[caption id="attachment_213027" align="aligncenter" width="640" caption="Tanda pengenal Haji dari Jepang. Tas bergambar Hinomaru / photo junanto"][/caption]
Di tengah padatnya kota Mekah saat musim haji, setiap rombongan jamaah haji memiliki caranya masing-masing agar mudah dikenali. Ada yang memakai kain warna-warni “ngejreng”, emblem besar, bendera, ataupun jenis jaket khusus yang membedakan mereka di antara jutaan jamaah.
Jamaah Indonesia umumnya gampang dikenali. Biasanya mereka mengenakan peci atau baju batik seragam untuk satu rombongan atau kelompok. Kalaupun sedang berihram, mereka bisa dikenali dari tas yang digunakan. Biasanya bercorak batik atau berbendera Indonesia.
Lalu bagaimana dengan jamaah haji dari Jepang? Kami yang berangkat haji dari Jepang tidak memiliki pakaian seragam khusus yang bisa dijadikan sebagai tanda pengenal. Namun, saat berangkat ke tanah suci, kami dibagikan satu tas selempang yang bergambar bendera Jepang, atau gambar Hinomaru (bendera jepang). Bendera Jepang dengan warna dasar putih dengan lingkaran bulat merah di tengahnya terlihat menonjol di tengah keramaian.
Nah menariknya, bendera Jepang ini juga kerap menimbulkan pertanyaan atau rasa ingin tahu dari jamaah haji lain, termasuk petugas haji di Saudi Arabia. Mereka menyadari bahwa muslim di Jepang sangat sedikit, sehingga rasanya aneh kalau ada orang Jepang naik haji. Padahal tidak semua yang mengenakan bendera Jepang itu adalah orang Jepang asli. Contohnya, ya saya ini.
Banyak kejadian lucu terjadi saat saya berjalan membawa tas bendera Jepang tersebut. Rata-rata orang Arab itu punya sifat yang ingin tahu saja (wants to know only) kalau melihat barang-barang kita. Seorang rekan jamaah, ditanya-tanya tasnya buatan mana. "Made in Japan?" Kalau iya, mereka langsung menawar harganya. Nampaknya barang apapun yang “Made in Japan”, mereka ingin membeli.
Saya juga mengalami hal tersebut di Masjidil Haram. Usai sholat Dzuhur saya tidak kembali ke hotel, melainkan duduk-duduk di pelataran Ka'bah. Sambil duduk, saya mengeluarkan kamera pocket saya, dan iseng-iseng mengambil beberapa gambar.
Tiba-tiba saya didatangi seorang jamaah haji. Ia mengaku dari Mesir. Namanya Munir. Awalnya ia melihat tas berbendera Jepang saya, sehingga kemudian mengajak berkenalan dan ngobrol-ngobrol. Munir datang ke Mekah bersama ayahnya yang sudah tua. Susahnya, ia hanya bisa berbahasa Arab, sementara saya tidak bisa berbahasa Arab. Kitapun berbicara dengan bahasa isyarat.
Ujung-ujungnya, dia bertanya dengan bahasa Inggris patah-patah. “Haji..haji… Kamera? Made in Japan?” Iapun meminjam kamera saya, sambil melihat-lihat bagian-bagian dari kamera tersebut. Dan saat ia melihat tulisan “Made in Japan” di body kamera, ia berujar setengah berteriak,
“Hajii… hajii…This is Made in Japan!!”.
Lalu dia meneruskan kata-katanya, “Haji, here, in Mekah, Kairo, No Made in Japan. Only Made in Thailand, Made in China..”. Maksudnya adalah bahwa di sini atau Kairo, tidak ada kamera merek Jepang yang masih berlabel Made in Japan. Kebanyakan sudah buatan Thailand atau China.
Ia lalu menawar kamera saya tersebut. Serius, ia ingin membelinya. Sambil menarik dan mencoba jepret sana sini. Dia jepret juga Ka’bah dengan kamera itu. Karena terpengaruh label Made in Japan tadi, ia nafsu banget ingin membeli kamera saya. Munir menawarkan sejumlah uang dollar untuk membawa kamera saya.
“Busyet deh ini Haji Mesir, langsung main beli aja”, ujar saya dalam hati.
Saya katakan bahwa saya masih gunakan kameranya untuk memotret perjalanan haji. Tapi ia memaksa, sambil menunjukkan bahwa ayahnya sudah tua (lah apa hubungannya ayah sudah tua, sama kamera saya #tepok jidat sendiri).
Tapi sayapun berpikir, kamera ini juga sudah lama, jadi tak apalah saya jual padanya.
Saat transaksi akan dilakukan, tiba-tiba saya teringat bahwa kita sedang berada di dalam masjid. Dan terlebih lagi, seingat saya ada perintah yang mengatakan bahwa kalau di dalam masjid, dan sedang beribadah haji, kita tidak boleh berdagang.
Segera saja saya katakan pada Munir. “Haji, tapi ini kan sedang haji, dan kita sedang di Masjid. Bukannya tidak boleh berdagang dulu?”
Saya katakan sambil bertanya, “Haram haji?” Rupanya Munir teringat juga dengan aturan dan pesan Nabi itu. Kitapun sama-sama sadar…. Dan menyebut bersama “Astaghfirullaaah!!!”
Dan, transaksi kamera “Made in Japan” pun batal dilakukan.
Namun sebagai kenangan, dan simbol persaudaraan, kitapun berfoto bersama di pelataran Ka’bah. Tentu dijepret dengan kamera pocket, Made in Japan. Semoga Allah memberkahimu, Saudara Munir dari Kairo.
Salam. [caption id="attachment_213028" align="aligncenter" width="640" caption="Bersama Haji Munir di Masjidil Haram, dipotret dengan kamera pocket Made in Japan"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H