Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menggeser "Made in China"

8 Juni 2010   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_161343" align="alignleft" width="300" caption="Pekerja di Cina / iliustrasi pubtheo.com"][/caption] Mulai meningkatnya upah buruh di Cina telah menyebabkan banyak perusahaan berpikir untuk melakukan relokasi pabriknya dari Cina. Tag terkenal selama ini, “Made in China”, kini mendapat pesaing yang berat. Mari kita beri ruang pada “Made in Indonesia”. Demikian analisis berbagai media dan pengamat ekonomi atas kasus yang berkembang di Cina saat ini. Di Cina, era buruh murah sudah berakhir. Meningkatnya kesejahteraan buruh, pada gilirannya meningkatkan ekspektasi mereka juga akan gaji yang lebih tinggi, seiring pula dengan meningkatnya inflasi, makanan, dan harga properti. Kalau dulu, buruh di Cina mau dibayar dengan upah hanya sepiring nasi. Tapi kini, kasus itu semakin jarang terjadi. Penghasilan yang lebih baik telah mendorong para skilled workers untuk berpindah ke wilayah perkotaan, dan semakin sedikit orang yang bekerja ke wilayah pesisir, tempat pabrik-pabrik berada. Hal itu meningkatkan bargaining position para pekerja pabrik sehingga mencari tenaga murah di Cina saat ini menjadi sulit. Kasus pemogokan dan meningkatnya bunuh diri para pekerja akibat upah yang rendah mulai meningkat di Cina. Hal itu antara lain terjadi di pabrik-pabrik besar di wilayah Cina Selatan, seperti Honda Motor dan Foxconn Technology. Pekerja di Honda Motor menuntut kenaikan gaji dan melakukan pemogokan hingga tiga pekan lamanya. Sementara itu, kasus bunuh diri pekerja meningkat di Foxconn Technology akibat ketidakpuasan upah dan lingkungan kerja. Kasus pemogokan buruh di Cina adalah sebuah hal yang tidak umum terjadi, karena biasanya pemerintah Cina sangat tegas dalam melarang pemogokan dan penuntutan gaji tinggi. Namun dengan semakin meningkatnya kesejahteraan pekerja di Cina, hal tersebut sulit ditahan. Menghadapi pemogokan tersebut, Honda Motor akhirnya sepakat untuk menaikkan upah sebesar 24%, sementara Foxconn Technology menaikkan upah sebesar 33%. Kenaikan ini juga memicu perusahaan lain di Cina untuk menaikkan upah buruhnya. Di wilayah ekspor provinsi Guangdong misalnya, beberapa kota telah meningkatkan upah minimum sekitar 20 persen. Upah minimum pekerja di wilayah Guangdong saat ini berkisar 1030 renminbi atau sekitar 150 dollar AS. Modal memang selalu mencari cara paling efisien dalam menghasilkan keuntungan. Meningkatnya upah buruh di Cina, khususnya di sektor alas kaki dan manufaktur, menjadikan beberapa pabrik besar di Cina ingin mengalihkan modal usahanya ke negara lain yang mampu menawarkan buruh lebih murah. Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia. Saat ini, Indonesia adalah pilihan terbaik bagi para pemilik modal, mengingat pasokan buruhnya yang besar, upah buruh yang stabil, dan perbaikan yang mulai nampak nyata di bidang birokrasi. [caption id="attachment_161351" align="alignleft" width="300" caption="Pekerja Pabrik Sepatu / kompas.com"][/caption] Reebok International dikabarkan akan melakukan pengembangan pabrik sepatu di Indonesia, setelah meningkatkan produksinya dua kali lipat pada tahun lalu. New Balance telah menambah kapasitas pabrik di Jakarta bulan lalu, dan tahun depan rencanaya akan meningkatkan produksi sepatu "Made in Indonesia", menjadi 6 juta pasang, dari 500 ribu pasang pada tahun lalu. Upah buruh yang murah di Indonesia saat ini memang menjadi perangsang pabrik besar tersebut untuk kembali masuk ke Indonesia. Upah buruh di Indonesia berkisar antara Rp.925.000 hingga Rp. 1,1 juta, atau sekitar 100–120 dollar AS per bulan. Masih lebih murah dibandingkan upah buruh Cina sebesar 150 dollar AS. Namun lebih dari itu, semakin membaiknya birokrasi, dan lebih sedikitnya pemogokan, telah menjadi insentif tersendiri bagi perusahaan asing untuk pindah dari Cina dan mulai melakukan ekspansi di Indonesia. Meski Cina saat ini masih memimpin pasar sebagai penghasil terbesar sepatu dan alas kaki, Indonesia diperkirakan akan dapat meningkatkan pangsa pasarnya. Tantangan selanjutnya adalah, bagaimana kita mampu memanfaatkan peluang tersebut. Masuknya berbagai perusahaan asing untuk melakukan ekspansi di Indonesia tentu sebuah berita positif. Modal yang masuk dalam bentuk seperti pabrik dan usaha lebih memberi manfaat ketimbang “uang panas” yang masuk dan keluar setiap saat di pasar uang, meski jumlahnya besar sekalipun. Apabila pabrik-pabrik dibangun dan dibesarkan, maka akan mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Oleh karena itu, kita perlu menjaga momentum ini dengan baik. Kita perlu membuka pintu, namun di sisi lain, ada baiknya kita tidak terbuai dengan keunggulan dari buruh murah semata. Nasib buruh kita juga perlu diperhatikan dan diberi hak yang layak. Selain itu, kemampuan untuk menguasai tekhnologi, dan industri, menjadi lebih penting untuk menjaga keberlanjutan pembangunan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun