[caption id="attachment_187183" align="aligncenter" width="627" caption="Profesor Kim usai Acara Dialog di Busan Indonesia Centre / photo Junanto"][/caption]
Pekan lalu saya bertemu dengan Profesor Kim Soo-il di Busan, Korea Selatan. Ia orang Korea asli, tapi kecintaannya pada Indonesia luar biasa. Demi cintanya pada Indonesia, Prof Kim mendirikan Busan Indonesia Centre (BIC), sebuah bangunan lima lantai di atas tanah seluas 1000 meter persegi. Gedung itu ditujukan sebagai pusat kegiatan masyarakat Indonesia, termasuk memperkenalkan budaya Indonesia pada masyarakat Busan.
“Kalau Korea punya Korean Wave, saya yakin bahwa Indonesia juga bisa punya Indonesian Wave, dan menyebarkan ke seluruh dunia”, demikian ungkap Prof Kim, yang meraih gelar Profesor di bidang studi Bahasa Indonesia, pada saya di lantai satu gedung BIC yang dijadikannya sebagai kafe dengan nama Café Luwak.
Ungkapan Prof Kim itu terdengar ambisius. Tapi alasannya logis. Saat ini Korea Selatan memang terkenal dengan Korean Wave-nya, atau gelombang budaya, seperti musik pop, drama, dan film, yang sudah mengglobal. Di Indonesia saja, serbuan artis Korea sangat marak. Anak-anak muda kita seolah terbius oleh pesona artis maupun grup musik Korea.
Tapi Korean Wave itu menyebar bukan sebagai sebuah kebetulan, melainkan dilakukan dengan unsur kesengajaan. Pemerintah Korea Selatan dan masyarakatnya memiliki visi untuk memperkenalkan budaya pop Korea ke seluruh dunia. Dilihat dari hitungan ekonomi, hal tersebut menguntungkan Korea hingga miliaran dollar dalam setahun.
Padahal kata Prof. Kim, dari sisi budaya, baik tradisional maupun pop, Indonesia juga punya kualitas dan kemampuan yang sama. Tapi, bisakah kita juga membuat Indonesian Wave?
Memasuki lantai satu yang dijadikan Café Luwak, kita merasakan ide itu membumi. Ruangan cafe disulap bernuansa Indonesia. Aneka kerajinan tangan khas Indonesia dipajang di lemari kaca yang disusun rapi. Café tersebut juga menyajikan makanan Indonesia, memutar lagu pop Indonesia, bahkan memutar televisi saluran Indonesia. Saat kami datang ke sana, sedang diputar lagu dari Agnes Monica. Suasananya menjadi sangat Pop Indonesia. Inilah Indonesian Wave, demikian ujar Prof Kim.
Selain pada budaya, Prof Kim juga punya kepedulian pada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Busan. Saat ini ada sekitar 15 ribu orang TKI di Busan. Ia ingin mereka semua memiliki sebuah rumah, yang bisa dikunjungi setiap saat. Gedung ini diharapkan dapat menjadi sarana berkumpul atau berkonsultasi bagi para TKI yang memerlukan bantuan dan perlindungan hukum.
Meski ia yang mengeluarkan semua biaya pembangunan dan perawatan gedung, Prof Kim tak mengharapkan apa-apa dari Indonesia, selain komitmen dari pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan gedung itu sebaik-baiknya bagi kepentingan Indonesia.
Dubes RI di Seoul, Nick T. Dammen, sangat mengapresiasi langkah Prof Kim. Bulan April 2012 lalu, Gedung Busan Indonesia Centre diresmikan oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar, dan dihadiri oleh lebih dari 200 tamu undangan, termasuk para pejabat Korsel seperti Anggota Parlemen, Ketua Dewan Kota Busan, Presiden Kamar Dagang dan Industri Busan, dan Administrator Distrik Utara Busan.
Gedung itu kemudian diisi oleh kantor konsuler pemerintah Indonesia, perwakilan dari BNP2TKI, Departemen Pariwisata, dan Garuda Indonesia. Lantai empat gedung itu juga dapat digunakan sebagai auditorium untuk acara-acara pertemuan masyarakat Indonesia.
[caption id="attachment_187184" align="aligncenter" width="417" caption="Gedung Busan Indonesia Centre / photo Junanto"]
[caption id="attachment_187185" align="aligncenter" width="627" caption="Suasana Cafe Luwak di Busan Indonesia Centre / photo Junanto"]
KBRI Seoul kemudian juga aktif memanfaatkan gedung itu sebagai upaya mempromosikan budaya Indonesia. Selain membuka kantor konsuler dan menempatkan pejabat KBRI setiap hari, KBRI Seoul juga aktif mengadakan berbagai pertemuan dengan masyarakat Indonesia di sana.
Bagi KBRI Seoul, dan juga masyarakat Indonesia, Prof Kim adalah sahabat Indonesia. Ia memang bukan orang baru bagi Indonesia. Sebelumnya, dari tahun 1993 hingga 2007, Prof Kim menjabat sebagai Konsul Kehormatan RI di Busan. Surat penunjukkannya ditandatangani langsung oleh Presiden RI Soeharto pada tahun 1993. Prof Kim, yang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Timor Leste, saat ini masih menjadi penasehat di banyak lembaga dan institusi RI.
Berdiskusi dengan Profesor Kim di gedung BIC Busan sangatlah menarik. Sebagai orang Indonesia, saya malu juga. Mengapa justru orang Korea yang mengeluarkan biaya, tenaga, dan cintanya pada budaya Indonesia. Bahkan mengapa justru orang Korea yang punya visi tentang Indonesian Wave.
Semoga langkah Profesor Kim dapat menginspirasi kita semua. Ayo kita bangun dan sebarkan Indonesian Wave!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H