Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Anak Emas di Persimpangan: Catatan dari Nagoya

8 Agustus 2010   23:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_220064" align="alignleft" width="300" caption="Menuju Persimpangan Jalan / kompas.com"][/caption] Indonesia saat ini berada pada momen paling seksi di persimpangan jalan masa depan. Apakah waktunya sudah tiba kembali bagi negeri kita untuk mengambil peran dalam dunia global? Jawabnya akan sangat tergantung pada apa yang akan kita lakukan pada hari ini. Apabila kita salah melangkah, maka akibatnya bisa fatal dan kita kembali terseret dalam pusaran masalah dan krisis tiada henti. Indonesia perlu memanfaatkan momentum yang ada sekarang, baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, tekhnologi, dan bidang lainnya. Itulah pemikiran yang mengemuka dari Temu Ilmiah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang di Nagoya, pekan lalu (7/8). Pertemuan, yang dilakukan di Nagoya University, dihadiri oleh lebih dari 120 mahasiswa Indonesia yang saat ini sedang menempuh studi di Jepang, mulai dari level S-1 hingga S-3. Menurut Ketua PPI Jepang, Farid Triawan, acara temu ilmiah ini diadakan sebagai upaya mensinergikan pemikiran mahasiswa Indonesia di luar negeri dengan persoalan-persoalan riil bangsa saat ini. Meski mereka berada di luar negeri, mereka sangat ingin agar ilmu yang didapatkan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Dalam seminar tersebut, kebetulan saya hadir menjadi salah satu pembicara. Pembicara lainnya adalah Ir. Harris Iskandar PhD, Sekretaris Dikti Depdiknas, pengamat politik Dr. Dewi Fortuna Anwar, dan Prof.Dr. Kosuke Mizuno dari Kyoto University. Diskusi dimoderatori oleh Dr. Yond Rizal dari Ditjen Pajak, yang juga pernah meraih penghargaan sebagai kepala Kantor Pajak terbaik se-Indonesia pada tahun 2009 lalu. Bp. Ardi Hermawan, Atase Politik KBRI Tokyo, membuka seminar tersebut. Dialog dengan mahasiswa tentu berlangsung menarik, membahas mengenai berbagai masalah, upaya, dan harapan, agar bangsa ini dapat keluar dari krisis dan mengambil peranan di dunia global. Diskusi tersebut juga bertepatan dengan pemberitaan dari Harian International Herald Tribune yang sehari sebelumnya memasang headline menggunggah. Mereka menulis bahwa Indonesia sekarang adalah anak emas ekonomi dunia, yang siap bangkit. Setelah terkena krisis ekonomi berkepanjangan, terkenal sebagai negara yang inefisien, korup, dan penuh ketidakstabilan politik, kini Indonesia telah banyak berbenah dan bangkit kembali. Indonesia hari ini adalah kemilau kebangkitan dan kekuatan baru dari Asia, demikian tulis harian tersebut. Rasa-rasanya apa yang ditulis oleh pihak internasional tersebut bukan sesuatu yang berlebihan. Lembaga Rating Jepang JCRA bahkan telah menaikkan peringkat Indonesia menjadi “Layak Investasi”, setelah lebih dari 13 tahun berada pada tingkat “Paria”. Harapan kita adalah agar lembaga pemeringkat lain mengikuti jejak JCRA di tahun-tahun ke depan. [caption id="attachment_220065" align="alignright" width="300" caption="ki-ka: Prof Mizuno, Dr. Dewi Fortuna Anwar, Dr. Yond Rizal, dan Penulis, Temu Ilmiah PPI Nagoya"][/caption] Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2010 memang impresif, sebesar 6,2%, meningkat dibandingkan 4,5% pada 2009 lalu. Angka ini adalah sebuah pencapaian yang baik, mengingat krisis global yang menekan pertumbuhan di banyak negara maju. Selain pertumbuhan yang impresif, Indonesia juga semakin seksi di mata investor asing. Lebih dari 3,7 miliar dollar AS ditanamkan di Indonesia pada triwulan II-2010, atau meningkat 51% dibanding tahun lalu. Tingginya ekspor, derasnya penanaman modal asing, dan terus masuknya dana dari luar juga menyumbang pada menguatnya rupiah dan meningkatnya cadangan devisa Indonesia yang hampir mencapai 80 miliar dollar AS. Bukan hanya itu, banyak perusahaan asing yang juga mulai mengalihkan pabriknya dari Cina, seiring dengan mulai meningkatnya biaya produksi di Cina. Kita melihat banyak pabrik Taiwan, Korea, dan Jepang, telah mengalihkan usahanya ke Indonesia. Saat ini kestabilan politik dan ekonomi menjadi pertimbangan mereka. Meski demikian, catatan dari Profesor Mizuno sangat menarik. Pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan derasnya arus modal asing, membawa problema tersendiri pada pengelolaan nilai tukar. Selain itu, masalah intermediasi perbankan juga belum teratasi sepenuhnya. Kelebihan likuiditas di pasar juga memprihatinkan, apabila dana tersebut tidak dapat dimanfaatkan sektor riil. Sementara itu, masalah mikro di sektor riil juga masih banyak. Deindustrialisasi dari sektor-sektor manufaktur di Indonesia perlu segera dicari pemecahannya. Di sisi lain, infrastruktur menjadi permasalahan terbesar para investor. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, tidak banyak infrastruktur dibangun. Hukum perburuhan juga mereka nantikan agar mempermudah usaha mereka. Dr. Dewi Fortuna Anwar mengingatkan pentingnya Indonesia terus membangun hard power, soft power, dan juga smart power. Bangsa Indonesia perlu dibangkitkan terus semangat dan suaranya di dunia internasional agar bisa lebih ber-bunyi, dan didengar. Inilah yang dilakukan terus oleh negara seperti Cina dan India. Terlepas dari berbagai kemajuan yang sangat impresif di tataran makro, berbagai masalah mikro memang masih menghantui Indonesia. Namun bukan berarti kita harus terus pesimis, apalagi terus menerus sinis dengan negeri kita dan pemerintah. Sinis dan pesimis tak menyelesaikan masalah. Momentum yang datang sekarang ini tak datang sering sering. Setiap dari kita diharapkan dapat memanfaatkan momentum itu sebaik-baiknya. Kalau tidak, tentu kita kembali dalam lumpur krisis. Dari luar negeri, memandang Indonesia memang memiliki perspektif tersendiri, yang kerap menarik. Kita bisa memandang persoalan Indonesia secara lebih jernih, karena tidak tersedot dalam pusaran masalah sehari hari yang ruwet. Tak heran apabila dahulu, gerakan kebangsaan, yang mencetuskan pemikiran-pemikiran kemerdekaan suatu negara, kerap dimulai di luar negeri. Semoga para pelajar Indonesia yang saat ini sedang menuntut ilmu di luar negeri dapat menjadi bagian dari solusi bangsa. Semoga temu ilmiah PPI Jepang kali ini bukan sekedar pertemuan ritual yang diadakan kemudian terus hilang tanpa catatan. Dengan jumlah pelajar melebihi 1000 orang di Jepang, harapan negeri ini pada PPI Jepang tentu sangat besar. Selamat dan sukses bagi rekan-rekan PPI Nagoya dan PPI Jepang. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun