008, yang merontokkan ekonomi dunia. [caption id="attachment_154404" align="alignleft" width="300" caption="Pasar Saham Eropa / sumber Bloomberg -Bank Indonesia"][/caption] Pasca bail out, apakah masalah Yunani selesai? Dan apakah krisis Yunani berdampak pada Indonesia? Banyak pendapat mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Defisit fiskal pemerintah berada pada ambang yang aman, cadangan devisa masih kuat, pertumbuhan membaik, current account surplus, dan eksposur ekspor dan pinjaman kita ke negara PIIGS minimal. Namun persepsi bukanlah fundamental. Berbicara persepsi adalah hal yang subyektif. Penjelasan fundamental semata tak akan cukup untuk menenangkan sentimen. Upaya menjaga persepsi dan memahami gerak arus modal inilah yang menjadi tuntutan bagi para pengambil kebijakan di negeri ini. Tak dapat dipungkiri, krisis Yunani dampaknya dirasakan pula oleh ekonomi Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia (BEI) turun hampir 400 poin dari titik tertinggi, ke level di bawah 2.500, lebih rendah dari penutupan 2009. Nilai tukar rupiah mengalami tekanan demi tekanan, dan perekonomian juga merasakan tekanan tersebut. Di tengah arus modal yang cair, persepsi dan sentimen negatif adalah ancaman yang paling berat bagi ekonomi kita. Selama ini, ekonomi Indonesia relatif rentan dengan sentimen negatif. Dana asing jangka pendek di negeri kita saat ini jumlahnya terus meningkat. Apabila terjadi penarikan dana secara besar-besaran, maka negeri ini akan kerepotan juga. Faktor global terbukti sangat memengaruhi aliran modal portfolio. Dalam beberapa waktu terakhir ini, jumlah arus modal portfolio yang masuk ke Indonesia diindikasikan semakin meningkat. Jumlah arus modal tersebut, pada umumnya berputar-putar di sektor keuangan dan tidak tersalurkan ke sektor riil. Hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan kerentanan pada ekonomi apabila terjadi pembalikan arus modal. Oleh karenanya, kita harus berhati-hati dalam menyikapi krisis Yunani, karena perekonomian Indonesia relatif rentan terhadap persepsi dan sentimen negatif pasar. Meski fundamental membaik, kita tidak boleh menganggap remeh urusan persepsi dan sentimen. Upaya menjaga fundamental memang penting, tapi hal itu saja tidak cukup. Ke depan, masalah Yunani masih jauh dari usai. Things could go wrong. Banyak pengamat memperkirakan bahwa Yunani seharusnya sudah bangkrut. Bail out memang diberikan, namun ia masih menyimpan banyak masalah. Yunani diwajibkan untuk memotong pengeluaran dan menaikkan pajak. Spanyol juga mulai memotong gaji pegawai negeri sebesar 5 persen. Dan negara-negara Eropa terkena dampak memotong anggaran kesejahteraan mereka. Ujungnya, hal tersebut akan berakibat pada keresahan dan guncangan sosial. Bail out hanyalah upaya sementara menghindari panik. Tapi keresahan dan kerusuhan di jalan-jalan Yunani terus berlangsung. Sampai kapan? Kita tidak tahu. Sampai di mana dampaknya? Belum bisa dipastikan. Satu hal yang pasti, selain memperkuat fundamental ekonomi, Indonesia perlu membangun garis-garis pertahanan, khususnya dalam menghadapi pembalikan arus modal. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun