Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lewat Dolanan Anak, Niken Tembus Jepang

29 Maret 2012   22:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_171662" align="aligncenter" width="640" caption="Lukisan "][/caption]

Kapan terakhir kali kita melihat anak-anak di Indonesia bermain conglak, petak umpet, atau gobak sodor? Pertanyaan itu diajukan oleh Niken Larasati, pelukis dari Yogyakarta, kepada saya saat bertemu dengannya di Graha Budaya Indonesia, Shinjuku, Tokyo beberapa hari lalu.

Niken datang ke Tokyo dalam rangka pameran tunggal lukisannya yang bertema “Dolanan Bocah Tradisional Indonesia”. Pameran tersebut diadakan hingga 16 Juni 2012, didukung oleh Jakarta Shimbun serta Graha Budaya Indonesia yang dimotori oleh Seiichi Okawa, jurnalis Jepang yang memiliki kepedulian terhadap budaya Indonesia.

Saya sempat tertegun dengan pertanyaan dari Niken soal dolanan anak tadi. Permainan tradisional anak-anak memang sudah nyaris punah. Tak pernah lagi saya melihat anak-anak main petak umpet dan congklak. Anak-anak saya sendiribahkan lebih banyak bermain dengan game elektronik, handphone, ataupun bergaul secara online dengan rekan-rekannya di berbagai belahan dunia.

Pertanyaan dan kegelisahan Niken tentu sangat valid. Permainan anak tradisional bukan sekedar permainan saja, tapi memiliki filosofi yang dalam dan penuh makna. “Lukisan saya menggambarkan bagaimana anak-anak dulu masih bermain dengan manusia dan alam, sementara anak-anak sekarang bermain dengan mesin”, demikian kata Niken.

Niken merasakan kegalauan yang luar biasa saat permainan tradisional semakin terpinggirkan dan nyaris hilang ditelan zaman. Hal inilah yang mendorongnya untuk mengangkat dolanan anak tradisional sebagai tema lukisannya.

Permainan tradisional memang memiliki banyak keunggulan dibanding permainan anak sekarang. Permainan tradisional melibatkan aktivitas fisik yang lebih banyak sehingga membangun kematangan fisik seorang anak. Berlari, melompat, melempar bola, adalah contoh aktivitas tersebut.

Bermain memang sebuah hal yang terpenting bagi anak-anak. Lewat bermain, seorang anak memperoleh banyak pelajaran dan kesempatan besar melihat berbagai hal dalam hidup. Lewat dolanan tradisional, anak-anak terlibat dalam interaksi sosial dan emosi dengan teman bermainnya. Di situlah terjadi pembelajaran tenggang rasa, tahu aturan, pengembangan kognitif, hingga kemampuan menerima perbedaan.

Anak-anak yang aktif bermain dengan kawan-kawannya biasanya lebih matang dalam menerima perbedaan. Namun anak yang dibesarkan dalam kesendirian, jarang bergaul, dan hanya bermain dengan mesin, kerap selalu merasa dirinya benar dan sulit menerima perbedaan. Padahal dalam kehidupan ini, kita dihadapkan pada banyak perbedaan.

Niken juga mengatakan bahwa pada permainan tradisional masa lalu, anak-anak bisa bermain tanpa melihat perbedaan, seperti ayahnya siapa, agamanya apa, sukunya apa. Kita bermain bersama dengan segala perbedaan, meski teman-teman kita berasal dari beragam suku bangsa dan agama.

Hal itu benar sekali. Saya ingat betul saat kecil dulu masih sering melakukan permainan seperti petak umpet dengan berbagai jenis kawan. Ada teman dari Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera. Ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha. Semua bermain bersama tanpa prejudice.

Ada sekitar 22 permainan anak-anak yang ditampilkan dalam pameran lukisan Niken di Tokyo. Atmosfer tradisional dikesankan di lukisan Niken dengan nuansa kemben dan batik pada anak-anak yang sedang melakukan permainan. Batik yang dilukiskan juga perpaduan dari berbagai jenis batik. Hal itu untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan.

Ciri khas lain dari lukisan Niken adalah pola titik-titik yang berbentuk lingkaran sebagai dasar dari lukisannnya. Menurutnya, itu adalah gambaran kehidupan yang terus berputar dari satu titik ke titik lainnya, dan kita tak bisa kembali lagi ke titik awal. Selain lukisan, Niken juga menampilkan dolanan anak-anak di tas kulit buatan tangannya sendiri. Ragam tas kulit tersebut juga ikut ditampilkan di Jepang.

[caption id="attachment_171664" align="aligncenter" width="361" caption="Dolanan Boneka / photo Junanto"]

1333061213786563653
1333061213786563653
[/caption] [caption id="attachment_171665" align="aligncenter" width="341" caption="Dolanan Jamuran / photo Junanto"]
13330612501744157776
13330612501744157776
[/caption]

Niken Larasati hanya seorang ibu rumah tangga. Ia tinggal di rumah kecilnya yang terletak di tengah sawah. Ia juga bukan pelukis besar dengan modal kuat. Sebelum melukis, Niken bekerja di pabrik kulit sepeninggal mendiang ayahnya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dan menempa terus kemampuan melukisnya.

Tak pernah terbayangkan oleh Niken akan mampu melakukan pameran tunggal di Tokyo. Prosesnya menuju Tokyo bukan sebuah jalan mudah. Niken melukis awalnya hanya sebagai sebuah hobi. Ia lalu memajang berbagai lukisannya di dinding facebook-nya.

Suatu hari, Seiichi Okawa melihat lukisan-lukisan Niken di facebook.Tertarik dengan keunikan lukisannya, Seiichi Okawa menghubungi Niken dan bahkan berkunjung ke Yogya untuk melihat secara langsung lukisan-lukisannya. Ia menawarkan Niken untuk melakukan pameran di Tokyo. Tapi, dukungan pemerintah sangat sulit didapat. Apalagi Niken hanyalah seorang pelukis dari desa.

Berkat keteguhan dan ketekunan hati, Niken berhasil mendapat dukungan dari Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Bermodal tabungannya sendiri, dukungan Graha Budaya Indonesia di Jepang, dan beberapa perusahaan lain, iapun akhirnya pergi ke Jepang.

Di Jepang, Niken mendapat sambutan yang luar biasa. Animo masyarakat Jepangpada lukisannya cukup tinggi. Puluhan media lokal meliput pamerannya dan Niken muncul di halaman media-media berbahasa Jepang.

Niken juga didapuk menjadi pembicara dalam diskusi di depan warga Jepang di Tokyo, yang bertema tentang “Menjadi Pelukis, Ibu, dan Istri”, pada tanggal 31 Maret 2012. Ia juga mengajarkan beberapa kosa kata bahasa Jawa pada orang Jepang.

Kegigihan dan ketekunan Niken ini perlu kita apresiasi. Di tengah munculnya komersialisasi pada karya seni, termasuk lukisan, Niken masih mampu tampil dengan membawa sebuah prinsip dan idealisme. Ia juga menunjukkan bahwa karya seni Indonesia mampu tampil di manca negara tanpa harus bergantung banyak pada pemerintah.

Niatnya hanya satu. Ia ingin mewariskan sebuah nilai, yang berasal dari permainan tradisional khas Indonesia, pada generasi penerusnya, dan juga memperkenalkan budaya Indonesia pada dunia. Sebuah cita-cita yang sederhana tapi mulia.

Salam dari Tokyo.

[caption id="attachment_171666" align="aligncenter" width="640" caption="Bersama Niken Larasati dan Seiichi Okawa di Graha Budaya Indonesia, Tokyo"]

13330612851065248667
13330612851065248667
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun