[caption caption="Suasana saat dialog saya dengan Presiden Jokowi di Istana Negara / Photo Koleksi Kantor Staf Presiden"][/caption]Dalam kesempatan makan siang bersama Presiden Jokowi di Istana Negara bersama 100 orang Kompasianer pekan lalu (12/12), saya mendapat kesempatan pertama untuk memberikan komentar ke Presiden. Pertanyaan saya hanya satu, di tengah pesatnya media sosial, termasuk lahirnya istilah "lovers" dan "haters", apa harapan Pak Jokowi dari para blogger? Dan bagaimana blogger bisa berkontribusi bagi pembangunan Indonesia.
Pak Jokowi kemudian menanggapi pertanyaan ini secara serius, karena beliau memahami betul kekuatan dari media sosial saat ini. Di era digital, opini publik kini bukan hanya dibangun oleh narasumber maupun media massa. Presiden Jokowi mengatakan bahwa justru media sosial yang ia rasakan begitu kuat membentuk opini.
Presiden menyadari bahwa sebagian isi media sosial ada yang berisi fitnah dan pemutarbalikan fakta, tapi juga tidak sedikit tulisan netizen yang mampu memberi rasa optimisme, integritas, kejujuran dan menumbuhkan etos kerja. Jokowi mengaku sering dikejutkan dengan sudut pandang dan ide netizen. Secara rutin ia membaca tulisan-tulisan blogger Kompasiana. Bahkan ia berjanji mengajak dua orang Kompasianer secara bergiliran dalam kunjungan kerja ke daerah menggunakan pesawat Kepresidenan.
Dari pembicaraan di siang hari itu, kita melihat bahwa Presiden Jokowi menganggap para blogger dan netizens sebagai elemen penting dalam membantu mengatasi berbagai permasalahan bangsa ini. Kita melihat bahwa semua itu tidak mudah dan tidak bisa instan. Dalam diskusi siang itu, mulai dari isu buruh migran, gesekan antar agama di beberapa daerah, pelayanan publik, hingga yang menyangkut politik dan ekonomi, semuanya disampaikan para blogger, dan menuntut penyelesaian segera.
Lalu di mana posisi blogger dalam menyikapi berbagai perkembangan itu? Saya memandang bahwa blogger memiliki posisi sangat penting dalam kondisi negara saat ini. Tulisan netizens kerap dijadikan referensi, rujukan, bahkan daya rengkuh yang lebih luas dari berita media mainstream. Padahal isinya beraneka ragam dan belum tentu dikonfirmasi kebenarannya. Tapi itulah kenyataannya. Link tulisan ini bisa direpost dan kirim ke berbagai grup digital.Â
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang ekonomi, tentu saya memandang masalah bangsa ini secara dominan dari sudut pandang perekonomian. Dari beberapa kali pertemuan, baik pada forum mengajar, mengisi seminar, hingga diskusi-diskusi di lapangan, saya memang melihat adanya aura pesimisme dari pelaku ekonomi Indonesia.Â
Memang harus kita akui bahwa satu hal yang belum tampak signifikan dari pelaku ekonomi Indonesia saat ini adalah sikap optimis. Hal ini bisa dipahami, karena hampir semua indikator makroekonomi tidak berada di pihak kita. Saat ini, ekonomi dunia masih lesu, pertumbuhan domestik masih lemah, ekspor kita turun, nilai tukar Rupiah mengalami tekanan.
Namun kita perlu menyadari bahwa pesimisme itu kemudian membawa kita pada jebakan lingkaran yang tak berujung. Sikap pesimis tadi justru memicu terwujudnya keyakinan diri (self fulfilling prophecy). Bila pelaku ekonomi pesimis dalam memandang masa depan, ia akan menunda investasi dan belanjanya, kegiatan usaha dikurangi, aktivitas konsumsi turun, penghasilan berkurang, daya beli rendah, dan seterusnya. Pada akhirnya masyarakat menjadi semakin pesimis dan membawa kita pada kerugian yang lebih besar.
Dari hasil survei Bank Indonesia (BI), memang terlihat bahwa indeks keyakinan konsumen sempat turun di bawah level optimis. Indeks Keyakinan Konsumen pada Oktober 2015 sebesar 99,3 poin, lebih rendah dari posisi awal tahun sebesar 122 poin. Sementara Indeks Keyakinan Konsumen terhadap kondisi ekonomi juga turun menjadi sebesar 88 poin, dibandingkan awal tahun sebesar 110 poin.
Pesimisme ini muncul juga dipengaruhi oleh perkembangan di sisi global, dunia masih gamang menunggu langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk menaikkan suku bunga kebijakannya (Fed Fund Rate). Sementara ekonomi Tiongkok terus melemah, yang berdampak pada ekonomi negara-negara mitra dagang Tiongkok, termasuk Indonesia.
Di sisi domestik, kita masih menghadapi permasalahan struktural. Kinerja ekspor yang menurun telah berdampak pada terus defisitnya neraca transaksi berjalan sejak akhir 2011. Hal tersebut menyebabkan ekonomi Indonesia masih tumbuh lambat. Apabila dilihat secara geografis, perlambatan signifikan terlihat pada hampir seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera, yang dipicu oleh turunnya harga komoditas serta bencana asap.