Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kan The Man: Antara Janji dan Realita

5 Juni 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_158883" align="alignleft" width="300" caption="PM Jepang Naoto Kan / AP photo"][/caption] Pengunduran diri Yukio Hatoyama sebagai Perdana Menteri Jepang pada pekan ini (2/6), menambah panjang deretan PM Jepang yang mundur sebelum menjalani tahun pertamanya. Menjadi PM Jepang memang mudah terlupakan, bukan hanya di luar negeri, bahkan di dalam negeri Jepang sendiri. Namun hal ini menjadi pembelajaran penting bagi para politisi, jangan sembarang mengumbar janji !! Kemarin (4/6), Naoto Kan terpilih sebagai Perdana Menteri Jepang yang baru. Ia sebelumnya menjabat sebagai Wakil PM dan Menteri Keuangan. Entah sampai berapa lama ia akan bertahan. Menghadapi situasi politik dan ekonomi di Jepang yang saat ini masih berat, siapapun yang menjadi Perdana Menteri dipastikan tidak akan mudah menjalankan tugasnya. Kan dituntut untuk memberikan janjinya dalam memperbaiki ekonomi Jepang. Memberi janji adalah sebuah hal yang sakral dan berat bagi seorang PM Jepang, karena janji itu adalah hutang yang akan selalu dituntut oleh publik. Janji Hatoyama untuk memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa, tak dapat dipenuhi hingga 8 bulan pemerintahannya. Ingkar janji, iapun harus mundur. Belum lagi masalah skandal keuangan yang melibatkan lingkar tertinggi di partai Demokrat Jepang (DPJ) yang menjadi beban bagi Hatoyama dalam memimpin. Sebenarnya di bidang ekonomi, beberapa indikator perekonomian Jepang mulai menunjukkan tanda-tanda membaik. Sampai dengan triwulan I-2010, PDB Jepang mencatat pertumbuhan positif sebesar 1,2% secara triwulanan, atau 4,9% secara tahunan. Sebuah pencapaian yang luar biasa mengingat dalam beberapa tahun ini ekonomi Jepang tumbuh negatif. Meningkatnya permintaan dari sisi eksternal mampu mendongkrak PDB sebesar 0,7%, dan permintaan domestik sebesar 0,6%. Ekspor Jepang tumbuh sebesar 6,9% atau lebih baik dari perkiraan sebesar 5,8% seiring dengan membaiknya perekonomian Asia, khususnya Cina. Di akhir tahun ini, Jepang diperkirakan bisa menyatakan dirinya telah keluar dari resesi. Sebuah pencapaian yang pantas diklaim oleh pemerintah apabila ini terjadi di negara lain. Namun, pemerintah Jepang sangat sadar diri bahwa perbaikan itu bukan diperoleh dari kerja kerasnya. Berbagai perbaikan tersebut lebih disumbang oleh kondisi perekonomian dunia yang mulai pulih, khususnya di Cina. Oleh karenanya, Hatoyama tidak mengklaim berbagai kemajuan ekonomi tersebut sebagai hasil kerja kerasnya. Justru ia berulangkali mengatakan bahwa pemerintahannya masih akan bekerja keras mengurangi angka pengangguran yang masih tinggi, sebesar 5,1% di bulan April, dan tentu janjinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. [caption id="attachment_158887" align="alignright" width="250" caption="Pemberian BLT di Jepang / Kyodo Photo"][/caption] Ada beberapa kebijakan Hatoyama di bidang ekonomi yang ditempuh untuk membawa kehidupan menjadi lebih baik. Mulai bulan Juni 2010 ini, pemerintahan Hatoyama melakukan bantuan langsung tunai pada penduduk Jepang, sebesar 13.000 yen (sekitar Rp1,3 juta) bagi keluarga yang memiliki anak-anak di bawah 15 tahun. Meski jumlah ini lebih kecil dari yang dijanjikan, masyarakat Jepang cukup merasa terbantu dengan adanya BLT ini. Selain itu, Hatoyama juga membebaskan uang sekolah sampai dengan tingkat SMA. Ia juga memperkenalkan konsep-konsep pelayanan publik antara masyarakat, birokrat, dan LSM, untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di masyarakat. Meski demikian, kebijakan ini dianggap belum cukup oleh publik Jepang. Tantangan Kan Naoto Kan sang PM baru kemudian ditantang untuk mampu memperbaiki kondisi ekonomi Jepang. Pekan depan ia akan mengumumkan jajaran kabinetnya yang baru. Ia akan menggunakan akhir pekan ini merenung mencari figur-figur terbaik bagi kabinetnya. Ekonomi Jepang saat ini masih dirundung kelesuan ekonomi dan deflasi yang berkepanjangan. Masalah serius lainnya yang harus ditangani Kan adalah soal reformasi fiskal pemerintah. Posisi utang pemerintah Jepang yang jumlahnya mencapai 200% dari PDB sangat mengkhawatirkan keberlanjutan ekonomi. Kekhawatiran munculnya krisis Yunani di Asia pun mulai dibicarakan. Sebagai Menteri Keuangan, Kan dikenal sebagai figur yang paling vokal menyuarakan reformasi fiskal di Jepang. Beberapa waktu lalu ia mengumumkan untuk membatasi penerbitan Japanese Government Bond (JGB) tidak melebihi 44,3 triliun Yen. Angka itu mungkin hanya sebuah target, namun semangat Kan untuk membatasi utang pemerintah patut dicatat. Kan menyadari bahwa upaya menjaga kesehatan fiskal sangat penting, terlebih setelah S&P menurunkan rating outlook Jepang pada Januari 2010 lalu. Selain melakukan reformasi fiskal, Kan juga dihadapkan pada tantangan untuk memperbaiki sistem kesejahteraan masyarakat, mendorong otonomi daerah, dan membangun komunitas bersama masyarakat Asia Timur, serta tantangan-tantangan di bidang pemanasan global. Ia juga harus mampu menjaga kekompakan kabinetnya. Beberapa pelajaran bagi Indonesia Terpilihnya Naoto Kan sebagai Perdana Menteri Jepang membawa beberapa catatan bagi Indonesia. Pertama, kekhawatiran tentang sustainabilitas ekonomi Jepang menjadi hal yang perlu dimonitor oleh Indonesia. Pasca krisis Yunani, gerak arus modal asing yang keluar dari Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan di ekonomi global, khususnya di wilayah Asia Timur, baik Jepang maupun Cina. Meski secara fundamental perekonomian Jepang jauh lebih kuat dari Yunani, kesehatan fiskal pemerintahan Jepang perlu mendapat perhatian serius. Selain itu, pengunduran diri para PM di Jepang dapat menjadi sebuah pembelajaran yang baik bagi para politisi kita dalam memegang janji mereka. Meski Hatoyama melakukan banyak pencapaian positif dalam delapan bulan pemerintahannya, ia tidak meng-klaim sesuatu yang bukan kerja kerasnya. Ia dengan besar hati mundur sebagai Perdana Menteri karena ketidakmampuannya menepati satu janji besar, memindahkan pangkalan AS dari Okinawa. Bagi orang Jepang, memegang janji adalah sebuah kehormatan. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun