[caption id="attachment_95067" align="aligncenter" width="640" caption="Menlu Jepang, Seiji Maehara, menunduk kepala sebelum berpidato / morningjournal.com"][/caption] Jepang adalah negara yang kerap diwarnai pengunduran diri pejabat. Budaya malu dan merasa bersalah begitu kental dalam kehidupan mereka. Apabila seorang pejabat publik bersalah, secara otomatis ia akan mengundurkan diri dari jabatannya. Pekan lalu (3/5), Jepang kembali mengalami hal itu. Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri dari jabatannya. Maehara terbukti menerima donasi dari warga Korea Selatan yang bermukim di Tokyo. Total nilai donasinya hanya 250.000 Yen (sekitar Rp 25 juta). Uang tersebut tidak sepeserpun digunakan untuk pribadi Maehara, namun sebagai dana sumbangan partai politiknya, atau Partai Demokrat Jepang (DPJ). Entah karena tidak tahu, atau kurang teliti, tenyata pemberian itu melanggar UU Partai Politik di Jepang, yang tidak boleh menerima sumbangan dari bukan warga negara. Meski jumlahnya tidak besar, hanya Rp 25 juta, Maehara tetap dianggap melanggar. Di satu sisi, mundur adalah wujud pertanggungjawaban dan moral. Namun di sisi lain, pengunduran diri yang berulang kali terjadi di Jepang, cukup melelahkan dunia politik dan masyarakat Jepang. Sebelum Maehara, Menteri Kehakiman Yanagida mengundurkan diri bulan November 2010 karena merasa bersalah atas komentarnya yang tidak pantas di Parlemen. Bulan Juni 2010, Menteri Jasa Keuangan Kamei mundur akibat proses parlemen yang menurutnya tidak masuk akal. Di tahun 2009, ada sekitar 4 orang menteri yang mengundurkan diri karena berbagai alasan. Perdana Menteri Naoto Kan, yang saat ini menjabat, adalah Perdana Menteri Jepang ke-lima dalam lima tahun terakhir ini. Rata-rata PM Jepang bertahan antara 200 hingga 300 hari. Mereka mundur karena merasa tidak mampu memimpin Jepang, ataupun tidak sanggup memenuhi janji politiknya. Berulangkalinya pejabat Jepang mundur ini mengakibatkan ongkos politik menjadi begitu mahal dan Jepang terus terbelit dalam masalah ekonomi yang tak kunjung usai. Pengunduran diri pejabat yang begitu sering dapat mengakibakan kontinyuitas pemerintahan terganggu. Mundurnya Menlu Maehara misalnya, menjadi pukulan telak bagi pemerintahan PM Kan, karena terjadi jelang beberapa saat pertemuan Menteri Luar Negeri Negara G-8 di Paris, akhir bulan ini. Maehara adalah “the rising star” dalam kabinet PM Kan. Ia diproyeksikan untuk menggantikan PM Kan di masa depan. Dengan mundurnya Maehara, partai DPJ kehilangan figur masa depan yang potensial. Mundurnya Maehara juga menekan posisi PM Kan, yang saat ini semakin rapuh. Banyak pengamat memperkirakan PM Kan tidak akan mampu bertahan hingga akhir tahun ini. Dari hasil polling terakhir yang dikutip Nikkei, dukungan bagi PM Kan turun di bawah 20%, sementara tingkat ketidaksetujuan menjadi 67%. Dilihat dari sisi ekonomi, Jepang saat ini dihadapkan pada permasalahan ekonomi yang berat. Setelah posisinya sebagai kekuatan ekonomi nomor 2 dunia diambil alih oleh Cina, perekonomian Jepang makin suram. Lembaga pemeringkat Rating, Fitch dan Moody’s, telah memotong rating Jepang, karena tingkat utang pemerintahnya yang tertinggi di dunia. Meski 95% utang pemerintah Jepang adalah utang domestik, pihak internasional tetap khawatir apabila dalam jangka panjang Jepang menghadapi masalah dalam memenuhi kewajibannya. Saat ini utang publik Jepang sudah melebihi 200 persen dari GDP. Selain utang yang tinggi, pertumbuhan ekonomi Jepang tetap lesu, dan masih terus berada pada jeratan deflasi yang berkepanjangan. [caption id="attachment_93186" align="alignleft" width="300" caption="Perdana Menteri Jepang Naoto Kan (kiri) menunduk / allvoices.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H