[caption id="attachment_250577" align="alignleft" width="300" caption="Tidak Menerobos Jalur Busway / JH"][/caption] Dibesarkan di Jakarta, menjadikan saya pribadi yang tidak sabaran di jalan raya. Cara mengemudi ala Jakarta, berarti meletakkan pusat dunia di diri kita. Bagaimana caranya kita mengambil jalan, agar dapat secepatnya mencapai tujuan, adalah semacam “cardinal rule” para pengemudi di Jakarta. Pengejaran “kepentingan diri” menjadi nyata di lalu lintas Jakarta. Di jalan-jalan kota Jakarta, tepat apa yang dikatakan filsuf Jean-Paul Sartre bahwa orang lain adalah neraka bagiku. Perilaku pengemudi di Jakarta hampir sama, khususnya bila menghadapi kemacetan. Kalau ada mobil minta jalan, jangan kasih!, kalau ada mobil lambat di depan, klakson!, dan kalau ada celah sempit yang membuat kendaraan kita bisa lebih cepat, nyelip! Saling teriak, bahkan perseteruan, kerap muncul hanya dari masalah sepele di jalan raya. Di Tokyo, sebagaimana kota besar lainnya di dunia, kemacetan juga menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Kemacetan kerap terjadi, kadang panjangnya hingga puluhan kilometer. Kemacetan pada dasarnya bisa terjadi karena beberapa hal, seperti kecelakaan, perbaikan jalan, penyempitan jalan, atau semata memang hanya karena padatnya kendaraan di jalan. [caption id="attachment_250579" align="alignright" width="300" caption="Kemacetan dalam kota / JH"][/caption] Dalam kepadatan tersebut, tentu masing-masing pengemudi ingin cepat sampai tujuan. Namun masyarakat Tokyo menyadari bahwa mereka hidup bersama dengan 12 juta orang lainnya. Pada saat bersamaan, mustahil untuk mementingkan kepentingan sendiri, di tengah jutaan kepentingan. Ada berbagai kepentingan, berbagai ketersinggungan antar subyek, di dalam kehidupan kota besar. Konsep komunitas inilah yang memunculkan pentingnya etika. Etika tersebut menyadari bahwa kebebasan diri, akan bersinggungan dengan kebebasan orang lain. Dengan kata lain, kita tidak bisa berlaku bebas sebebas-bebasnya karena orang lain juga ingin memiliki kebebasan itu. Ujungnya adalah saling menghargai kebebasan. Pengalaman saya mengemudi di hiruk pikuk kota Tokyo dengan kemacetannya, sungguh mencerminkan etika tersebut. Apakah berarti “kepentingan diri” tidak dikejar oleh para pengemudi di kota Tokyo? Dalam kajian etika komunitas, “kepentingan diri” tetap dikejar. Mereka masih mementingkan tujuan mereka masing-masing. Namun mereka rela menunda “kepentingan diri” itu, demi kepentingan yang lebih luas. Konkritnya, sebagai komunitas, masing-masing pengemudi memegang teguh etika yang ditujukan pada kepentingan bersama. Secara umum, pengemudi menaati rambu kecepatan, mengemudi pada jalurnya, memberi kesempatan pada orang lain, dan yang terpenting, tidak egois. Kalau kita salah jalan, kemudian memberi lampu sen, hampir dipastikan pengemudi di belakang akan memberi jalan. Mereka tidak merasa diserobot jalannya, karena percaya bahwa mobil kita salah jalan. Kalau kita sedikit lambat di lampu merah, atau salah dalam mengambil jalur, hampir dipastikan kita tidak diklakson. [caption id="attachment_250580" align="alignleft" width="300" caption="Kemacetan kota Tokyo / JH"][/caption] Dalam kemacetan, masing-masing pengemudi akan memberikan jalan kepada pengemudi lain agar arus lancar. Tidak ada saling selip dan salip yang saling mengambil keuntungan dan merugikan orang lain. Kalau jalur bis kosong, kendaraan tidak berebut menyerobot ke jalur bis, walaupun tidak ada pembatas. Rasa malu merugikan orang lain dan unsur saling percaya relatif tinggi antar pengemudi. Etika komunitas inilah yang menjadikan kemacetan, walau panjang, tetap berjalan dalam keteraturan. Dari lalu lintas kota Tokyo yang padat dan macet, kita belajar bagaimana sebuah bangsa yang maju mampu melakukan pengelolaan “self interest” dalam tatanan komunitas yang berlandaskan pada etika untuk kepentingan bersama. Skema antropologi Plato di zaman-zaman awal yang mengangkat gagasan tentang penggerak tindakan manusia, mengajarkan pentingnya nalar (reason) dalam mengendalikan naluri (passion). Perjalanan panjang filsafat manusia ini juga mengarus pada pentingnya standar moral keutamaan (virtue) yang membedakan antara tindakan yang berkualitas, dan tindakan yang pantas.Apalagi dibandingkan dengan tindakan yang tidak pantas. Kemampuan menunda kesenangan sesaat, deffered gratification, demi kepentingan yang lebih luas menjadi kunci. Perspektif panjang inilah yang bisa menjadikan sebuah bangsa maju. Gugus moralitas itu bukan hanya terefleksi di lalu lintas. Sikap itu juga tercermin di berbagai bidang kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi, hingga politik. Perilaku kita di lalu lintas, mungkin adalah figuratif yang tepat untuk mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Ingin melihat karakter suatu bangsa, menyatulah di lalu lintas ibu kotanya. Selamat mudik bagi teman yang mudik. Selamat menikmati dinamika berlalu lintas. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H