Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Jepang, Hormati yang Tidak Berpuasa

7 Agustus 2011   11:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:01 3587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_127482" align="aligncenter" width="640" caption="Restoran di Tokyo, siang hari saat Ramadhan/ photo Junanto"][/caption] Berpuasa di kota Tokyo memiliki sisi menarik tersendiri. Hal ini karena suasana di Tokyo berbeda dengan suasana di tanah air. Kalau di Indonesia, Ramadhan adalah sebuah festivities. Saat Ramadhan tiba, suasana mall, pusat perbelanjaan, perkantoran, berubah wajah menjadi Islami. Di berbagai tempat, banyak restoran yang tutup atau menggunakan tirai. Tempat-tempat hiburan malam juga ditutup, kalau tidak mau ambil risiko digrebek masyarakat. Alasannya, hormatilah orang yang berpuasa. Namun di Tokyo tidaklah demikian. Justru sebaliknya, aktivitas masyarakat saat bulan Ramadhan berjalan normal seperti biasa. Warung dan restoran di kota Tokyo tetap buka, dan tentu tanpa ditutup tirai. Orang-orang juga tetap makan dan minum di muka umum. Sementara tempat hiburan juga tetap buka. Jepang memang bukan negara muslim dan tidak menyelenggarakan puasa sebagai ibadah nasional. Namun hal tersebut tidak mengurangi kekhusyukan bagi mereka yang berpuasa. Justru, berpuasa di Jepang memiliki makna tersendiri karena kaum muslim mendapatkan langsung esensi dasar dari berpuasa, yaitu menahan nafsu, menghargai orang lain, dan memupus ego individu atau kelompok. Selama ini saya cenderung beranggapan bahwa orang puasa itu yang harus dihargai. Kalau ada orang makan di hadapan yang berpuasa dianggap tidak menghargai yang berpuasa. Di Jepang, justru sebaliknya, kita harus menghormati yang tidak berpuasa. Orang berpuasa tidak boleh menyulitkan mereka yang tidak berpuasa, apalagi meminta fasilitas dan perhatian khusus karena kita berpuasa. [caption id="attachment_123833" align="alignleft" width="300" caption="Festival Tanabata dirayakan di bulan Puasa / photo Junanto"][/caption] Saat seorang kawan Jepang bertanya mengapa saya tidak makan dan minum, barulah mereka memahami bahwa orang muslim sedang berpuasa. Mulanya mereka khawatir dengan kesehatan saya karena berpuasa di musim panas dianggap berbahaya. Namun saat mengetahui esensi berpuasa, mereka sangat memahami dan menghormati. Orang Jepang juga mengenal puasa. Mereka menyebut puasa dengan istilah “Danjiki”. Istilah tersebut mengacu pada kultur Jepang (Budhisme-Shintoisme) yang juga mengajarkan untuk menahan makan dan minum. Rasa hormat pada yang tidak berpuasa bukan hanya dilakukan saat siang hari. Saat malam tiba, sholat tarawih di Tokyo juga dilakukan secara tenang dan tidak mengganggu masyarakat. Sholat tarawih di berbagai tempat di Tokyo, baik masjid maupun aula, tidak menggunakan pengeras suara yang terdengar keluar. Pengeras suara hanya diperdengarkan di dalam ruangan saja. Ini adalah bentuk toleransi agar tidak mengganggu istirahat masyarakat Jepang yang tidak berpuasa dan sedang istirahat. Berpuasa di Jepang mengajarkan satu hal, bahwa rasa saling menghargai umat lain adalah kunci untuk menjadikan Islam lebih dipahami dan dihargai. Mengetahui bahwa kami berpuasa, rekan-rekan Jepang di kantor justru menghargai. Mereka tidak makan minum di depan yang berpuasa. Padahal, kami tidak pernah melarang dan mempermasalahkan. Selama tinggal di Jepang, saya justru merasakan bahwa sejatinya, orang-orang Jepang ini juga berpuasa. Oleh karenanya, kita harus saling menghargai. Di jalan raya, mereka puasa dengan tidak saling serobot dalam mengemudi. Di bis dan kereta, mereka puasa untuk tidak ngobrol dan berisik, karena takut mengganggu sekitarnya. Mereka juga puasa melakukan kejahatan atau pencopetan di angkutan umum. Di pekerjaan, mereka puasa tidak membicarakan kekurangan orang. Di masyarakat, mereka puasa untuk menahan kepentingan diri demi masyarakat dan tatanan yang lebih luas. Mereka mengantri, membuang sampah pada tempatnya, dan tertib dalam bermasyarakat. Bukankah itu juga esensi dari puasa kita? Bahwa kita harus menahan nafsu (selama kita hidup), dan bukan menunda nafsu (hanya sampai dengan berbuka)? Selamat berpuasa, dan hormatilah yang tidak berpuasa. Salam dari Tokyo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun