[caption id="attachment_104226" align="alignleft" width="300" caption="Tanah di Tokyo / Photo JH"][/caption] Orang tua kita dulu sering berkata, kalau punya rejeki, belilah tanah. Tanah adalah investasi jangka panjang yang menguntungkan, karena harganya akan terus naik. Uang hasil jual tanah bisa buat biaya kuliah anak-anak di masa depan. Tapi itu kisah di Indonesia. Di Jepang, pesan itu tidak sepenuhnya benar. Harga tanah di Jepang justru terus turun seiring dengan pusaran deflasi yang berkepanjangan. Membeli tanah di saat-saat sekarang ini bisa berarti rugi. Meledaknya bubble harga asset di tahun 90-an masih meninggalkan luka yang dalam pada ekonomi Jepang. Lingkaran setan turunnya harga barang dan jasa mengakibatkan harga tanah di Jepang terus turun. Sebaliknya, harga tanah yang terus turun mengakibatkan harga barang dan jasa turun. Begitu terus berputar-putar. Daerah Ginza di Tokyo, dahulu terkenal sebagai daerah termahal sedunia. Harga tanah dan permintaannya tinggi. Tapi kini, harga tanah di Ginza turun sekitar 25% hingga 26% secara rata-rata tahunan (y-o-y). Data dari Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transport, dan Turisme Jepang menyebutkan bahwa tekanan deflasi telah menyeret harga properti semakin ke bawah. Nilai properti di Jepang secara umum turun 4,6% (y-o-y) pada Januari 2010. [caption id="attachment_104228" align="alignright" width="300" caption="Japan Land Prices / www.smartmoney.com"][/caption] Secara umum, harga tanah di Tokyo, Nagoya, dan Osaka, turun 5% dibandingkan tahun lalu. Indikator fundamental real estate Jepang juga menunjukkan penurunan yang drastis dalam beberapa tahun belakangan ini. Nilai investasi tanah dari perusahaan-perusahaan di Jepang telah turun sebesar 56% sejak tahun 2008. Di sisi lain, perbankan di Jepang menahan diri untuk tidak memberikan kredit karena ketidakpastian di masa depan, meski suku bunga kebijakan sudah mendekati nol persen. Masyarakat juga menahan diri untuk membeli tanah karena ekspektasi akan terus turunnya harga. Tekanan kemudian diberikan pada Bank of Japan untuk terus menjalankan tugasnya memerangi deflasi. Namun, Gubernur Bank of Japan mengatakan bahwa upaya menekan deflasi tidak bisa ditangani hanya oleh bank sentral melalui kebijakan moneter. Saat ini suku bunga kebijakan sudah mepet di angka 0 persen dan Bank of Japan telah mengucurkan dana sebesar 20 triliun Yen ke pasar keuangan. Secara teori, mekanisme moneter melalui jalur harga asset memang dapat dilakukan oleh kebijakan moneter dengan memengaruhi perubahan harga asset dan kekayaan masyarakat, yang selanjutnya berdampak pada pola pengeluaran investasi dan konsumsi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter yang ekspansif, maka hal tersebut akan mendorong penurunan suku bunga, dan pada gilirannya menaikkan harga asset. Namun, nampaknya kenyataan tak semudah itu. Kebijakan makroekonomi yang diyakini oleh banyak kalangan tentang kekuatan yang dimiliki bank sentral perlu direnungkan kembali. Kekuatan bank sentral memiliki batas. Bank sentral bukanlah “pesulap dengan tongkat ajaibnya” yang bisa membalikan keadaan dengan mudah lagi. Pada akhirnya, kebijakan fiskal, struktural, maupun regulasi di sistem keuangan menjadi kelindan yang sangat dibutuhkan. Amalgamisasi berbagai kebijakan itu, dan bukan saling menyalahkan, menjadi kunci keluar dari krisis. Untuk itu, dibutuhkan inovasi dan keberanian menempuh langkah yang sulit ke depan. Turunnya harga tanah di Jepang hanyalah sebuah gejala tentang masalah besar yang masih dihadapi oleh perekonomian secara makro, baik di Jepang, maupun pengelolaan makroekonomi secara global. Sudah saatnya kita melakukan perenungan kembali akan kebijakan makroekonomi yang diyakini selama ini. Semoga kita bisa menarik pelajaran dari hal tersebut. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H