[caption id="attachment_162020" align="aligncenter" width="614" caption="Suasana Diskusi OECD-ADBI di markas ADBI Tokyo / photo Munandar"][/caption]
Pekan lalu (7/2) saya diundang menjadi salah satu penanggap dalam diskusi yang diadakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Asian Development Bank Institute (ADBI), bertempat di markas ADBI Tokyo, wilayah Kasumigaseki.
Dari diskusi tersebut saya mencatat bahwa di tengah krisis keuangan global, ekonomi negara-negara Asia menunjukkan ketahanan yang baik. Negara-negara Asia justru mencatat pertumbuhan positif dalam beberapa tahun terakhir. Pasar keuangan Asia juga terbukti memiliki daya tahan dari gejolak eksternal. Hal ini terutama didukung oleh diterapkannya berbagai kebijakan makro prudensial yang fleksibel.
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita melakukan evaluasi pasar keuangan Asia ke depan, terutama menghadapi masih lesunya ekonomi global? Pertanyaan ini juga diajukan oleh Deputi Gubernur Bank of Japan, Kiyohiko Nishimura, saat membuka Roundtable Discussion tersebut.
OECD-ADBI Roundtable Discussion 2012 tersebut mengangkat tema “Reformasi Pasar Keuangan di Asia”, dengan mengangkat berbagai topik, mulai dari gejolak ekonomi global, isu arus modal asing (capital flow), perkembangan pasar keuangan dan modal di Asia, edukasi finansial dan perlindungan nasabah, serta risiko manajemen, regulasi, dan pengawasan sektor keuangan di Asia. Hadir dalam seminar tersebut adalah berbagai akademisi, pakar, pengamat, pengambil kebijakan, serta para pelaku pasar.
[caption id="attachment_162021" align="alignleft" width="300" caption="Bersama Deputi Gubernur BI, Dr Halim Alamsyah (kedua dari kiri) / photo Munandar"]
Selain itu, pasar keuangan Asia juga ditandai oleh beberapa kerentanan. Kerentanan pertama adalah adanya mismatch di sisi mata uang dan jatuh tempo (maturity) pinjaman perbankan. Banyak perbankan di Asia yang masih menggunakan pinjaman jangka pendek luar negeri untuk membiayai proyek jangka panjang dalam negeri, seperti untuk membangun infrastruktur. Hal ini menimbulkan risiko yang besar pada sisi perbankan, terutama apabila terjadi gejolak nilai tukar.
Kerentanan kedua, negara-negara Asia, termasuk Jepang, fungsi intermediasinya masih didominasi oleh peranan perbankan. Meski terjadi penurunan, ketergantungan perusahaan-perusahaan di Asia pada pembiayaan perbankan masih tetap tinggi. Dengan struktur pembiayaan seperti itu, apabila terjadi gejolak di sektor keuangan, perusahaan-perusahaan akan menghadapi kesulitan pembiayaan. Hal ini juga menunjukkan masih belum berkembangnya pasar obligasi (bond) di wilayah regional Asia.
Kerentanan ketiga, masih langkanya peluang investasi di mata uang lokal negara-negara Asia. Saat ini tak dapat dipungkiri terjadi excess saving, atau kelebihan tabungan di Asia. Namun kelebihan ini tidak diinvestasikan secara efisien dan merata ke negara-negara Asia.
Kerentanan keempat, dominannya peranan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) di negara-negara Asia. Permasalahannya, UMKM kerap mendapatkan dananya bukan dari lembaga keuangan atau pasar keuangan yang diawasi secara ketat oleh otoritas. Hal ini menimbulkan risiko yang tinggi pada sektor UMKM. Selain itu, sebagian besar UMKM juga belum disentuh oleh sektor keuangan. Di sini, isu financial inclusion atau upaya mengikutsertakan UMKM pada akses keuangan, menjadi penting.
Menyikapi berbagai kerentanan tersebut, roundtable discussion mencoba membahas berbagai penyelesaian termasuk respon kebijakan yang ditempuh otoritas di negara-negara Asia. Berbagai inisiatif yang dilakukan melalui kerjasama regional, seperti ASEAN+3, The Executives’ Meeting of East Asia and Pacific Central Bank (EMEAP), dan Chiang Mai Initiatives (CMI) telah menunjukkan banyak kemajuan. Di tataran ASEAN+3, para otoritas kebijakan negara-negara tersebut telah meluncurkan inisiatif yang dinamakan Asian Bond Market Initiative (ABMI). Di bawah inisiatif ini, upaya melakukan pendalaman pasar keuangan dan perluasan sumber pembiayaan dibicarakan.
Langkah-langkah ke depan masih panjang, mencakup pula kesiapan masing-masing negara. Dalam kesempatan tersebut, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dr Halim Alamsyah menyampaikan beberapa concern di bidang financial education and consumer protection. Upaya melakukan pendidikan keuangan dan perlindungan nasabah menjadi penting dalam menghadapi integrasi pasar Asia.
Sementara itu, saat menjadi penanggap di sessi Asian Capital Market Integration, saya menyampaikan bahwa integrasi pasar modal dan keuangan di Asia memberi manfaat yang besar bagi masing-masing negara, terutama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kedalaman pasar keuangan, dan diversifikasi sumber pembiayaan.
Meski demikian, berbagai tantangan ke depan perlu terus diatasi bersama, mulai dari masih lebarnya gap antar negara, termasuk perbedaan di sisi standar peraturan dan infrastruktur.
Ekonomi Asia memang ditandai oleh keanekaragaman, mulai dari budaya, sosiokultural, dan tingkat pembangunan. Tapi pada ujungnya, berbagai kerjasama regional, seperti forum ASEAN+3 dan EMEAP, terutama sejak krisis Asia, telah terbukti menjaga perekonomian di negara-negara Asia memiliki ketahanan yang lebih baik. Ke depan, upaya saling menghormati dan mendasarkan pada saling pengertian antar negara, merupakan modal yang harus terus dijaga dalam setiap kerjasama regional.
Salam dari Tokyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H