Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang Cina Cinta Nabi Muhammad

18 September 2012   23:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16 6048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_206509" align="aligncenter" width="614" caption="Bersama Hajj Nurul Muhamdan, Imam Masjid Niujie Beijing "][/caption]

Saat ribut-ribut film “Innocence of Muslims” yang dikabarkan menghina Nabi Muhammad, saya kebetulan sedang berada di Beijing, Cina. Sebagaimana kalau berkunjung ke kota-kota di luar negeri, sedapat mungkin saya mencoba mampir ke masjid lokal untuk melakukan sholat di sana.

Di Beijing, saya berkunjung ke Masjid Niujie yang terletak di Distrik Xuanwu. Masjid ini adalah masjid tertua di Beijing yang dibangun pada tahun 996 M, pada zaman Dinasti Liao. Masjid Niujie ini menarik karena menunjukkan perpaduan khas antara arsitektur Cina dan kaligrafi Arab. Bentuk menara dan ruang dalamnya mirip dengan bangunan kuil atau istana Cina, tapi menyatu dengan itu, saya melihat aneka kaligrafi Arab yang biasa tertulis di masjid.

Saya beruntung bisa bertemu dengan Haji Nurul Muhamdan, imam masjid Niujie. Ia orang Cina asli dan usianya baru 41 tahun. Meski masih muda, ia berkali-kali sudah naik Haji dan penguasaan bahasa Arabnya lumayan fasih. Berulangkali ia menyebut doa dan istilah Arab dengan baik.

Imam Nur mengatakan bahwa di Cina, umat Islam bisa beribadah dengan tenang meski jumlahnya minoritas. Di Beijing, ada sekitar 12 ribu orang pemeluk Islam di sekitar masjid Niujie, atau sekitar tiga juta di Beijing, dengan jumlah masjid mencapai lebih dari 70 buah. Ibadah sholat Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha, bahkan pengajian rutin, dilakukan di masjid-masjid tersebut tanpa perlu ketakutan.

Masjid Niujie sendiri, yang luasnya sekitar 6000 meter persegi, juga memiliki madrasah tempat belajar Islam. Selain itu terdapat pula museum yang menyimpan cerita tentang sejarah Islam di Cina.

[caption id="attachment_206511" align="aligncenter" width="358" caption="Suasana dalam Masjid Niujie / photo junanto"]

1348009675409170225
1348009675409170225
[/caption]

Menariknya lagi, masyarakat Cina Islam juga memiliki tradisi memeringati Maulud Nabi Muhammad. Imam Nur mengatakan bahwa kecintaan masyarakat Cina pada Nabi ditunjukkan dengan melakukan doa dan aneka kegiatan untuk memeringati hari lahir Nabi Muhammad. Hal itu sudah dilakukan sejak beratus tahun lampau.

Saya diajak Imam Nur untuk melihat satu peninggalan bersejarah berupa kuali besar tempat membuat bubur. Dulu, setiap peringatan Maulud Nabi, di kuali itu dibuat bubur yang akan dibagi-bagikan pada jamaah. Sampai dengan sekarang, budaya membagi-bagikan makanan dan memanjatkan doa bagi Nabi Muhammad tetap dilakukan oleh orang-orang Cina Islam setiap Mauludan.

[caption id="attachment_206512" align="aligncenter" width="358" caption="Kuali Nikel untuk memasak bubur setiap peringatan Maulud / photo junanto"]

13480097701422709941
13480097701422709941
[/caption]

Melihat masjid Niujie saya sungguh terpana. Betapa kebesaran Islam datang bukan dalam bentuk kekerasan dan agresi, melainkan dalam bentuk kelenturan untuk menyatu dengan adat dan budaya setempat.

Selain melihat arsitektur bangunan yang menyatu dan mirip dengan kuil Cina, agama Islam memang masuk ke Cina persis seperti yang dilakukan para Wali di Jawa dulu. Mereka tetap menjaga kelestarian budaya masyarakat lokal, namun dengan memberi nafas Islam.

Sejak masuk ke Cina sekitar 1400 tahun lalu, Islam berinteraksi damai dengan berbagai kepercayaan dan keimanan yang ada. Mereka menghargai filosofi Confusius dengan baik, bahkan menyelaraskan berbagai persamaan antara keduanya dalam harmoni. Jendral Ma Bufang, yang menguasai wilayah Qinghai pada masa Republik Cina di tahun 1940-an, memberi kesempatan sama pada umat Kristen, Yahudi, dan politeisme, untuk tinggal dan beribadah di tempatnya berkuasa.

Kelembutan dan kemampuan Islam menyatu dengan budaya lokal menjadikan Islam lebih mudah diterima di Cina. Imam Nur kemudian menunjukkan saya satu plakat yang dibuat oleh Kaisar Ming yang menyebutkan bahwa Kaisar Ming menjamin kebebasan masyarakat Islam di Cina. Plakat itu secara tegas menyebutkan umat Islam bebas beribadah dan tidak boleh diganggu.

Di masa pergolakan, terutama saat terjadi revolusi budaya, Islam sempat mengalami kekerasan dan pengucilan. Banyak masjid yang dirusak dan kitab yang dibakar. Tapi setelah tahun 1978, Islam kembali diberi kebebasan ekspresi. Pemerintah komunis saat ini bahkan memberi aneka fasilitas bagi Cina muslim untuk menjalankan ibadahnya, termasuk menyelenggarakan kegiatan seperti Maulud Nabi Muhammad.

Di Partai Komunis Cina, atau pemerintahan, juga terdapat pejabat yang beragama Islam. Hui Liangyu, yang menjadi wakil menteri pertanian dan pejabat Partai Komunis China, adalah salah satu pejabat di pemerintahan Cina yang beragama Islam.

Dalam diskusi dengan Imam Nur, kita melihat bahwa Islam saat ini perlu menampilkan wajah damai dan bersahabat. Bukan justru kekerasan dan agresi. Aneka hinaan, cercaan, dan provokasi terhadap Islam atau Nabi Muhammad, tidak sedikitpun mengurangi kebesaran dan kemuliaannya. Justru kalau kita agresif atau merusak, malah akan mengurangi kemuliaan Islam.

Saya merenungkan kata-kata dari Imam Nur.  Islam memang bisa diterima dan tidak menjadi ancaman karena ia membawa wajah damai, bersahabat, dan harmonis.

Selain itu, saya juga mencatat satu hal lain yang menarik. Kalau di negara komunis saja, kebebasan melakukan ibadah bagi kaum minoritas dilindungi oleh negara, di negeri Pancasila seharusnya kita dapat lebih baik lagi dalam menjamin kebebasan beribadah masyarakatnya. Hal itu karena dulu kita pernah menolak komunis dan menggantikannya dengan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih baik. Itikad itu kiranya perlu direalisasikan oleh kita semua.

Salam dari Beijing.

[caption id="attachment_206513" align="aligncenter" width="358" caption="Plakat Kaisar Ming yang menjamin kebebasan ibadah umat Islam di China / photo Junanto"]

1348009875629449902
1348009875629449902
[/caption] [caption id="attachment_206514" align="aligncenter" width="614" caption="Suasana Madrasah di Masjid Niujie / photo junanto"]
13480101301258679842
13480101301258679842
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun