Elakshi dan Agra ( Bagian II)
Hampir tiba fajar rasanya hari ini dengan balutan selimut kabutnya dan elakshi masih terjaga tak sedikitpun ia memenjamkan matanya untuk sekedar mengistirahatkan mata dan tubuhnya yang kian hari kian lemah tak berdaya. Setelah ia melalui keheningan dalam perjalanan menuju kerumah setelah di hantam kejadian yang memisahkan ia dengan agra belahan jiwanya. yang telah bahagia atau malah meratapi nasib di samping tuhan kita sama-sama tidak ada yang mengetahui bagaimana agra di kehidupan barunya.
Elakshi malam itu dikunjungi oleh seorang sahabatnya yang coba menghiburnya dengan obrolan-obrolan yang penuh dengan canda dan mengundang gelak tawa,apakah elakshi larut dalam tawa tidak karena malah sebaliknya elakshi melempar sahabatnya dengan sebuah gelas yang terbuat dari kuningan, karena candaan dari temannya hanya menambah elakshi larut dalam kesedihan dan terbakar oleh api amarah, selayaknya kayu yang di bakar oleh api hingga habis. Hal tersebut membuat sahabat elakshi memutuskan untuk pulang tidak pernah mengunjungi elakshi.
Akhirnya sinar matahari datang pagi itu namun elakshi masih terjaga dan tak merasa sedikitpun kantuk menyerangnya sehingga mata dari elakshi memerah sampai pagi ini ia belum sama sekali  menyentuh makanan atau minuman dan membuat badanya terasa lemah, namun hal itu tidak membuat elakshi berfikir untuk memakan sesuatu, dengan tubuhnya yang lemah dia melangkah menuju keluar rumah ia berjalan terhuyug-huyung dengan lemahnya membuat para tetangga dan orang yang melihatnya iba namun tak bisa berbuat apapun karena elakshipun ketika di tanyai hanya memberikan teriakan-teriakan emosi dan ini membuat orang-orang ketakutan.
Pagi itu elakshi terus melangkahkan kakinya untuk menuju ke satu tempat di ujung kota, tempat ini yang sangat indah untuk melihat matahari di pagi hari dan sore hari karena dia berada berada di ujung tebing yang langsung berbatasan dengan lautan lepas dan menghadap tepat kearah matahari. Di tebing ini ada tumbuh satu pohon tua yang berumur ratusan tahun di pohon ini juga terdapat satu ayunan yang menjadi tempat biasa agra menunggu elakshi untuk bertemu.
Elakshipun duduk di ayunan tersebut sambil melihat kearah matahari pagi tak ada tetesan di awal mula duduk di ayunan tersebut hingga ia berteriak kearah lautan dan tepat mengahadap matahari.
" Sang matahari kau adalah yang setiap harinya memberikan rahmatmu berupa sinarmu yang merayap di segala tempat dan memberikan kehidupan kepada yang kau sinari, namun kau tak pernah meminta satu balasan apapun walaupun terkadang kau di caci maki keluar dari mulut orang-orang, namun kau tak pernah berhenti memberikan rahmatmu. Aku meminta kepadamu berikanlah rahmatmu kepadaku berupa kesabaran dan ketabahanmu". Dan di saat itu tetesan air mata elakshi bercucuran tak tertahankan ia mengalir bak sungai yang mengalir deras tak menemui keringnya.
Tetesan air mata elakshi begitu deras sehingga membasahi pakaian yang dikenakannya. Suara rintihan elakshi yang terdengar oleh beberapa orang di sana membius orang-orang tersebut karena rintihannya begitu menggambarkan bahwa hatinya telah tersayat-sayat dan tak menemui hal yang bisa mengobati sayatan yang di bentuk oleh kepergian agra.
Sebenarnya sebelum ini apa yang terjadi antara elakshi dan agra sehingga membuat mereka bertemu di  hujung kota ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H