Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengakui Kemiskinan di Tengah Kekayaan

31 Januari 2010   22:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09 2127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_65582" align="alignleft" width="300" caption="Gelandangan di stasiun kereta Tokyo / Photo by JH"][/caption] Sebelum memerangi kemiskinan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengakui terlebih dahulu bahwa diri kita miskin. Penolakan diri (self denial) justru bisa kontraproduktif dalam upaya keluar dari jerat kemiskinan. Di negara maju seperti Jepang, mengakui adanya kemiskinan bisa jadi sebuah hal yang berat. Bagaimana tidak, Jepang adalah kekuatan ekonomi nomor dua dunia dengan pendapatan per kapita sekitar 34.000 dolar AS. Oleh karena itu, Pemerintah Jepang hampir dikatakan tidak pernah mengeluarkan secara resmi angka kemiskinan di Jepang. Namun, kalau kita berkeliling di area Tokyo, kemiskinan sangat mudah ditemukan. Di Hibiya Park, saat tahun baru lalu, banyak terdapat shelter penampungan bagi para pengangguran. Saat kita memasuki stasiun kereta api, beberapa gelandangan juga tampak berkeliaran. Pemerintahan baru Jepang menyadari bahwa kemiskinan nyata dan mulai meningkat di Jepang. Untuk itu mereka membuat satu lagi gebrakan, yaitu mengumumkan secara resmi angka kemiskinan. Hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Kemiskinan di Jepang umumnya didapatkan dari hasil survey lembaga-lembaga riset, dan bukan dari pemerintah. Adalah Menteri Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang yang mengumumkan secara resmi bahwa angka kemiskinan Jepang sudah mencapai 15,7%. Angka itu meningkat dibandingkan angka survey OECD yang menyebutkan kemiskinan di Jepang sebesar 14,9%. Hal itu berarti, ada 19 juta penduduk Jepang yang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, atau satu dari enam penduduk Jepang adalah orang miskin. Bahkan di kalangan 30 negara anggota OECD, Jepang termasuk ke dalam empat besar negara yang termiskin. Selama ini Jepang selalu dianggap sebagai negara yang berpenghasilan tinggi di antara negara OECD. Namun, sejak krisis melanda Jepang, hal tersebut mulai berubah. Struktur masyarakat Jepang kini sudah bergeser, dari yang semula memiliki distribusi pendapatan rata menjadi berbentuk pear shapes, dengan beban besar di masyarakat menengah ke bawah. Mereka adalah para pekerja yang menua, pengangguran, dan kelompok single parents. Menurut survey OECD, sekitar 59% orang miskin di Jepang adalah single parents. Kemiskinan memang menjadi musuh setiap bangsa, bahkan di negara maju seperti Jepang sekalipun. Langkah memeranginya tentu memerlukan dukungan. Oleh karena itu, PM Hatoyama dalam pidato awal tahunnya berulangkali menegaskan bahwa semangat kabinetnya adalah untuk rakyat dan demi rakyat. Untuk itu, ia membutuhkan dukungan rakyat. Ia menyadari kesulitan yang saat ini dihadapi negerinya. Tugasnyalah melindungi dan meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya (to protect and to enhance life). Mengakui kemiskinan adalah sebuah langkah berani. Dengan mengakui bahwa diri kita miskin, atau bahwa kemiskinan adalah musuh bersama, ukuran kesejahteraan dapat mudah dipertanggungjawabkan oleh sebuah pemerintahan. Masyarakat dapat menuntut apabila pemerintah tidak mampu mengurangi kemiskinan selama mereka menjabat. Di negeri kita, kemiskinan adalah sebuah problem serius yang menuntut penyelesaian segera. Kenyataan yang kita hadapi kerap menyakitkan dari tahun ke tahun. Dari angka statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi, sekitar 32 juta orang, atau 14% dari jumlah penduduk. Dari setiap 100 orang Indonesia, kira-kira terdapat 15 orang miskin. Mengakui kemiskinan adalah langkah yang baik sebagai awal. Namun hal terpenting selanjutnya adalah langkah aksi dalam memerangi kemiskinan. Bagaimana kita sebagai elemen bangsa dapat mencari solusi bersama yang terbaik dalam menghadapi kemiskinan. Pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa bangsa ini miskin, sehingga upaya memerangi kemiskinan menjadi salah satu program prioritas yang selalu didengung-dengungkan. Kita sebagai warga juga perlu menyadari bahwa negeri kita saat ini masih miskin. Kesadaran ini penting dalam membentuk sikap hidup dan perilaku. Setelah menyadari diri, memerangi kemiskinan membutuhkan prasyarat. Salah satunya adalah pentingnya menjaga stabilitas makroekonomi dan sosial politik. Hanya dengan kondisi ekonomi yang stabil, usaha mengurangi kemiskinan berjalan lebih mudah. Negara yang inflasi dan nilai tukarnya bergejolak terus akan lebih sulit memerangi kemiskinan. Negara yang kondisi sosial politiknya bergejolak, juga akan sulit beranjak dari kemiskinan. Pada ujungnya, perang melawan kemiskinan adalah juga tugas kita bersama, baik sebagai bangsa maupun sebagai umat. Dan tugas mendesak itu bukan hanya tugas pemerintah. Kita perlu menyadari urgensi tugas bersama ini. Memerangi kemiskinan jauh lebih penting daripada sekedar ribut, saling mencari kesalahan, ataupun saling menjatuhkan di ranah politik demi kepentingan kelompok. Kalau terus begini, betul kata Bang Haji Oma,”… Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin…”. Salam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun